
“Coffee, Tea, or Sopi….?!” 😁
Untuk perjalanan kami berikutnya adalah ke Ruteng – Bajawa – Ende – Maumere – Larantuka – balik lagi ke Maumere dan pulang naik pesawat ke Surabaya. Kami perkirakan perjalanan ini memakan waktu sekitar lima hari. Untuk perjalanan ini kami putuskan untuk menyewa mobil. Kami dapat kontak agen dan dapat sewa mobil murah. Mobilnya Fortuner, sopir sekaligus guide, bensin dengan harga 1,1 juta/hari. Tapi karena nantinya dia akan pulang kosong ke Labuan Bajo maka sewanya dihitung 7 hari. No problemo. Ini jauh lebih murah ketimbang kalau kami pakai jasa travel tentunya
Kami berangkat dari Labuan Bajo pagi hari sekitar jam 8 pagi dan langsung menuju ke Ruteng. Perjalanan melalui jalanan berkelok-kelok dan naik turun. Tapi pemandangan sekitar sangat indah. Kami sempat berhenti di jalanan di mana ada replika kapal phinisi dibangun oleh Habitat Masyarakat Spesies yang tidak ada penunggunya. Kami foto-foto sebentar di situ.
Di sepanjang jalan kami lihat ada botol-botol seperti botol bensin pertalite diletakkan di rak-rak. Tapi cairannya putih bening tidak seperti pertalita atau solar. Ternyata itu adalah minuman asli daerah tersebut yang disebut Sopi. Namun sebagian lagi mengenalnya dengan Moke. Sopi merupakan minuman keras semacam Sakenya orang Flores. Sopi berasal dari bahasa Belanda “Zoopje” yang berarti alkohol cair. Produksinya dengan cara penyulingan dari bahan baku daun lontar. Biasanya minuman ini sering dihidangkan sebagai minuman perjamuan untuk tamu yang berkunjung ke Flores. Jadi para tamu akan ditanyai mau minum Kopi, Teh, atau Sopi? 😁
RUMAH ADAT TODO
Lokasi wisata pertama yang kami datangi adalah Situs Kampung Adat Todo. Situs ini bekas istana kerajaan Manggarai di Flores. Jadi Manggarai yang asli itu di Flores ya guys, bukan di Tebet, Jakarta Selatan. Entah kenapa daerah di Tebet, Jaksel itu disebut Manggarai. Apakah karena daerah itu dulu merupakan pemukiman warga Manggarai Flores sehingga dinamakan demikian.
Situs ini berlokasi di Desa Todo, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai. SItus Kampung Adat Todo memiliki luas 419 m2.
Kampung ini terletak di dataran tinggi yang berbatasan langsung dengan lembah di sekelilingnya. Jalanan menuju kampung adat ini sempit dan sebagian rusak parah sehingga kami harus jalan pelan-pelan. Karena sempitnya kalau berpapasan dengan mobil lain maka salah satu harus mengalah. Kami bahkan harus mundur karena berpapasan dengan mobil lain dan mencari celah agar mobil tersebut bisa lewat. A little bit scary actually. Tapi begitu mendekati lokasi sudah lebar dan bagus jalannya.
Kampung adat Todo ini dikenal sebagai pusat peradaban Minangkabau. Orang Flores menyebutnya “Minangkebau”. Untuk masuk ke desa ini bayar 45 ribu per orang dan harus pakai sarung dan kopiah khas Manggarai.
Akses jalan memasuki kampung ini berupa susunan batu gunung yang tersusun rapi mengelilingi halaman kampung. Jalan ini juga merupakan akses untuk menuju ke Niang Mbowang (Bangunan Induk). Sebelum memasuki halaman kampung terdapat lima buah meriam yang berjejer pada bagian depannya, yang kata guidenya merupakan meriam Belanda. Kok ya Belanda ini sampai di sini juga bawa-bawa meriam. 😳 Katanya meriam itu diletakkan di sana untuk menjaga kerajaan Manggarai. Tapi menurut saya Belanda itu meletakkan meriam di sana sebagai perlambang bahwa mereka berkuasa di kerajaan Manggarai. Asu tenan mereka itu… 🥴
Selanjutnya, memasuki halaman kampung yang terletak di central terdapat compang (tempat persembahan) berbentuk persegi empat yang terletak dalam satu garis lurus dengan akses jalan untuk memasuki kampung todo.
Ciri khas kampung Todo adalah Niang Todo yakni sebuah rumah adat yang menyerupai rumah panggung dengan bentuk bundar, serta beratap jerami berbentuk kerucut yang diketahui merupakan istana raja Todo terdahulu. Rumah adat ini hampir sama seperti rumah adat Manggarai pada umumnya, beratapkan ijuk yang berbentuk kerucut dengan rangka kayu dan bambu, jika kerucut dibuka maka kerangkanya akan menggambarkan sebuah jaring laba-laba. Rumah adat Todo ini diketahui merupakan rumah adat tertua di Kabupaten Manggarai. Selain bangunan rumah adat induk tersebut juga terdapat empat buah bangunan rumah adat lainnya yang menyerupai bangunan induk, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil. Keempat bangunan tersebut merupakan bangunan rumah adat yang baru dan dibangun untuk melengkapi keberadaan bangunan induk.
