Minggu, 6 September 2015
Hari ini saya dan istri akan memulai perjalanan ke Bali – Bangkok – Pattaya. Pagi ini saya akan berangkat ke Bali dan besok akan berangkat ke Bangkok dan Pattaya sampai tanggal 10 September 2015 nanti. Apakah juga dalam rangka membudayakan literasi juga..?! 🙂 Kagaklah yaow…!
Saya dan istri akan menikmati liburan. Liburan..?! Pensiunan kok pakai liburan segala…?! Emangnya kalau sudah pensiun gak boleh dapat liburan? Hehehe….! 🙂
Sebenarnya kami ke Bali- Bangkok dan Pattaya ini dalam rangka memenuhi ajakan seorang teman yang sangat baik hati untuk menemaninya mengajak para dosen dan karyawannya berlibur ke luar negeri. Namanya Pak Dadang Hermawan dan beliau adalah bosnya Stikom Bali. *:) happy Setiap tiga tahun sekali beliau mengajak para karyawannya untuk jalan-jalan ke luar negeri. Kapan hari kami diajaknya ke Malaysia dan kini kami, bersama 70-an orang dosen dan karyawannya, diajaknya ke Bangkok dan Pattaya. Tentu saja semua biaya ditanggung oleh STIKOM Bali. Saya bahkan diberi uang saku segala. Enak toh…! *:) happy
Dua tahun yang lalu saya dan istri juga ke Bangkok dan catatan perjalanan kami bisa dibaca di https://satriadharma.com2013/03/26/bangkok-tour/ dan di https://satriadharma.com2013/04/01/bangkok-tour-part-2-shop-till-you-drop/. Perjalanan kami dulu itu sedikit bergaya backpackingan. J Kali ini kami ikut travel agent di mana segalanya sudah diatur.
Karena kepergian kami ke Bangkok ini bersama para dosen dan karyawan STIKOM Bali maka saya dan istri juga harus ke Bali dulu. Jadwal keberangkatan kami ke Bangkok adalah besok pagi jam 08:20 jadi kami memang harus menginap dulu di Bali. Kami selalu senang bisa menginap di Bali dan kami senang mencoba-coba hotel baru yg bertumbuhan macam jamur di musim hujan. Saking banyaknya hotel-hotel baru sehingga mereka harus bersaing dengan keras utk bisa mendapatkan tamu. Hotel Swiss Belinn di Seminyak yg kami dapatkan via Traveloka menawarkan kamar hanya dengan harga 250 ribu! Sungguh murah…! Utk pulangnya nanti kami memilih hotel Atanaya (satu grup dengan Hotel Century di Jakarta) di Kuta juga dengan harga yg sama, itu sudah termasuk makan pagi dua orang lho…! Padahal kalau di kota-kota lain dengan fasilitas yg sama kita harus bayar dengan harga di atas 600 ribuan. Mungkin karena banyaknya hotel-hotel baru bertumbuhan maka mau tak mau mereka bersaing harga habis-habisan. Dan tentu saja yang diuntungkan adalah konsumen. *:) happy
Salah satu kegiatan favorit kami kalau ke Bali adalah jalan-jalan ke Discovery Mall di Kuta. Ada resto favorit kami di sana di lantai 3 yang pemandangannya ke pantai Kuta yg indah. Namanya Celsius Resto dan semua menunya top. Kami selalu menikmati Snack Platter sebagai appetizernya yg berupa macam-macam makanan penggugah selera. Selain itu kami juga memesan Caesar Salad yg berisi potongan sayuran lettuce dan tomat diberi campuran potongan garlic bread, sweet corn dan smoked beef kecil-kecil lalu disiram dengan saus Thousand Island. Sungguh lezat…! Menu favorit kami adalah Bandeng Bakar Rica yg sungguh maknyus rasanya dan maknyes pedasnya. Bandeng bakar rica yg sudah tanpa tulang ini sungguh lezat dan selalu membuat kami ingin selalu kembali menikmatinya. Kami berdua memang selalu suka menu rica-rica tapi Bandeng Bakar Rica di Celsius Resto Discovery Mall ini menempati peringkat teratas dalam daftar kami bersama menu ricanya resto Tiptop di Balikpapan. Kami berpikir bahwa resto-resto rica lain perlu belajar membuat sambal rica di kedua resto tersebut. *:) happy
