Ketika sedang memersiapkan tur ke Bali bersama teman-teman SMA akhir pekan lalu tiba-tiba saya diminta utk lanjut ke Singapura oleh Stikom Bali. Jadi setelah tur ke Bali bersama teman-teman selama tiga hari maka hari Minggu kami berpisah. Mereka balik ke Surabaya dan saya lanjut ke Singapura bersama tim Stikom Bali.
Misi kami kali ini adalah mempromosikan BCCP (Bali Cross Cultural Program) ke Singapore National Cooperation Federation (SNCF) dan National University of Singapore (NUS). (Utk BCCP cek ke http://bccp.stikom-bali.ac.id/).
Targetnya adalah bagaimana menjual seni dan budaya Bali dalam bentuk kegiatan akademik yg bisa dimasukkan dalam kredit poin mahasiswa di perti asing. Keren kan…! Sebetulnya ini bukan program baru dan telah ada beberapa perti yg melakukannya. Salah satunya adalah Universitas Udayana. Mereka bekerjasama dengan agen-agen atau pun perseorangan yg mampu ‘menjual’ program tsb ke beberapa perguruan tinggi yg ada di Eropa. Rupanya ada kebijakan dari perti di Eropa utk mendorong setiap mahasiswanya utk merasakan hidup dan belajar di LN yg nantinya akan dimasukkan dalam kredit poin di ijasah mereka. Ini upaya mereka untuk memberi keunggulan hidup di negara lain pada mahasiswa mereka.
Kenapa kami ke Singapore? Ya, kenapa tidak…?! Hehehe…! Pokoknya mana sajalah yg mau bekerjasama dengan kami. Meski belum ada ‘tanda-tanda kehidupan’ berupa orderan yg jelas tapi kami jalan terus. Namanya juga usaha, bleh! Kalau berhasil alhamdulillah kalau belum ya astagfirullah. 😀 Pokoknya kami jalan terus aja.
Kedatangan kami ke Singapore kebetulan bersamaan dg kedatangan SBY yg hari itu mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Nanyang Technological University (NTU). Itu sebabnya koran The Strait Times memasang foto SBY bersalaman dg PM Lee Hsien Long, anaknya Lee Kuan Yew. Kami ke kampus NUS (National University of Singapore) tapi pimpinan yg akan ditemui sedang sibuk juga sehingga kami hanya keliling-keliling kampus saja. No problem. Yang penting mereka sudah tahu apa tujuan kami dan apa langkah kerjasama berikutnya. Saya sendiri juga sudah bosan dengan pertemuan ‘ramah-tamah’ dan lebih suka langsung aksyen di lapangan (tapi bukan saya kok yg akan eksyen. Saya cuma jadi gedibal saja dalam program ini).
Di sela-sela kunjungan itu kami juga mengadakan ‘studi banding’ ala pejabat alias jalan-jalan ke Orchard dan sekitarnya. Kebetulan kami tinggal di York Hotel yg hanya sepelemparan granat ke Orchard dan Mount Elizabeth Hospital.
Singapore tidak seramai biasanya. Padahal biasanya Lucky Plaza di Orchard selalu dipadati oleh turis Indonesia (dan Philipina). Saya jalan ke beberapa plaza lain di Ngee An City, Takashimaya, Isetan, Paragon,semuanya terasa lengang dibandingkan dengan terakhir kali saya mengunjunginya. Where’s the hustle bustle of Singapore…?!
Sekarang memang bukan musim liburan tapi suasana Orchard memang tidak seperti biasanya. Bandara Changi yg biasanya super sibuk ternyata juga tidak sesibuk seperti terakhir kali saya mampir. What’s going on…?!
Ketika pulang ke Denpasar dan masuk ke perut Singapore Airlines, saya menyaut koran The Strait Times yg tebalnya 60 halaman dan membaca headlinesnya. Dari situ barulah saya mendapat jawabannya. Salah satu judul besar di halaman pertama berbunyi : “S’pore tourism growth expected to halve next ten years.” Ternyata ‘the boom years for Singapore’s tourism industry are over, with it’s pace of growth expected to slow by about half over the next ten years.’ Ternyata industri pariwisata yg menjadi andalan Singapura telah mengalami penurunan laju peningkatan. Lho kok bisa…?!
