Maroko adalah salah satu negara di Afrika yang dikenal memiliki iklim yang panas. Bahkan di waktu-waktu tertentu panas di negara ini bisa mencapai temperatur yang ekstrem. Itu sebabnya banyak orang yang menghindari bepergian ke negara ini di musim panas. Tapi saya memang lebih suka musim panas ketimbang musim dingin. Kami bahkan mencoba menikmati panasnya udara di Gurun Sahara kemarin yang ternyata memang aduhai. 😄 Hal ini membuat saya lebih bersyukur tinggal di negara Indonesia yang meski pun di katulistiwa tapi panasnya tidak sedahsyat di Maroko.
Meski demikian di negara yang panas ini terdapat sebuah kota yang justru dikenal sangat sejuk bahkan memiliki salju, yaitu Kota Ifrane. Kota Ifrane ini bahkan dijuluki sebagai Swiss-nya Maroko karena memang Ifrane adalah kota yang memiliki cuaca dingin layaknya di Swiss. Kota Ifrane dingin karena terletak di ketinggian 1.664 Mdpl. Semacam Puncaklah tapi jauh lebih dingin. Tapi di musim panas seperti sekarang dinginnya tidak terlalu terasa.
Dulu kota ini dibangun oleh penjajah Perancis pada tahun 1930-an sehingga kota ini berbeda dengan kota-kota asli Maroko lainnya. Sisa peninggalan Prancis pun masih terlihat pada sejumlah bangunan bergaya Eropa yang ada di Ifrane. Pokoknya berbedalah dengan kota-kota yang lain. A taste of Europe in Maroko.
Iklim sejuk kota ini kontras dengan kota-kota sekitarnya seperti Marrakech dan Fez. Hal ini membuat Prancis tertarik untuk membuat pusat administrasi di sana waktu itu. Tak cuma sejuk, pepohonan dan rumput hijau juga tumbuh subur dan menjadi daya tarik lain dari Kota Ifrane.
Pada musim dingin suhu di Ifrane bisa menjadi sangat rendah. Nyaris seluruh kota akan tertutupi salju. Bahkan katanya temperatur di Ifrane pernah mencapai minus 24 derajat celcius, suhu yang terendah di benua Afrika. Tapi kami saat ini tentu tidak merasakannya karena kami datang pada musim panas.
Setelah merdeka dari Prancis, kota ini kemudian dihuni penduduk asli. Kota Ifrane juga semakin diperbesar dan berbagai fasilitas bertambah seperti masjid hingga universitas. Kini, Ifrane pun menjelma menjadi sebuah kota modern yang banyak dikunjungi sebagai tujuan wisata. Iklimnya yang sejuk dan dingin ini membuat banyak pelancong dari berbagai negara tertarik datang dan bahkan menghabiskan waktu berlibur dengan bermain ski dan salju.
Karena sampai di Ifrane siang hari kami berniat untuk salat Dhuhur dan Ashar di kota ini. Tapi kami kesulitan untuk salat di masjid karena masjid selalu ditutup kalau sudah selesai salat. Masjid di Maroko memang tidak selalu terbuka seperti di Indonesia. Di Maroko ini masjid hanya dibuka pada waktu salat saja dan setelahnya ya ditutup lagi. Akhirnya kami salat berjamaah di taman di bawah pohon yang memang disediakan tikar utk salat. Ini menjadi pengalaman yang unik bagi kami.
Kota Ifrane ini ramai dengan warga yang berekreasi di taman atau pun di kafe-kafe. Hampir semua kafe penuh dengan pengunjung yang tampaknya lebih suka duduk di luar sambil melihat-lihat pemandangan di jalanan. Kata Mas Alvian bisnis kafe adalah bisnis yang paling menjanjikan di Maroko sekarang ini karena selalu penuh. Orang Maroko ini senang nongkrong di kafe baik itu warga kelas atas atau pun bawah. Saya jadi ingat Aceh yang warganya punya kesenangan yang sama. 😄
Setelah beristirahat dan menikmati suasana kota di taman kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kota Fez, sebuah kota penting dan selalu menjadi tujuan wisata di Maroko.
KOTA FEZ
Fez kini merupakan kota ketiga terbesar di Maroko, setelah Casablanca dan Rabat, dengan penduduk sekitar sejuta jiwa. Fez juga disebut satu dari empat ibu kota monarki di Maroko, selain Marrakesh, Meknes, dan Rabat karena hampir semua monarki yang berkuasa di Maroko selalu menjadikan kota Fez sebagai ibu kotanya. Pada masa dinasti Almohad (1130-1269), kota Fez merupakan kota terbesar di dunia, yakni persisnya dari tahun 1170 hingga 1180. Fez juga saat itu dikenal sebagai pusat kota ilmu pengetahuan dan keagamaan, di mana kaum Muslim dan juga Kristen dari Eropa datang ke Fez untuk menimba ilmu.