Di dalam rumah Induk kita akan diminta untuk duduk disambut Ketua Adat yang akan melakukan upacara berdoa kepada arwah para leluhur. Doanya agar kami sebagai tamu selalu diberi keselamatan selama di kampung ini. Amin ya rabbal alamin… Doanya tentu dalam bahasa asli mereka. Setelah berdoa kita memberi donasi sebagai syarat ritual upacara penyambutan tamu. Tentu saja yang menerima bukan arwah para leluhur tapi Bapak Ketua Adat. Kan beliau yang berdoa.
Rumah induk ini besar dan kokoh dan dibangun dengan batang-batang kayu besar dan tinggi. Saya membayangkan alangkah sulitnya waktu membangun dahulu kalau ketika belum ada peralatan modern untuk membantu mereka. Hal-hal semacam ini membuat saya merasa kagum pada mereka. Bisa membangun rumah atau gedung besar dan indah sebelum ada teknologi adalah pekerjaan yang luar biasa.
SAWAH JARING LABA-LABA
Lokasi berikutnya yang kami datangi adalah persawahan yang berbentuk jaring laba-laba di Desa Cancar. Untuk menuju ke Cancar, kita harus melewati jalan Trans-Flores, kembali menuju arah Labuan Bajo.
Perjalanan dari Ruteng ke Desa Cancar sekitar 1–2 jam. Tapi dari Kampung Adat Todo tidak terlalu jauh. Untuk melihat sawah bak jaring laba-laba itu kita harus naik ke bukit dengan menyusuri anak tangga hingga jalan tanah setapak yang tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 100 meter. Jadi tidak terlalu melelahkan (meski pun tetap saja kami terengah-engah). Soalnya kan kami sudah pernah naik ke puncak Pulau Padar yang jauh lebih tinggi. 😁 Dari atas perbukitan inilah kita bisa melihat persawahan yang unik dan pemandangan yang luar biasa indah. Dari atas bukit terlihat keelokan lodok Desa Cancar. Garis pematang sawahnya benar-benar seperti gambar spider web alias jaring laba-laba raksasa. Sawah yang aslinya berbentuk lingkaran itu diiris garis pematang sawah berbentuk segi tiga, lalu menjadi seperti jaring laba-laba.
Sawah model jaring laba-laba ditemukan sekitar 1940-an. Saat ini lodok terbesar bernama lodok Pong Ndrung. Luas lodok itu mencapai 6 hektare dan dimiliki 50–60 orang. Hingga saat ini ada aturan kuat yang dipegang pemilik lodok. Yakni, lahan lodok itu tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain di luar keluarga inti. Dengan demikian, sampai kapan pun, lahan sawah jaring laba-laba tersebut milik satu keluarga. Katanya saat ini tersisa 15 buah lodok dengan beberapa ukuran yang berbeda.
KAMPUNG WISATA RUTENG PU’U.
Sebelum menuju tempat wisata terakhir yang akan kami kunjungi hari ini, kami mampir dulu untuk makan di sebuah resto yang sangat bagus. Namanya Sky Terrace. Konsepnya adalah resto dengan pemandangan persawahan dan pegunungan di latas belakangnya. Jadi ada tempat makan di dalam dan di luar ruangan terbuka yang sangat pemandangannya karena di bawah ada sawah-sawah dan pegunungan sebagai latar belakangnya. Banyak orang datang untuk sekedar menikmati pemandangan sambil berfoto-foto. Ya sambil pesan makanan dong. Menunya juga cukup beragam baik yang berbahan ayam, seafood, Chinese, atau pun European. Harganya standardlah…
Ruteng Pu’u merupakan kampung adat tertua di Flores. Jarak kampung Ruteng Pu’u ini dari pusat kota Ruteng sekitar tiga kilometer. Kampung ini terletak di Kampung Ruteng, Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Kampung adat ini sama dengan Rumah Adat Todo. Bayarnya juga sama, 45 ribu per orang, dan juga harus bayar donasi pada modinnya yang berdoa. Kalau kita sudah ke kampung adat Todo maka rumah adat Ruteng Pu’u tidak lagi mengesankan karena lebih kecil dan tidak terasa lagi magisnya. 😁
Kami menginap di hotel Spring Hill yang sangat bagus baik kamar mau pun desain hotelnya itu sendiri. Memang lebih mahal ketimbang di Hotel Kalton di mana kami menginap di Labuan Bajo. Tapi kami sungguh puas dengan hotel ini.
Ruteng, 4 Maret 2023
Satria Dharma