Padahal “2012 merupakan tahun ketidakstabilan ekonomi yang konstan di seluruh dunia, terutama di zona Eropa. Namun, sektor pariwisata berhasil bertahan,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pariwisata Dunia, Taleb Rifai dalam konferensi pers seperti dilansir Channel News Asia. Meski pun demikian, Badan Pariwisata Dunia melaporkan bahwa kawasan Asia-Pasifik memiliki pertumbuhan terbesar dalam industri pariwisata dengan jumlah pengunjung asing naik 14 juta atau 6,5 persen, menjadi 233 juta.
Diketahui, pertumbuhan tertinggi di kawasan tersebut terdapat di Asia Tenggara, dengan jumlah kedatangan wisatawan naik 8,7 persen dibanding 2011. Hal ini menjadi kabar baik bagi pelaku usaha pariwisata. Organisasi PBB yang bermarkas di Spanyol itu menyebutkan jumlah wisatawan di negara berkembang naik 4,1 persen dibandingkan dengan kenaikan 3,6 persen di negara maju.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia selama Januari hingga Desember 2012 melalui seluruh pintu masuk mencapai 8.044.462 wisman. Ini belum bicara wisatawan domestik seperti kami lho…!
Berdasarkan siaran pers angka tersebut menunjukan pertumbuhan sebesar 5,16 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2011 yang berjumlah 7.649.731 wisman. Capaian kunjungan wisman 2012 ini tercatat sebagai rekor baru dalam dunia kepariwisataan Indonesia.
Data BPS dan Pusdatin Kemenparekraf menyebutkan, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia meningkat signifikan dalam tiga bulan terakhir yaitu di bulan Oktober, November, dan Desember 2012. Rata-rata peningkatan di atas 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Pada Oktober 2012 jumlah kunjungan wisman sebesar 688.341 wisman atau tumbuh 4,93 persen. Sedangkan bulan November 693.867 wisman atau tumbuh 5,94 persen, dan Desember 766.966 wisman atau tumbuh 5,86 persen dibandingkan Desember 2011 sebanyak 724.539 wisman. http://travel.kompas.com/read/2013/02/01/20134578/Pariwisata.Indonesia.Tumbuh.Melebihi.Pertumbuhan.Global
Lantas mengapa sinar Singapura meredup?
Ternyata persaingan industri pariwisata regional di Asia semakin kencang and tougher. Malaysia, Thailand, Vietnam adalah penantang-penantang baru di bidang ini di Asia Tenggara. Macau dan Korsel juga tak mau kalah. Bangkok bahkan katanya juga sudah akan menyelenggarakan balap Formula 1 di jalan pada malam hari di tahun 2015. Artinya Singapura akan mendapat tantangan dari Bangkok yg dari segi biaya pasti akan lebih murah.
Selain itu ternyata Singapura menghadapi kendala terbatasnya sumber daya manusia yg dimilikinya. Berdasarkan statistik 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Pekerja asing membentuk 50% dari sektor jasa. Meski demikian Singapura masih menghadapi kendala kurangnya tenaga kerja, terutama dari penduduk aslinya sendiri. Hal ini membuat beberapa perusahaan terpaksa menunda rencana ekspansinya. Saat ini ada rencana utk menaikkan gaji minimum bagi orang asing utk mendapatkan Employment Pass menjadi Sing $3,000/bulan (kurs Rp.7.850,-) Dengan demikian hanya profesional asing yg benar-benar dibutuhkan yg bisa masuk dan bekerja di Singapura. Dengan aturan tsb perusahaan diharapkan akan lebih memilih orang Singapura sendiri ketimbang menggaji profesional asing.
Apa artinya ini bagi Singapura? Yg jelas mereka sadar akan adanya tantangan ini dan mereka jelas akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka tentu akan memeras otak lebih kencang agar dapat tetap menjadi unggulan dalam berbagai sektor yg selama ini Singapura menjadi primadonanya. Sektor pariwisata, kesehatan, perdagangan eksport-import, jasa transportasi, pendidikan, investasi, dll adalah sektor-sektor yg selama ini dikuasai oleh Singapura. Bagaimana pun Singapura masih menjadi simpul perdagangan di dunia karena memiliki pelabuhan yang sangat strategis dan menjadi salah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia. Iklim investasi di Singapura juga dikenal kompetitif, inovatif, ramah bisnis, tenaga kerjanya trampil, tarif pajaknya rendah dan ipunya nfrastruktur yang canggih. Lebih dari 7.000 perusahaan multinasional dari AS, Jepang, Eropa. Dari China dan India masing-masing sekitar 1.500 perusahaan. Kemajuan ekonomi Singapura tidak bisa dilepaskan dari pemerintahan yang bersih dari korupsi. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional.
Denpasar, 23 April 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com