Setelah puas makan kami pun meluncur lagi ke Beachwalk Mall untuk nonton film di Theater XXI. Mall ini tidak jauh dari Discovery Mall dan bersebelahan dengan Harris Hotel dimana kami juga sering menginap kalau ke Bali. Kami memilih film “No Escape” yang dibintangi oleh Pierce Brosnan karena film yg lain sudah kami tonton di Surabaya. Film ini bersetting di Thailand dan bercerita tentang kekacauan dan pemberontakan rakyat pada pemerintah. Rakyat marah dan berontak karena tidak setuju sumber daya mereka dikuasai oleh asing. Mereka bahkan membunuh raja mereka dan pecah menjadi kebencian pada apa pun yg berbau asing. Mereka memburu dan membunuh semua warga asing dengan kejam. Film ini membuat saya terhenyak karena tiba-tiba saya bisa membayangkan situasi pada tragedi Mei 98 dimana warga keturunan Cina diburu dan dibunuh. Mungkin seperti ini situasinya bagi para warga keturunan Cina yg terjebak di lingkungan penduduk kampung yg marah sampai jadi gila seperti itu. Begitu mencekam dan menakutkan. Sepanjang pemutaran film saya menjadi tegang karena membayangkan diri saya terjebak dalam situasi yg sama. Apa yang akan aku lakukan jika berada di situasi tsb…?! Saya pernah mencoba menghalangi sekelompok orang di kampung saya yg ingin mengeroyok dan menghajar seseorang yg tanpa sengaja menabrak seorang anak kecil kampung kami. Si penabrak ini nampak benar mewakili sosok orang kaya. Mobilnya sedan yg baru, tubuhnya subur, kulitnya putih bersih, pakaian dan sepatunya nampak mewah. Karena merasa bersalah ia langsung pucat dan menciut melihat kami mendatanginya. Ia langsung nampak ‘vulnarable’ di hadapan anak-anak kampung saya yg sangar dan selalu siap melahap ‘wong sugih’ itu. Tanpa ba..bi..bu.. seorang preman kampung kami langsung melayangkan bogemnya ke kepala anak malang ini dan terlemparlah kacamata mahalnya. Saya terkesiap dan tanpa saya sadari tiba-tiba saya melompat menghalangi si preman kampung utk menghajar anak malang ini lebih lanjut. Si preman kampung, yg mungkin dalam mimpi-mimpi indahnya adalah menghajar wong-wong sugih dengan sesuka hati, tentu saja meradang pada saya yg dianggapnya telah mengganggu dan menghalanginya memperoleh ekstasi dari pemuasan hasrat terdalamnya. Dengan marah ia membentak saya,
“Kon mbelo arek iki yo…! Kon njaluk tak hajar mesisan…?! (Kamu membela anak ini ya. Kamu mau saya hajar sekalian..?!”).
Matanya memerah, tangannya mengepal, ekspresinya seperti srigala yg siap menerkam utk mencabik-cabik saya. Sungguh mengerikan…! Saya terjebak… Apa yg harus saya lakukan…?! Naluri saya mendorong utk melindungi orang yg diperlakukan semena-mena tapi saya menghadapi resiko dihajar oleh preman kampung residivis yg tidak mengenal ampun ini… Film ini sungguh menegangkan karena saya merasa pernah merasakan secuil pengalaman terjebak dalam situasi dilemanya.
