Dili adalah ibukota negara Timor Leste yang katanya terbagi atas 3 propinsi dan 13 kabupaten. Penduduknya hanya 1,2 juta tapi tampaknya penduduk banyak menumpuk di Dili sebagai ibukota negara. Meski pun sudah merdeka selama 15 tahun tapi negara kecil ini masih tertatih-tatih. Pembangunan baru terpusat di Dili dan itu pun belum bisa dibanggakan. Faktor politik yang terus bergejolak memang menjadi penghambat utama. Aktor-aktor politik masih juga bertikai semenjak kemerdekaan pada tahun 2002 yang lalu. Ada 15 partai politik yang berebut kekuasaan tapi hanya ada 8 partai yang bisa ikut pemilu bulan depan. Saat ini adalah masa-masa puncak kampanye di berbagai daerah. Tetapi dari 8 partai itu tampaknya hanya ada dua partai yang dominan, yaitu partai no 8 milik Xanana Gusmao dengan Taur Matan Ruak dan partai no 4 milik Ramos Horta dan Mari Alkatiri.
Pagi ini kami dijemput oleh seorang teman rektor perguruan tinggi ETCI Ermera, Pak Lucio Marcal Gomes. Beliau ini berteman baik dengan Xanana Gusmao dan sedang membantunya untuk naik lagi pada pemilu yang akan diadakan sebulan lagi. Jadi ia sedang sibuk menggalang massa di mana-mana.
Bersama Pak Lucio kami diajak utk datang Kedutaan Besar Indonesia utk bertemu Pak Dubes Indonesia, Idhi Maryono, dan Atase Pendidikannya, Pak Dr. Ir. Sedercor Melatunan MSc yang berasal dari Unpatti tsb. Bersama mereka kami ngobrol berbagai hal. Kalau sempat kami mungkin akan mengunjungi pameran lukisan Pak Idhi Maryono di Hotel Sahid Jakarta minggu depan. Selain dubes beliau ternyata seorang artis pelukis beraliran naturalis dan realis.
Kami kemudian keliling-keliling kota melintasi pantai dan gedung-gedung penting dan bersejarah. Kami melewati gedung-gedung kedutaan yang berjajar sepanjang jalan di depan pantai. Kedubes AS selalu paling besar meski saya dengar negara China juga mulai menunjukkan peran strategisnya bagi negara ini. Semua negara tampaknya ingin punya perwakilan di negara kecil ini. Tapi China, Jepang, dan Korea yang lebih agresif. Australia sendiri tampaknya sedang kurang bagus hubungannya dengan Timor Leste.
Kami juga mampir ke Taman Makam Pahlawan Seroja di mana para pahlawan Indonesia berguguran di jaman konflik dulu. Sejarah Timor Leste dengan Indonesia itu dulunya penuh ketegangan dan konflik yang berdarah-darah. Kisah perjuangan rakyat Timor Leste untuk lepas dari Indonesia dipajang di Archive and Museum of East Timorese Resistance yang terletak di kompleks universitas Timor Leste. Di museum tersebut katanya dikisahkan perjuangan rakyat sejak dijajah portugis, pembuatan pernyataan Declaration of Independence pada tahun 1975, dan lepasnya Timor Leste dari NKRI tahun 2002. Sayang sekali kami tidak sempat mampir tadi. Saya selalu diliputi oleh perasaan haru jika membayangkan masa-masa sulit perjuangan Timor Leste. Kami juga lewat di depan makam pembantaian Santa Cruz.
Dari sini kami lalu Tais Market, pasar tradisional yang dibangun oleh PBB. Di pasar yang kecil ini dijual berbagai cenderamata khas Timor Leste, yaitu Tais kain tradisional Timor Leste yang mirip dengan kain tenun yang bisa kita dapatkan di berbagai wilayah di Nusa Tenggara. Kami membeli beberapa barang pada Mamanya Pak Lucio yang buka toko di sana. Kami bahkan diberi hadiah topi dan bendera Timor Leste. Sungguh seorang Mama yang dermawan. 🙏😊
Sore harinya barulah kami diajak menuju Christo Rei, sebuah Patung Kristus Raja yang dibangun di puncak bukit Fatucama. Kabarnya patung setinggi 27 m, tertinggi kedua setelah patung Kristus di Rio De Jainero, Brazil, ini sudah ada sejak Timor Leste menjadi bagian dari NKRI. Katanya patung ini merupakan hadiah Presiden Soeharto bagi warga Timor Leste yang diberikan tahun 1996. Letak Patung Christo Rei ini di sisi timur kota Dili, sekitar 15 menit dari pusat kota. Untuk naik sampai ke patung ini kita harus menaiki sekitar 540 anak tangga. Tapi tidak terlalu melelahkan karena ada banyak bordes serta pemandangannya sangat indah. Di kiri dan kanan pemandangan pantai dan laut yang sungguh indah. Di puncak kita bisa melihat patung Yesus berdiri tegak di sebuah bola dunia. Tangan Yesus terbuka lebar seakan mengajak untuk memberikan berkat bagi rakyat Dili dan Timor Leste. Dari puncak Cristo Rei, kita bisa melihat hamparan laut lepas yang sungguh indah. Di sepanjang perjalanan mencapai puncak, kita akan menemui sekitar 14 tembok diorama kisah penyaliban Yesus yang terbuat dari tembaga. Sungguh tidak rugi rasanya datang ke Timor Leste setelah mendatangi patung ini. Lokasi ini ramai oleh anak-anak muda yang berolahraga dengan menaiki tangga tersebut dari bawah sampai ke atas bukit. Rasanya iri dengan lutut mereka yang kuat tersebut. 😄
