Bagaimana sikapmu jika pasanganmu bersikap kasar padamu? 😊
Dalam perkawinan tidak semua hari kita diisi dengan bulan madu, tentu saja. (Tapi kita bisa memperpanjang bulan madu kita sampai puluhan tahun kok. Saya sampai sekarang masih terus memperpanjang bulan madu dengan istri kapan saja dan di mana saja).😎 Ada saat-saat ketika kita bertengkar dengan pasangan kita. Nah, topik ini yang muncul dalam percakapan kami sesama oldies pada suatu kali.
“Apa yang akan kamu lakukan jika dalam pertengkaran kamu dilempar sandal oleh istrimu?” gurau seorang teman. Kami langsung tertawa dengan topik ini.
“Saya jelas akan marah besar,” jawab seorang teman. “istri kok berani-beraninya melempar sandal pada suaminya. Itu tidak boleh terjadi. Never…!” tambahnya dengan ekspresi wajah marah seolah dia benar-benar baru saja dibalang sandal sama bojonya. 🙄 Teman yang ini memang agak ‘dominating’ pada istrinya. Dan saya pikir istrinya memang tidak bakalan berani marah sampai melempar sandal padanya. Lha wong konco saya satu ini ‘kalah menang nyirik’ kayak tentara zaman dulu. Kalau istrinya bersalah dia pasti akan marah tapi kalau dia yang salah dia juga akan marah. Pancen top arek iki. 😄 Pokoknya urusan marah adalah privilegenya. Soal marah dan dimarahi itu sudah dibagi dengan istrinya. Apa pun masalahnya dia yang akan marah dan istrinya yang akan dimarahi. Sungguh sebuah pembagian tugas yang berat sebelah dan tidak melalui konvensi HAM. 😞
“Kalau saya yang dilempar sandal sama istri saya, maka saya akan bersyukur.” Tiba-tiba seorang teman nyletuk dengan kalemnya. 🙂 Teman yang satu ini memang terkenal sabar dan kalem.
“Haaah…!” bagaimana pun kami tentu terkejut dengan jawabannya. Kok bisa-bisanya seorang suami yang dilempar sandal oleh istrinya malah bersyukur…! Gak gendeng tah arek iki…?! 🙄 Kami semua langsung terdiam mendengarnya.
“Kalau istri saya sampai melempar sandal kepada saya maka itu sebuah peringatan bahwa saya telah melalaikan kewajiban saya padanya.” Sambungnya setelah terjadi keheningan sejenak tadi. Wah…! Ini sesuatu yang filosofis banget. Semua langsung melongo dan pingin tahu apa dasar dari pemikiran yang ‘out of the box’ ini.
Teman saya ini tahu bahwa yang lain penasaran dengan penjelasan dari sikapnya yang filosofis tersebut. Ia lalu memperbaiki duduknya dengan sedikit bersandar lalu meneruskan kata-katanya. Wajahnya tampak lebih serius.
“Seorang istri tidak akan mungkin sampai melempar sandal pada suaminya kalau dia tidak mengalami sebuah situasi yang membuatnya begitu berang. Istri marah itu ada gejala, penyebab, dan tahapan ekspresinya. Kita tentu tahu apa-apa saja yang bisa membuat istri kita marah. Perkara dan situasi bagaimana yang biasanya membuat dia marah. Bagaimana ia mengekspresikan rasa marahnya dan pada tingkatan apa rasa marahnya akan memuncak dan apa tindakan yang mungkin akan ia lakukan jika terjadi peningkatan kemarahannya yang semakin meninggi.. Kalau istri saya sampai melempar dengan sandal berarti something is really wrong with me. Jelas ada sesuatu yang sangat salah pada diri saya. Pertengkaran harus berhenti apa pun masalahnya. Saya harus bertanya pada diri saya apa kewajiban saya sebagai suami yang belum saya tunaikan padanya.”
Kami semua melongo dengan mulut ternganga mendengarkan betapa fasihnya teman satu ini menjelaskan filosofi dibalik peristiwa ‘suami dibalang sandal’ ini. Memang kelas dosen beliau ini. 😄 Kami semua kagum dengan sikapnya yang begitu mengalah dan full introspeksi pada istrinya. Kami melihatnya seolah di atas kepalanya ada lingkaran halonya. Apakah dia sedang kerasukan Buddha? Tapi Buddha kan gak duwe bojo… 🤔 Teman yang ‘kalah menang nyirik’ tadi benar-benar blangkemen, melongo, dan wajahnya pias seolah guru yang habis dibriefing oleh kepala sekolahnya.
