
Ketika kami diberitahu bahwa kota Ruteng itu dingin dan kami perlu pakai jaket kami setengah tidak percaya. Kok ada kota di Flores NTT yang dingin? Bukankah Flores NTT itu terkenal panas hawanya? Ternyata setelah kami sampai Ruteng barulah kami percaya bahwa Ruteng ini hawanya sejuk seperti Malang dulu, kata istri saya yang pernah tinggal di Singosari. Pantasan kok hotel Spring Hill yang kami tempati tidak ada AC-nya lha wong sudah dingin alami.
Hotel Spring Hill yang kami inapi letaknya dekat dengan masjid dan gereja. Meski saya tidak melihatnya tapi adzannya terdengar sampai kamar kami. Yang unik adalah ketika iqamah salat Subuh dikumandangkan bersama dengan dentang lonceng gereja yang berbunyi berdentang-dentang. Wake up….! Time to pray, guys! 😁
LIANG BUA
Liang Bua adalah sebuah gua yang menjadi andalan pariwisata Ruteng yang ada di Dusun Rampasasa, Desa Liang Bua, Ruteng, Kabupaten Manggarai. Jarak dari kota Ruteng ke Dusun Rampasasa tempat dimana Gua Liang Bua berada sekitar tigabelas kilometer dan dapat di tempuh sekitar satu jam perjalanan.
Menurut kebahasaan, kata liang memiliki arti “gua” dan bua berarti “sejuk”/”dingin”, yang diambil dari bahasa Manggarai. Ukuran Liang Bua mencapai 50 meter panjang, 40 meter lebar, dan 25 meter tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan para arkeolog menyebutkan bahwa usia Liang Bua mencapai 190.000 tahun. Di zaman dahulu diperkirakan Liang Bua mempunyai fungsi sebagai hunian manusia prasejarah dimulai dari zaman Batu (Paleotikum), zaman Batu Madya (Mesolitikum), zaman Batu Muda (Nesolitikum), hingga zaman Logam Awal (Paleometalikum).
Penemuan yang menarik dari gua ini adalah tengkorak kuno dari manusia Flores (Homo floresiensis). Di kedalaman enam meter, tengkorak ini berbentuk manusia pendek dengan tinggi badan 100 cm dan berat 25 kilogram, yang berasal dari 18.000 tahun yang lalu. Selain itu, di kedalaman 10,7 meter terdapat penemuan rangka binatang seperti kadal, kura-kura, dan gajah purba.
Perjalanan menuju Liang Bua butuh waktu hampir satu jam melewati jalan sempit, terjal, mendaki, dan berkelok-kelok. Di beberapa bagian jalanan rusak dan berlobang-lobang. Harus ekstra hati-hati melewatinya. Di beberapa tempat di mana mobil kami berpapasan dengan mobil lain kami harus berhenti atau mundur untuk mencari celah yang bisa dilalui oleh dua mobil. Mana berkali-kali pula… Kebetulan ini hari Minggu dan banyak orang yang datang dan bersliweran lewat jalan satu-satunya ini. 😁 Cocoknya memang pakai sepeda motor saja ke lokasi ini. Itu pun kita harus ekstra hati-hati. Saking menegangkannya perjalanannya sampai istri saya bilang antara yang dilihat dengan perjalanannya ‘not worth it ‘. Tentu saja bilang ‘worth it’ lha wong kami cuma duduk saja di belakang dan sopirnya yang jibaku ungkak-ungkik agar bisa lewat. 😁
Dalam perjalanan menuju ke Kampung Bena kami mampir untuk beli durian di sebuah warung penjual buah dan makan di tempat. Tiga buah durian yang lumayan besar hanya 100 ribu. Duriannya enak, manis, dan gurih. Kami bertiga dengan sopir ternyata tidak mampu menghabiskannya. Sungguh puas rasanya bisa makan duren. Soalnya sejak di Sape kami sudah melihat truck dan pick-up membawa muatan durian dan pingin mencoba. Tapi kami tentu tidak bisa membawanya ke hotel karena baunya yang menyengat itu. Bahkan membawanya masuk ke mobil kami saja kami tidak mau karena tidak mau mabuk bau durian. 😁
KAMPUNG BENA
Kampung Bena merupakan sebuah objek wisata yang terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini tepatnya terletak di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada sekitar 19 Km dari Bajawa. Kampung adat Bena adalah salah satu kampung adat di Bajawa, Kabupaten Ngada. Kampung adat Bena adalah perkampungan adat peninggalan zaman Megalitikum. Letaknya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada. Jarak kampung adat ini dari pusat Kota Bajawa sekitar 19 km yang bisa diakses menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan akses jalan yang sudah baik.
Letak Desa Bena yang terletak di puncak bukit dengan latar belakang Gunung Inerie sungguh membuat suasana Desa Bena semakin asri dan eksotis. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama yang mempercayai dan memuja gunung sebagai tempatnya para dewa, dan masyarakat Bena meyakini bahwa keberadaan Dewa Yeta yang bersinggasana di Gunung Inerie akan melindungi kampung mereka.
Kami sampai di Desa Bena sekitar jam 4 sore dan berkeliling di Desa yang eksotis tersebut hampir satu jam.
BAJAWA
Dari Ruteng kami akan menuju Bajawa, sebuah kabupaten kecil, yang berpenduduk sekitar 45.000 jiwa. Katanya kota ini menawarkan wisata alam yang tak kalah menarik dibandingkan daerah lain di daratan Flores.
Bajawa adalah ibukota Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Bajawa sendiri terletak tepat di tengah pulau Flores yang berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Manggarai Timur. Saya yakin kalian tidak tahu nama pusat kotanya. Lha wong Kabupaten Nagekeo atau Nage Leo saja saya baru tahu kok.
Kami tiba di Bajawa pas Maghrib dan bersamaan dengan bubaran pertandingan sepakbola kayaknya. Warga, utamanya anak-anak muda, bergerombol keluar dari lapangan beramai-ramai naik motor atau pun jalan kaki. Baru sekali ini kami melihat orang berkumpul sebanyak ini.
Bajawa ini ternyata kota kecil yang tampak sunyi dan bahkan di Taman Kartini yang boleh dianggap sebagai pusat kota tidak banyak orang yang nongkrong. Mungkin karena kota ini lebih dingin daripada Ruteng. Dinginnya seperti Tretes atau Selecta di Jawa Timur. Hembusan anginnya yang kencang bikin semakin dingin. Tapi katanya di musim kemarau justru lebih dingin.
Kami menginap di Hotel Silverin. Kamarnya kecil tapi bersih dan air panasnya lancar. Alhamdulillah…! 🙏😁
Bajawa, 6 Maret 2023
Satria Dharma