Salah satu nasihat yg sering saya dengar tentang ‘how to survive in Papua’ adalah agar kita berhati-hati dalam mengendarai kendaraan bermotor agar tidak menabrak binatang piaraan babi. Jika itu terjadi maka itu akan jadi malapetaka karena kita akan didenda sangat besar oleh pemiliknya, bahkan lebih besar berkali-kali lipat daripada harga babi di pasaran. Alasannya babi itu bisa beranak pinak dan dengan kematian babi itu maka hilanglah kesempatan si pemilik utk memiliki keturunan dari almarhum (babi) tersebut. Si almarhum (babi) ini dalam kondisi yg sedang berahi dan subur-suburnya. Bayangkan berapa banyak anak yg bisa dihasilkannya dan berapa banyak cucu-cucunya dalam jangka waktu tidak terlalu lama. Dan semua gambaran indah ttg keluarga besar babi yg berbahagia dg anak dan cucunya tersebut lenyap begitu saja karena ditabrak sampai mati oleh kita the very careless and cruel driver.
Jadi kita harus bayar ganti rugi dari hilangnya kesempatan utk memiliki the pig kingdom tersebut sampai belasan jutaan rupiah agar tidak sampai terjadi sesuatu pada kita. Saya sudah melihat sendiri penduduk asli Papua membawa-bawa busur dan lengkap dg anak panahnya yg ukurannya ekstra besar. Nampaknya kalau busurnya ditarik kencang maka anak panahnya bisa lari dua hari dua malam mencari kita kalau tidak mau bayar ganti rugi. 😀 Tra bisa! Tabrak babi mesti bayar, or else… .
Apakah tidak mungkin terjadi kasus tabrak lari demi menghindari denda ganti rugi yg besar tersebut? Bisa saja. Dan itu sering terjadi. Tapi orang Papua tidak bodoh toh. Kalau yg menabrak melarikan diri maka semua kendaraan yg melintas sesudahnya yg harus bayar patungan utk ganti denda yg ditentukan oleh pemilik. Kalau tra bayar tra bisa lewat itu jalan. Simpel toh!
Don’t think you can fool us.
Saat ini babi sudah tidak berkeliaran di jalan-jalan. Babi berkeliaran sekarang hanya ada di jalan-jalan antar kota di pedesaan atau hutan-hutan. Jadi jalan su aman…?! Belum jo.
Orang Papua memang pintar. Sebagai ganti dari babi mereka sekarang piara anjing dan biarkan anjing-anjing tersebut berkeliaran di jalan-jalan. Jadi anjing-anjing ini dengan amannya ngariung berkelompok di tengah jalan tanpa perduli dg raungan klakson mobil atau motor. They rule the street. Dengan santainya mereka melakukan siesta atau halal bihalal dg anjing-anjing tetangga yg tidak kalah kurang ajarnya di tengah jalan yg sibuk. Kalau diklakson mereka berlagak budek aja. Pokoknya para sopir jadi sebel deh!
Kenapa para anjing Papua ini begitu slebor? Ternyata mereka diperlakukan sbg piaraan suci yg jika ditabrak berakibat sama dengan menabrak babi…! Jadi mereka tahu bahwa para sopir gak bakalan menerjang mereka karena mereka sudah mendapat perlindungan ‘adat’ oleh pemiliknya. Gemes boleh, nabrak bayar!
Sopir yg mengantarkan kami ke bandara mengatakan bahwa anjing di Bintuni memang kurang ajar (dan tentunya tak ada satu pun di antara mereka yg lulus UNAS baru-baru ini). Tapi para sopir tak berani macam-macam dg mereka karena anjing-anjing tak berbudaya ini dapat ‘perlindungan’ dari pemiliknya. Bukannya pemiliknya sayang banget pada anjingnya tapi justru mereka berharap agar anjing itu ditabrak dan mereka dapat ganti rugi dari kematian anjing geladak tersebut!
Suatu ketika ada tukang ojek menabrak seekor anjing sehingga mati. Karena ia tahu bahwa ini akan menjadi urusan finansial yg berat maka ia kemudian melarikan diri. Sing penting cari selamat dulu.
Apa yg terjadi? Si pemilik kemudian menyetop semua pengendara yg akan lewat jalan tersebut dan mendenda mereka semua. Mobil seratus ribu dan motor lima puluh ribu. Kalau sudah bayar baru boleh lewat. Tidak bayar tunggu saja sampai mati toh! Pokoknya tra bisa lewat! Setelah terkumpul tiga juta rupiah barulah si pemilik yg beruntung anjingnya tertabrak ini puas dan menghentikan aksinya. Barulah setelah itu mayat anjing ini dipinggirkan dari jalan dan semua boleh lewat.
Terus terang saya tidak begitu percaya dengan cerita ini karena kita memang terbiasa membesar-besarkan cerita sehingga menjadi mitos. Tapi tentu saja tak ada pengendara yg berani coba-coba melanggar mitos tersebut. Ingat anjing, ingat panah toh.
Jadii kira-kira begitulah asalnya mengapa anjing menjadi raja jalanan di Bintuni dan bukan Ali Topan.
Aston Hotel, Manokwari, 23/9/11
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
kegiatan yg bagus moga sukses kawan?