
Semalam hujan di Bajawa. Tidak deras tapi membuat pagi menjadi semakin dingin. Hutan di belakang hotel dan jalanan berkabut dan tampak mistis sekaligus melankolis.
Berikut ini beberapa tempat wisata yang kami kunjungi di Bajawa.
PEMANDIAN AIR PANAS MANGERUDA
Pemandian Air Panas ini berada di Desa Piga, Kecamatan Soa. Untuk menuju lokasi ini kami menuju ke arah utara yang berjarak sekitar 25 km dari Kota Bajawa. Kita akan melewati Bandar Udara Soa Bajawa yang pagi ini masih ditutup karena tidak ada penerbangan. Ini bandara kecil yang penerbangannya sesekali saja adanya. Dari sini ke pemandian hanya sekitar 10 menit.
Pemandian air panas Mangeruda ini jauh lebih baik daripada yang ada di Songgoriti, Jawa Timur. Karena jarang yang datang (kami satu-satunya yang datang pagi ini) maka jelas airnya lebih jernih Dan lebih segar.
Suhu airnya mencapai 30 derajat celcius dan memiliki sumber mata air yang berasal dari sebuah kolam yang mengalir ke sungai utama melalui bebatuan yang agak tinggi sehingga tampak seperti air terjun kecil. Pokoknya keren deh. Sungguh layak untuk didatangi kata istri saya. 😁 Yang lebih hebat lagi adalah pemandian yang luas ini secara rutin dibersihkan oleh tiga orang tukang sapu. Pantas kok bersih sekali. Padahal pemandian ini seperti hutan saja lebatnya pepohonannya. Sehingga daun-daun selalu berjatuhan setiap saat apalagi di musim hujan seperti ini.
Setelah mandi-mandi menikmati air panas Mangeruda Soa kami turun ke Selatan ke arah Ende. Perjalanannya sangat menyenangkan karena jalanan cukup lebar, bagus dengan pemandangan yang sangat asri.
PANTAI BATU BIRU
Pantai Batu Biru merupakan sebuah objek wisata pantai yang terletak di Penggajawa, Nangapanda, Kabupaten Ende. Jaraknya dari pusat kota Ende sekitar 20 km sebelum kota Ende. Daya tarik dari Pantai Batu Biru ini adalah warna-warni batuan yang terdapat di pesisir pantai. Bukan hanya berwarna hijau saja, namun batuan di pantai ini juga ada yang berwarna biru, ungu, kuning, merah dan juga ada yang berlapis warna. Batu tersebut juga tidak hanya terdiri dari satu bentuk. Ada banyak bentuk batuan yang bisa ditemukan di kawasan pantai ini misalnya bentuk segitiga, kotak, bundar dan juga lonjong.
Selain warna dan bentuknya, ukuran batuan di kawasan Pantai Batu Biru ini juga beragam. Kita bisa menemukan ukuran batuan berbentuk lucu dengan ukuran sangat kecil seukuran kacang hingga ukuran besar.
Kebetulan sekali di situ ada warung makan dengan menu ikan bakar yang ternyata sangat maknyus. Sungguh puas rasanya bisa makan ikan bakar di warung ini. 😁
Setelah makan kami segera meluncur lagi ke kota Ende dan langsung menuju ke
MUSIUM PENGASINGAN SOEKARNO.
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, diasingkan Belanda sejak tahun 1934-1938 di Kota Ende, Kabupaten Ende, NTT. Pengasingan ini bermula dari pertemuan politik di kediaman Muhammad Husni Thamrin pada 1 Agustus 1933 di Jakarta. Tentu saja Belanda sangat takut bangsa Indonesia memberontak dan ingin merdeka karena provokasi para pejuang kemerdekaan kita. Soekarno ditangkap seorang komisaris polisi saat dia keluar dari kediaman Husni Thamrin. Bung Karno pun diasingkan selama delapan bulan tanpa adanya proses pengadilan. Keputusan pengasingan Bung Karno oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, akhirnya dikeluarkan pada 28 Desember 1933. Saat itu, Soekarno diputuskan diasingkan ke Ende saat usianya 32 tahun.
