Agenda kami pada hari Selasa, 17 Juli 2018 adalah menuju Ouarzazate (baca: Warzazat). Tapi sebelumnya kami akan mengunjungi Taman Menara.
Taman Menara ini terletak tidak jauh dari Istana Badi yang terletak di sebelah barat kota Marrakech dan menjadi pintu gerbang menuju pegunungan Atlas. Taman Menara ini dibangun pada abad ke 12 M oleh Raja Al Mohand Abdel Moumin yang selanjutnya di sempurnakan pada masa dinasti Saadian pada abad ke 16.
Taman yang dipenuhi oleh pohon zaitun ini luasnya sekitar 100 hektar dan di tengahnya ada bangunan dengan kolam yang luas. Panjang kolamnya 200 meter dan lebarnya 150 meter. Kolam ini penuh dengan ikan mujair besar-besar yang tampaknya memang sengaja dibiarkan dan diberi makan roti oleh para pengunjung. Jadi kita bisa beli roti seharga 1 dirham untuk memberi makan ikan-ikan tersebut. Kami tiba di taman ini jam 9 pagi tapi udara masih sejuk seperti berada di ruang ber-AC. Tapi sejam kemudian udaranya sudah berubah menghangat.
Ouarzazate sering dijuluki sebagai ‘The Door of the Desert’ karena kota ini merupakan pintu gerbang menuju ke Gurun Sahara. Sama seperti Marrakesh, Ouarzazate juga terletak di wilayah tengah Maroko, di dataran tinggi Pegunungan Atlas pada ketinggian 1.160 meter. Jumlah penduduk kota ini kurang dari 60 ribu jiwa. Di Ouarzazate terdapat banyak bangunan kasbah (benteng) yang dibangun oleh Bangsa Berber pada masa lampau. Yang terkenal adalah Ait Ben Haddou, yang terletak di Draa Valley dan merupakan UNESCO World Heritage Site.
Ait Ben Haddou atau Istana Lumpur adalah semacam kota kecil yang menempel di bukit dan dinding rumah-rumahnya dibuat dari semacam lumpur sehingga terkesan seolah rumah-rumah di jaman sebelum Masehi. Rumah-rumah yang membentuk semacam istana lumpur ini sangat eksotik dan berada di dalamnya kita akan merasa seolah kembali ke jaman prasejarah atau awal peradaban. Pintu gerbangnya berada di depan lembah yang mungkin bekas sungai karena ditumbuhi oleh tanaman-tanaman. Dari gerbang ini kita akan naik menanjak ke atas bukit dan di kiri kanan jalan ada rumah-rumah dan lorong-lorong sebagaimana perkampungan di jaman kuno. Jika kita telah sampai di puncak maka kita bisa melihat pemandangan ke bawah yang indah dan eksotis sekaligus.
Eit Ben Haddou ini sering dipakai untuk lokasi film berlatarbelakang kerajaan di zaman kuno karena eksotisnya lokasi dan pemandangannya. Hal ini membuat Ouarzazate juga terkenal sebagai lokasi syuting berbagai film ternama dunia seperti Lawrence of Arabia, The Mummy, Gladiator, dan Game of Thrones.
Film yang paling terkenal adalah Lawrence Of Arabia. Sejak kesuksesan film legendaris ini di tahun 1960an, ratusan proyek film berbudget besar telah melakukan syuting di Maroko. Pada tahun 1983, negara ini menjadi rumah bagi satu studio film terbesar di dunia: Atlas Studio dan berbagai syuting film dilakukan di setiap tahun sejak itu.
Studio film Atlas, sejauh 6 km dari Ouarzazate, terkenal sebagai Hollywood nya Maroko. Ratusan film telah dibuat di wilayah ini, termasuk film Lawrence of Arabia,
Gladiator, The Sheltering Sky karya Bertolucci, dan Kundun karya Scorsese. Perangkat Studio Atlas digunakan untuk pembuatan film Gladiator, Alexander, James Bond 007: Spectre, dan serial TV Game of Thrones.
Maroko adalah negara yang paling serius mengembangkan energi tenaga surya. Panas matahari sangat berlimpah dan Maroko mempunyai panel tenaga surya terbesar di dunia, yaitu di Ouarzazate ini. Panel surya dibangun seluas 2500 hektar, 10 km dari kota di are Souss-Masa-Draa. Bahkan di kemah gurun pasir di mana kami tidur menggunakan panel tenaga surya untuk penerangannya.