Kota Fez lebih dikenal sebagai kota spiritual dan budaya di Maroko. Kota Fez dibangun oleh Raja Idris I pada tahun 789 Masehi. Kemudian dilanjutkan pembangunannya oleh putranya, Idris II, hingga tahun 810 Masehi. Kota Fez terkenal karena adanya Masjid dan Universitas Kairouyine (Al-Qarawiyyin) yang berada di tengah kota tersebut.
Untuk menuju kesana kami harus masuk ke komplek Kota Fez lama. Kota Fez lama yang juga dikenal dengan nama Fez Al Bali yang hanya bisa dimasuki dengan jalan kaki atau naik sepeda. Kendaraan beroda empat tidak bisa masuk kota Fez lama.
Begitu masuk lewat daerah Rcif kita seperti kita akan masuk lorong-lorong gang kecil yang berkelok-kelok seperti labirin. Kalau pertama kali masuk kesini tanpa pemandu katanya pasti akan tersesat. Masjidnya ada di tengah komplek perumahan dan juga ada tempat penyamakan kulit. Ini mengingatkan kami akan Masjid Ampel di Surabaya yang lokasinya juga di tengah perkampungan dan pertokoan milik warga.
Kota Fez. terdiri dari dua bagian, yaitu kota baru dan kota lama. Masjid Al-Qarawwiyin berada di kota lama. Dari atas bukit, kota Fez lama tampak bak hamparan kawasan padat dengan rumah-rumah atau bangunan yang berimpit-impitan. Seperti halnya kota-kota Arab lama, kota Fez lama juga dikelilingi tembok tinggi sekitar 5 meter dengan memiliki beberapa pintu masuk.
Katanya sejak 1.000 tahun yang lalu wujud kota Fez lama seperti ini dan tidak berubah sama sekali. Sungguh menakjubkan melihat kehidupan di dalam kota Fez lama itu. Sebuah sistem kehidupan mandiri dan eksklusif dengan infrastruktur kota yang lengkap dengan toko-toko, sekolah-sekolah agama, rumah-rumah penduduk, restoran-restoran yang berhadap-hadapan dengan hanya dipisah jalan sempit selebar sekitar 2 meter saja. Katanya penduduk kota Fez lama tidak perlu keluar kota karena semua kebutuhan hidup dasar telah terpenuhi di dalam kota ini.
Jika kita berada di dalam kota Fez lama maka kita seakan merasakan hidup seperti suasana berabad – abad lampau. Suasana ini sungguh bertolak belakang dengan kehidupan di Kota Fez baru yang modern.
Masjid dan universitas Al-Qarawiyyin adalah dua bangunan yang membuat Fes dikenal sebagai kota spiritual. Pada masa kejayaan Islam, universitas (jami’ah) yang berada di jantung kota Fes ini menjadi tujuan menuntut ilmu dari para mahasiswa mancanegara, baik dari dunia Islam maupun Eropa.
Berdasarkan catatan sejarah Universitas Al-Qarawiyyin merupakan universitas pertama yang lahir dari peradaban Islam. Universitas ini didirikan pada tahun 859 M. Pada 1988, Guinness Book of World Records menempatkan universitas ini sebagai perguruan tinggi tertua dan pertama di seluruh dunia yang menawarkan gelar kesarjanaan. Universitas ini lebih tua dari Universitas Al-Azhar di Kairo yang mulai berdiri pada abad ke-10, bahkan jauh lebih tua dari berbagai universitas terkemuka di Eropa, seperti Universitas Bologna dan Universitas Oxford.
Masjid dan Universitas Qarawwiyin itulah yang membuat kota Fez populer sebagai kota spiritual. Masjid dan Universitas ini menjadi tujuan menuntut ilmu bagi siswa dari mancanegara, baik dari dunia Islam maupun Eropa pada masa kejayaan Islam. Kami beruntung datang pada hari Jum’at sehingga bisa ikut salat Jum’at di masjid yang legendaris ini.