Di Ende dibuatkan musium tempat pengasingan dan juga rumah di mana dulu Presiden Soekarno ditempatkan selama diasingkan. Di Kota Ende, Bung Karno menetap di rumah sederhana yang terletak di jalan Perwira, Kelurahan Kotaraja, Ende Utara. Di Endelah Bung Karno menemukan ide Pancasila yang dipakai oleh bangsa kita sampai saat ini.
Hingga kini, rumah pengasingan Bung Karno itu tetap dijaga dan dirawat dengan baik.
Bung Karno diasingkan bersama keluarganya, yaitu ibu Inggit Garnasih, istrinya, ibu Amsi, mertua, dan Ratna Juami, anak angkatnya. Selama masa pengasingan di Ende Bung Karno kerap berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya yakni para tokoh di Ende, seperti Hj Hasan Aroebusman (namanya dijadikan nama bandara di Ende), Hj Abdul Gani, dan para pastor. Ternyata Bung Karno suka melukis. Salah satu karya lukisan Bung Karno yakni lukisan pura bali (1935). Lukisan itu terinspirasi dari daerah asal ibundanya yakni pulau Bali. Selama empat tahun di Ende, Bung Karno juga bermain biola, bercocok tanam, dan rekreasi bersama keluarga. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama pengasingan, Bung Karno membuat naskah drama dan dipentaskan oleh murid-muridnya di Gedung Imaculata. Selama di pengasingan, Bung Karno menyusun banyak naskah seperti Rendoraterua (cerita tentang adat istiadat masyarakat), Anak Haram Jada atau Maha Iblis, Dokter Setan (perjuangan), Indo 45, Jala Gabi, Kut-kut Bi, Jula Gubi, dan Aero Dinamit.
Kami memutuskan untuk tidak menginap di Ende tapi langsung naik ke Desa Moni. Desa Moni adalah desa terdekat untuk menuju lokasi puncak bukit untuk melihat danau Kelimutu. Untuk melihat danau Kelimutu kami harus bangun pagi dan melakukan trekking ke puncak agar bisa melihat matahari terbit (sunrise). Kami memang harus pagi sekali sampai di puncak agar tidak keduluan kabut yang akan menutupi area tersebut.
Kami direkomendasikan untuk menginap di Kelimutu Ecolodge. Kami tiba di Kelimutu Ecolodge sudah gelap. Penginapannya bagus dan kamar yang standard ratenya 720 ribu. Sayang air panas tidak jalan dan sinyal juga buruk. Tapi yang penting kami bisa istirahat dengan nyaman karena kelelahan dengan aktivitas seharian.
DAY 6
Pagi jam 4:30 saya sudah ditelpon oleh Heribertus, sopir sekaligus guide kami, untuk siap-siap naik ke danau Kelimutu. Jam 05:00 setelah salat Subuh kami langsung naik mobil sekitar setengah jam dari Kelimutu Ecolodge di Desa Moni naik ke tempat parkir mobil di bawah danau Kelimutu. Dari sini kami berjalan kaki trekking.
DANAU KELIMUTU
Danau Kelimutu merupakan sebuah danau yang luar biasa indah dan unik. Keunikannya adalah karena ada tiga buah danau dengan warna yang berbeda-beda. Itu sebabnya danau ini pun dikenal juga dengan nama Danau Tiga Warna, dengan keunikan yang dimilikinya Danau Kelimutu sempat diabadikan dalam pecahan uang Rp. 5.000,- beberapa tahun silam.
Danau yang berada di ketinggian sekitar 1.639 mdpl ini menyuguhkan panorama alam yang luar biasa indah, maka tak heran jika selalu saja dikunjungi wisatawan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Dari Kota Ende kita menuju ke desa di kaki Gunung Kelimutu, yaitu Desa Moni. Jarak Desa Moni sekitar 52 km dari kota Ende. Jarak Desa Moni menuju gerbang Taman Nasional Kelimutu bisa ditempuh dengan naik mobil sekitar 30 menit. Dari gerbang Taman Nasional barulah kita melakukan trekking naik ke puncak Gunung Kelimutu sekitar 20 menit yang cukup membuat nafas saya tersengal-sengal.