Kami semua tidak ada yang berkomentar dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Saya membayangkan situasi apa kira-kira yang bisa membuat istri saya akan melempar sandal dalam pertengkaran kami. Setelah berpikir lama akhirnya saya menyerah. Istri saya tidak akan pernah melempar sandal pada saya, demikian kesimpulan saya. Pertama, kami tidak pernah bertengkar hebat sehingga harus ada yang meningkatkan tensi kemarahannya setinggi itu. Kami saling mencintai dan menghormati satu sama lain sehingga kami selalu membatasi tingkat pertengkaran kami. Anak-anak kami tidak akan mungkin melihat kami bertengkar karena ‘locus delicti’ pertengkaran kami akan kami batasi di kamar saja. Itu pun anak-anak kami akan tahu kalau saya sedang marah pada mamanya. Kalau mereka melihat sikap diam dan acuh tak acuh saya pada istri maka mereka akan tahu bahwa saya sedang marah. Mereka akan tanya sama mamanya, “Bapak lagi marah ya..?!” Jawaban istri saya akan menentukan apakah saya memang sedang marah atau tidak. Kalau saya tidak sedang marah maka istri saya akan tertawa. Kalau saya lagi banyak pikiran maka ekspresi muka saya memang akan tampak serius dan rodok medeni. Itu mungkin dikira saya sedang marah oleh anak-anak. Tapi kalau saya memang sedang marah maka istri saya akan menjawab, “Tanya aja sama Bapak sendiri.” Itu artinya saya memang sedang marah dan anak-anak tidak perlu bertanya. Jawaban itu artinya ‘Ya, Bapakmu sedang menjengkelkan karena sedang marah sama Mamamu.’ Just stay away until he finishes his own conflict with himself.
Sikap normal kami adalah selalu mesra dan selalu lempar senyum, tawa, dan jokes garing. Tak ada hari tanpa kami bergurau dan bersikap mesra pada satu sama lain. Kesukaan kami adalah menciptakan jokes remeh temeh yang hanya kami yang tahu di mana letak lucunya dan akan kami tertawakan dengan sepuasnya. 😂 Jadi kalau mereka lihat muka saya sedang tidak sedap dipandang dan tidak menegur dan bergurau dengan mamanya as usual maka mereka tahu bahwa saya sedang ‘not delicious heart’ alias gak enak ati. Tapi yang membuat saya tidak bisa membayangkan situasi istri saya melempar sandal pada saya adalah karena memang it’s not her style. Istri saya adalah tipe wanita anggun dan terkontrol yang tidak akan membiarkan dirinya melakukan hal-hal sevulgar melempar sandal pada suaminya. Paling pol dia akan purik dan tidak akan menegur saya. Dia akan pasang wajah yang beraurakan ‘don’t get close or else’. Persis yang saya lakukan juga padanya jika saya lagi purik. Tapi wajah sangarnya ini akan bisa saya urai dan hapus dari wajahnya dengan aji-aji “Romeo Loves Juliet” kalau kami sudah di atas ranjang. 😎 Dia akan saya kekep dari belakang sampai hatinya melumer. It always works. Semarah-marahnya dia kalau sudah saya kekep dari belakang pasti akan lumer. Begitu juga sebaliknya. Kalau saya marah dan mendiamkannya maka ia juga akan merapal aji-aji “Juliet also loves Romeo lho. Mosok lali sih…?!”. Dia akan memeluk saya dari belakang sampai hati saya melumer juga. Herannya, semarah apa pun saya tapi kalau sudah kena jurus ampuh tersebut saya pasti lumer. Ini namanya kena ilmu sendiri. 😞 Rupanya kelemahan saya ada di punggung. Kalau saya sudah dikekep sama istri dari belakang hancur berantakan pertahanan saya. Kemarahan yang tadinya sudah saya tumpuk tinggi-tinggi dan sudah saya niati untuk saya pertahankan selama mungkin lha kok langsung hancur berkeping-keping kena dekap dari belakang. Saya sampai tidak habis pikir kok begitu ‘murahan’ dan remehnya kemarahan saya. 😂 Tapi saya lalu sadar bahwa ini kesalahan saya sendiri. Saya membiarkan pertahanan saya lemah karena membiarkan pertahanan belakang saya terbuka. Lha ini musuh sudah sampai belakang dan mengunci kita je… 🤔 Tapi seandainya saya mempertahankan punggung saya dengan tidur telentang maka istri saya justru akan menyerang saya dari atas. Dia akan menguasai saya dari atas dan itu jelas akan lebih fatal dan ‘mematikan’. Itu namanya jurus WOT alias Woman On Top yang sangat telengas. 😎
Surabaya, 31 Agustus 2019
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com