Selain Masjid dan Universitas Al-Qarawwiyin, Kota Fez juga memiliki lokasi spiritual lain, yaitu Mousoleum pendiri Tarekat Tijaniyah, yakni Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al Mukhtar at Tijani (1737-1815). Mousoleum ini juga berfungsi sebagai masjid yang ingin salat di sana. Tapi masjid di sini tidak dipakai untuk menyelenggarakan salat Jum’at karena dipusatkan di Masjid Karawiyyin yang berdekatan letaknya.
Tarekat Tijaniyah mempunyai jutaan pengikut di seantero dunia Islam, termasuk di Indonesia. Katanya ratusan penziarah mengunjungi kota Fez untuk mencari berkah di mousoleum pendiri Tarekat Tijaniyah itu. Di sini katanya selalu ada orang dari mancanegara baik dari Afrika, Asia, atau negara Arab lain yang tinggal berhari-hari, bahkan berminggu-minggu di dalam Mausoleum untuk mencari berkah.
Kami juga sempat masuk ke dalam maqam Maula Idris II yang berada di sekitar kompleks dan oleh penjaganya diminta masuk ke sebuah ruang kecil dan rendah atapnya sehingga kami tidak bisa berdiri dan hanya duduk menghadap sebuah lubang gelap. Ia kemudian membaca beberapa surah dan doa yang umum kita baca yang lalu kami aminkan. Begitu selesai dan kami keluar lalu diminta utk memberi sedekah. Rupanya penjaga ini merangkap sebagai pendoa bayaran. 😊
Setengah jam sebelum salat Jum’at tiba, yaitu jam 13:35, kami sudah masuk ke Masjid Al-Qarawwiyin untuk menunggu waktu salat Jum’at di mulai. Kami wudhu di semacam kolam dan kami menyendok air dengan tangan karena tidak disediakan gayung untuk mengambil air.
Masjid ini sangat besar dan dilapisi dengan karpet-karpet tebal. Tapi para jamaah yang kebanyakan adalah warga sekitar tidak langsung mengambil tempat shaf di depan sebagaimana di Indonesia tapi menyebar sendiri-sendiri mencari tempat bersandar. Di sini memang tidak ada petugas masjid yang bertugas merapikan barisan shaf sebagaimana layaknya di masjid di Indonesia. Bahkan pada waktu azan dan imam membacakan khotbah mereka juga tidak bergerak mengisi shaf terdepan. Begitu salat Jum’at akan dimulai barulah mereka bergerak maju ke depan. Itu pun barisan shafnya tidak rapi dan tidak rapat. Rupanya arah kiblat tidak sesuai dengan susunan karpet dan agak miring. Tapi jamaah duduk semaunya sendiri sehingga shaf salat samasekali tidak rapi apalagi rapat. Islam Nusantara sungguh jauh lebih tertib dan rapi. 😊 Saya perhatikan mereka juga tidak membaca doa iftitah dan pada tahiyat akhir juga tidak duduk miring seperti kita.
Universitas Al-Qarawwiyin yang terletak di kota Fez lama ini masih tetap menjadi pusat menuntut ilmu agama para pelajar dari dunia Islam, termasuk Indonesia. Tapi Mas Alvian belajar di Kota Rabat di jurusan Darul Hadist. Menurutnya mahasiswa Indonesia yang belajar di Maroko sebanyak 70-an mahasiswa, termasuk di antaranya yang belajar di Universitas Imam Nafi’ di Tangier.
Di kompleks Kota Fez lama ada juga tempat yang biasa dikunjungi para wisatawan, namanya Tenneries, yaitu tempat untuk penyamakan kulit binatang. Bahan kulit yang akan dijadikan produk seperti tas tangan kulit, jaket kulit, sepatu kulit dll asal Maroko ini terkenal sudah sampai ke seluruh dunia. Teknik yang digunakannya tersebut sudah ada sejak abad pertengahan dan hingga kini masih di pakai. Kami sempat melihat-lihat dan berbelanja tas juga.
Palace Royal of Fez.
Salah satu tempat kunjungan wisata di Kota Fez adalah Dar al-Makhzen atau Palais Royale yang merupakan istana Sultan Alawiyah (Alaouite Sultan). Istananya terletak di perempatan Fes Jdid dan luasnya 80 hectares. Sayang sekali bahwa istana ini tidak dibuka untuk umum dan pengunjung hanya boleh berfoto-foto di depan gerbangnya yang penuh dengan ukiran kayu dan kuningan yang indah tersebut.
Dari Fez kami kemudian melanjutkan perjalanan kami menuju Kota Rabat yang terletak sekitar 170 km dari Fez. Kami akan tidur di Hotel Rihab di Rabat malam ini.
Jum’at, 20 Juli 2018