Udara di Moni cukup dingin. Untungnya kami sudah siapkan jaket dan topi. Tapi yang lebih penting adalah siapkan stamina dan semangat untuk mendaki ke puncak Kelimutu. Ayo semangat trekking!
Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat. Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna – warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Para penduduk di sekitar Danau Kelimutu percaya, bahwa pada saat danau berubah warna, mereka harus memberikan sesajen bagi arwah orang – orang yang telah meninggal.
Kami menikmati pemandangan di puncak Gunung Kelimutu yang cerah sekitar 2 jam dan balik ke Kelimutu Ecolodge. Setelah sarapan kami segera berangkat lagi menuju Maumere.
Semula kami berniat untuk menginap semalam di Maumere dan setelah itu lanjut ke Larantuka semalam. Tapi dalam perjalanan rute kami ubah. Kami mau ke Larantuka dulu semalam baru kembali ke Maumere.
Dalam perjalanan ke Maumere kami berhenti di Pantai Koka.
PANTAI KOKA
Pantai Koka terletak di Desa Wolowiro, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah populer bagi sebagian besar masyarakat di Pulau Flores.
Pantai Koka atau yang dijuluki dengan The Dream Beach ini merupakan salah satu obyek wisata favorit di Maumere. Dari Kota Maumere jaraknya sekitar 48 km. Terletak sekitar 50 kilometer jauhnya dari Maumere, pantai ini memiliki akses yang searah dengan jalan menuju Ende. Karena itu, kunjungan ke Pantai Koka bisa dilakukan dalam perjalanan darat dari Maumere ke Ende, atau sebaliknya.
Pemandangan indah dengan hamparan pasir putih dan birunya laut di Pantai Koka menjadi daya tarik luar biasa. Air laut di pantai ini begitu jernih dan masih alami belum terjamah oleh tangan-tangan jahil. Terumbu karang yang menghiasi air lautnya juga turut mempercantik pemandangan Pantai Koka. Sayang sekali bahwa kondisi jalannya memang terbilang buruk. Jalan masuk pantai itu memang belum beraspal dan bahkan sangat sempit dan sulit karena banyak berlobang.
MUSIUM BIKON BLEWUT
Dalam perjalanan kami dari Desa Moni Kelimutu ke Maumere kami mampir ke sebuah musium. Musiumnya kecil saja tapi katanya ini termasuk museum paling populer di NTT. Namanya Museum Bikon Blewut. Terletak 10 km dari arah kota Maumere yang berada di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero Kecamatan Nita Kabupaten Sikka. Kata Bikon artinya lampau, dan Blewut artinya rusak. Bikon Blewut mempunyai makna sisa-sisa peninggalan masa lampau (yang sudah rusak). Museum Bikon Blewut sudah ada sejak 1949. Di museum ini terdapat koleksi peninggalan bersejarah masa lampau baik lokal, Indonesia bahkan luar negeri dari zaman batu dan perunggu seperti fosil, pakaian adat dan perhiasan, benda-benda porcelain, peralatan musik, tenunan, anyaman, dan ukiran, senjata, dan juga uang-uang masa lampau. Banyak orang asing, terutama orang Eropa yang berkunjung ke museum ini untuk penelitian. Museum ini menyimpan sejarah transformasi manusia Floresniensis menjadi Homo Sapiens. Sebuah museum yang menjadi pengingat bahwa pulau Flores bernama Nusa Nipa pada zaman dahulu. Nusa artinya pulau sedangkan Nipa artinya Ular. Jadi Pulau Flores ini katanya berdiri di atas sosok ular Sawaria alias ular piton.
Kami tiba di Larantuka, kota pantai di Flores Timur ini, tepat sebelum Maghrib. Kami langsung menuju ke Sunrise Hotel yang sudah kami booking sebelumnya.
Sampai besok di Larantuka dan Maumere.
Larantuka, 7 Maret 2023
Satria Dharma