Sebelum balik ke hotel kami upayakan untuk mencari resto ikan bakar. Ternyata meski pun Timor Leste ini dikelilingi oleh laut tapi sangat jarang ada resto seafood. Resto pinggir laut yang kami datangi sangat sepi. Kami adalah pelanggan pertama yang makan di sana. Harga ikannya juga mahal. Kalau di Kupang harga ikan 80 ribu di sini USD 20 atau sekitar 260 ribu. Ini berarti 3X lipatnya. Ketika kami pesan minuman ternyata yang ada hanya minuman kaleng. Jadi es kelapa muda pun resto ini tidak siap. 😄
Pagi ini kami kembali ke Surabaya melalui Atambua lagi. Untungnya Pak Lucio, Rektor ICI Ermera yang baik itu menawarkan utk mengantarkan kami sampai ke Batugade, perbatasan Timor Leste dan Indonesia. Kalau naik travel lagi ada kemungkinan kami bisa ketinggalan pesawat karena pesawat kami kembali ke Surabaya adalah jam 12:30. Begitu sampai di Batugade dan menyeberang ke Mota Ain perbatasan Indonesia kami sudah ditawari ojeg untuk sampai di bandara
Sekarang jam 10:30 dan kami sudah sampai di bandara. Dua jam lagi kami akan berangkat dengan transit di Kupang selama dua jam. Insya Allah sore hari nanti kami akan telah tiba kembali di Surabaya.
Sampai jumpa di perjalanan kami berikutnya. 🙏😊
Atambua, Jum’at 20 April 2018
CATATAN TAMBAHAN
BAHASA
Selain bahasa Tetun, sebagai bahasa nasional, mereka juga bisa sedikit bahasa Portugis. Tapi tidak terlalu sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan hanya dipakai dalam perkantoran dan dalam bahasa tertulis. Tentu saja bahasa Indonesia masih dipakai oleh penduduk Timor Leste, termasuk petugas hotel kami dan para penjaga toko dan warung. Tapi mungkin nantinya anak-anak mereka sudah tidak bisa karena sudah tidak diajarkan di sana. Ini mungkin keputusan politik yang salah mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa tetangga terdekat mereka yang berjumlah 200 juta penduduk lebih. Emangnya bahasa Portugis mau mereka pakai di mana? 😄
Yang repot adalah para dosen di perguruan tinggi. Para mahasiswa mereka, bagaimana pun, tetap tidak bisa membuat skripsi mau pun makalah dalam bahasa Porto lha wong referensi dan buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa tersebut terbatas. Akhirnya para mahasiswanya menulis skripsi dalam bahasa Indonesia karena lebih mudah mencari referensinya. Tapi kebanyakan mereka juga copy and paste juga. 😄
UANG
Yang unik dari Timor Leste ialah penggunaan mata uangnya. Negara ini menggunakan mata uang USD atau dolar Amerika. Semua harga menggunakan mata uang USD. Untuk pecahan kecil barulah mereka menggunakan mata uang lokal Centavos untuk pecahan koin dari 1 hingga 100. 100 Centavos setara dengan 1 Dollar Amerika. Untuk pecahan lebih besar pakai Dollar Amerika dalam bentuk uang kertas. Karena seringnya dipakai transaksi akhirnya uang pecahan 5 dan 10 dolar jadi kusam dan bulukan. Mungkin money changer di kota di Indonesia tidak mau menerima uang bulukan seperti itu. 😄 Tapi bagaimana lagi lha wong Timor Leste belum punya bank sentral yang bisa nyetak uang sendiri. Kalau rupiah kita sekusam itu pasti sudah dihancurkan dan dicetak ulang.
INTERNET
Ada tiga provider yang beroperasi di Dili, Telkomcel, Tele Timor, dan satu lagi saya lupa namanya. Kita bisa beli kartu lokal dengan harga hanya 2 dolar untuk internet. Kalau mau dipakai untuk telpon mesti beli lebih.
PEREKONOMIAN
Perekonomian di Timor Leste masih bergantung pada pemerintah dan donor. Investasi asing masih sangat sedikit dan juga karena karena rendahnya SDM mereka. Dibandingkan dengan Atambua saja kelihatan sekali perbedaannya jika kita masuk dari darat. Meski hanya berbatasan pintu imigrasi tapi sudah nampak bahwa orang Indonesia di Atambua lebih makmur ketimbang tetangganya di Batugade.
Infrastruktur juga masih ketinggalan, sistem hukum tampaknya juga belum lengkap, sehingga segalanya masih tampak semrawut.
Potensi memang besar tapi tanpa adanya kapasitas untuk mengembangkannya maka Timor Leste akan menghadapi kesulitan besar menghidupi penduduknya dan mengembangkan negaranya. Semoga saja pertarungan politik yang masih keras akan segera selesai dan warga Timor Leste akan bisa memusatkan kemampuannya untuk mengembangkan potensinya. Semoga…!
Atambua, 20 April 2018