Maroko adalah negara Afrika Utara yang kebetulan menguasai sebagian area gurun sahara bagian utara di Afrika. Kawasan Zagora, Foum Zquid, dan Erfoud adalah tiga kawasan yang sering dikunjungi wisatawan untuk jalan-jalan di gurun pasir. Namun kami memulai perjalanan gurun pasir kami di Merzouga.
Kami tiba di Hotel Auberge Les Dunes D’Or pada pukul 5 sore. Kami tidak akan menginap di sini tapi sekedar beristirahat sebentar dan meletakkan barang-barang sebelum berangkat ke Gurun Sahara pada pukul 19:00 untuk mengejar matahari terbenam. Onta-onta telah disiapkan di belakang hotel di mana padang pasir membentang luas tak terkira jaraknya. Untuk mencapai tengah padang pasir harus menunggang unta di sore hari karena siang hari panasnya bisa sampai 50 derajat celcius. Jangankan berjalan di gurun di siang hari sedangkan berteduh di kamar hotel sebelum ke gurun saja panasnya bukan main.
Kami berangkat dengan dipandu oleh Said yang memandu onta-onta kami dengan berjalan kaki tanpa alas kaki di padang pasir. Saya sampai heran melihat betapa kuatnya kakinya menahan panas.
Sambil menikmati perjalanan dengan naik onta di tengah padang dan bukit berpasir saya berkali-kali mengucapkan rasa syukur karena telah diberi kesempatan untuk menikmati karunia menunggang onta di Gurun Sahara. Saya membayangkan diri saya sedang mengikuti sunnah Nabi, yaitu melakukan perjalanan dengan menunggang onta. 😊
Setelah berjalan sekitar dua jam di padang pasir yang subhanallah indahnya kami pun tiba di perkemahan kami. Selain kami ada sekitar tiga rombongan lain yang juga menuju kemah ini, yaitu rombongan turis Jepang, Spanyol, dan Prancis. Kami meski pun hanya berlima, berenam dengan Said, mendapatkan perkemahan yang terbesar. Kemah-kemah ini ditutup dengan karpet-karpet sebagai dindingnya dan ada gerbangnya sehingga memiliki privasi seolah di sebuah rumah dengan dinding tertutup dari lingkungan sekitar. Di dalamnya ada beberapa kemah khusus untuk kamar tidur dengan kasur-kasur tebal berlapiskan karpet. Sungguh nyaman rasanya begitu memasukinya. Di tengah perkemahan ada pohon besar dan di bawahnya dipasang meja untuk makan dengan kasur-kasur tebal mengelilinginya.
Hidangan pertama adalah teh mint asli Maroko yang luar biasa enaknya. Makan malam kami adalah Couscous dan Tajine yang porsinya sangat berlimpah untuk kami yang porsi makannya tidak sebesar orang Maroko. Hidangan penutupnya adalah buah semacam Timun Emaa atau Golden Melon yang manis dan sangat juicy.
Meski kami disediakan kamar-kamar untuk tidur tapi kami lebih suka tidur di ruang terbuka di tempat makan tersebut. Begitu lampu kami matikan maka suasana menjadi lebih syahdu karena kali ini kemah kami diterangi oleh ribuan cahaya bintang di langit yang terbuka. Kami ngobrol sambil tengadah dan menikmati siraman cahaya bintang tersebut sampai mengantuk. Di kemah sebelah kami tampaknya para turis sedang mengadakan pesta karena ada musik rebana dimainkan. Entah jam berapa mereka baru berhenti berpesta karena saya sudah tertidur pada jam 12 malam sedangkan mereka belum juga berhenti. Suhu udara sekitar 26 derci dan bagi saya itu cukup nyaman untuk membuat saya tertidur lelap.
Pagi hari pukul lima kami terbangun dan melakukan salat Subuh berjamaah. Setelah itu siap-siap untuk balik ke hotel. Pukul enam kami sudah berada di atas onta masing-masing dan kembali mengarungi padang Gurun Sahara yang kali ini cuacanya lebih bersahabat. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak untuk berfoto-foto di sebuah bukit pasir sebelum kembali ke hotel.
Sampai di hotel kami sarapan, mandi, dan berangkat kembali kali ini menuju kota Fez. Perjalanan menuju Kota Fez diperkirakan akan memakan waktu delapan jam perjalanan melintasi pegunungan dan kota-kota kecil. Kami akan menginap semalam di Fez nanti.
Maroko, 19 Juli 2018