Senin, 7 September 2015
Selepas sholat Subuh saya dan istri sudah siap menuju bandara. Meski jadwal pesawat kami jam 8:20 tapi kami diharapkan siap di bandara 2 jam sebelumnya. Di bandara sudah berkumpul banyak karyawan Stikom Bali yg akan berangkat ke Bangkok pagi itu. Ada 73 orang, termasuk kami, yg akan ikut tur. Kami disambut oleh pemandu tur dari travel yg kami gunakan. Semua sdh diatur dengan sangat baik. Tiket sdh siap tinggal memasukkan koper saja. Kami bahkan dapat kupon utk sarapan roti dan air putih yg disediakan oleh travelnya di Gate 5. Jam 8:20 pesawat Airasia yg kami tumpangi sdh meninggalkan runway dengan mulus. Begitu lampu tanda kencangkan sabuk pengaman dimatikan saya mengambil handphone dan mulai menulis… (I will be bored during the flight because I forgot to prepare my reading book…! It is still in my baggage and I forgot to take it out this morning). Saya melirik istri saya sedang asyik membaca “White Tiger”nya Aravind Adiga yg mendapat penghargaan Booker Prize. Buku yg menarik. Saya sdh membacanya tapi sungguh saya bersedia membacanya lagi jika istri saya meletakkannya. I hate doing nothing in a flight, especially a long one like this.
Kami mendarat di bandara Don Mueang, Bangkok, tepat waktu. Mungkin karena kami naik Air Asia yg termasuk low cost carrier maka kami mendarat di bandara ini dan bukannya di bandara baru Swarnabhumi yg megah tersebut.
Begitu keluar dari imigrasi kami langsung disambut oleh pemandu wisata kami yg asli orang Thai tapi bisa berbahasa Indonesia. Saya tidak sempat menanyakan darimana mereka belajar bahasa Indonesia (ternyata mereka hanya belajar dari para turis dan mereka bahkan belum pernah sekali pun ke Indonesia). Kami dibagi dalam 2 bis dan saya bersama istri masuk di bis 2.
Acara pertama adalah makan siang di restoran lokal dengan menu buffet. Tapi sebelumnya kami diingatkan agar memperhatikan makanan yg akan kami ambil karena makanan yg mengandung babi sudah diberi tanda.
selesai makan kami tidak langsung ke hotel tapi mampir ke pusat perbelanjaan MBK Mall. Mall ini terdiri atas 8 lantai tapi kami langsung menuju lantai 6 karena kami tahu di lantai ini ada musholla kecil dimana saya bisa melakukan kewajiban sholat lebih dahulu. Selain musholla lantai 6 adalah lantai khusus utk jual suvenir. Ini lantai favorit istri saya. J Kami memang baru dari Bangkok beberapa bulan yang lalu.
Untungnya sebelum naik bus tadi kami sdh sempat menarik uang dari ATM. Kami sengaja tidak membawa uang tunai utk ditukar karena menurut kami menarik uang si ATM lebih praktis (walau pun mungkin lebih mahal karena ada biaya 180 Baht setiap kali penarikan). Kurs Baht katanya adalah Rp. 400,-/baht. (Dua tahun yang lalu kursnya Rp.345,-/baht)
Kami berhenti di MBK cukup lama dan alhasil kami berhasil memborong banyak belanjaan utk oleh-oleh. *:) happy
Sebelum menuju ke Dynasty Hotel yg jaraknya cukup jauh dari pusat kota, kami berhenti di sebuah restoran besar di sebuah hotel yg tidak sempat saya perhatikan namanya. Menunya buffet dan kali ini ‘no pork’. *:) happy
Kami sampai di hotel sekitar jam 20:30 dan saya langsung ambil kunci kamar di lantai 8. Setelah mandi saya langsung sholat dengan mengira-ngira arah kiblat karena aplikasi arah kiblat HP saya tidak bekerja. Istri saya langsung bongkar koper dan mulai menata belanjaannya, packing! Soalnya besok pagi kami harus sudah turun ke lobi dan makan pagi jam 06:00. Jam 07:00 kami harus sudah naik bis utk wisata hari kedua dan nantinya langsung ke Pattaya utk menginap di sana.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com