Sore itu saya sedang membaca koran pagi yang tidak sempat saya baca ketika anak saya, Yubi, mendekati saya dengan pelan-pelan.
“Pak,” sapanya
“Hmm,” gumam saya, tanpa menghentikan bacaan saya.
“Aku mau ngomong sama Bapak tapi Bapak jangan marah ya!” katanya sambil duduk di depan saya.
Konsentrasi membaca saya langsung buyar mendengar ucapannya ini. Kalimat ini biasanya ia luncurkan jika anak saya ini melakukan kesalahan.
“Ya.” jawab saya, “bicaralah!”
“Tapi Bapak harus janji untuk tidak marah.” Katanya sekali lagi minta jaminan bahwa saya tidak akan memarahinya.
Tentu saja saya harus berjanji untuk tidak marah whatever the condition is. Ketika ia telah yakin bahwa saya tidak akan marah barulah ia mulai berbiacara.
“Nilai matematikaku jelek, Pak!”
“Gosh!!” saya menarik nafas lega. Saya pikir sesuatu yang ebih ‘gawat’ daripada itu. Meskipun demikian saya berusaha untuk tidak menunjukkan kelegaan saya tersebut dan memasang tampang serius.
“Seberapa jelek?” tanyaku sekenanya.
“Pokoknya jelek deh!” ia mulai merasa rileks karena ia tahu ‘mood’ saya sedang bagus.
“Lima?” tanya saya memancing.
“Lebih jelek lagi.” katanya
“Empat?” tanya saya lebih lanjut.
“Lebih jelek lagi.” Katanya.
“Tiga?” kejar saya sambil mulai mengernyitkan dahi. Tak biasanya nilainya sejatuh itu
“Lebih jelek lagi”, katanya dengan sedikit was-was melihat perubahan roman muka saya.
“Hah.., lebih rendah dari nilai tiga? Itu bencana namanya!” seru saya sambil setengah melotot.
“Iya, nilaiku 2,8.” Katanya sambil menatap mata saya dengan roman muka menyerah. “Tapi bukan saya aja kok! Banyak teman-temanku lainnya yang nilainya juga segitu.” Tambahnya membela diri.
Dalam hati saya tertawa. Nilai sekian adalah nilai ‘sehari-hari’ bagi saya ketika bersekolah dulu. Dan saya tidak pernah harus melaporkannya kepada siapapun. Orang tua saya terlalu sibuk untuk hal-hal sekecil ini.
Sebenarnya saya tidak pernah ragu pada kemampuan anak saya. Ia anak yang cukup cerdas dan pasti bisa menguasai pelajaran apapun asal ia mau.
Justru itu masalahnya. Ia tidak selalu mau mempelajari materi pelajarannya dan memilih-milih apa yang ia mau pelajari dan apa yang tidak ia sukai. Matematika adalah ‘musuh besar’nya. Ibunya harus bekerja mati-matian untuk membuatnya belajar matematika. Dan jika ia mau biasanya nilainya cukup bagus. Standard “Bagus” baginya adalah angka “7”. Sedangkan bagi adiknya, Yufi, yang baru kelas 2 standard “bagus” adalah “10”. Nampaknya pelajaran sekolah bukan bidang dimana ia ingin berprestasi. Ia hanya berusaha sekedarnya untuk tidak berada paling bawah dalam daftar. Dan ia selalu mampu mendaftar nama-nama temannya yang bernilai lebih ‘buruk’ daripadanya.
Saya pribadi tidak terlalu perduli dengan angka-angka raport anak-anak saya. Saya terlanjur mempercayai bahwa nilai-nilai raport di sekolah sama sekali tidak ada relevansinya dengan kehidupan nyata kita nantinya.
Saya sendiri adalah siswa yang ‘tidak punya harapan dan masa depan’ jika dilihat dari raport sekolah saya waktu itu. “Rekor” saya adalah nilai raport dengan minus 13 ketika SMP. Sekedar untuk diketahui nilai 5 berarti minus 1, nilai 4 berarti minus 2, dst. Bisa dibayangkan betapa ‘colorful’nya raport saya dengan minus 13 tersebut.
Saat ini saya memimpin beberapa sekolah dengan kepala sekolah dan guru-guru yang nilai raportnya tentulah jauh lebih berkibar dibandingkan saya dulunya. Dan sampai saat ini saya masih belum ‘mengimani’ nilai-nilai raport. Sekolah kita masih terlalu jauh untuk bisa menjadi tolok ukur keberhasilan hidup siswa-siswanya apalagi untuk menjadi representasi hidup itu sendiri.
Jika saya renung-renungkan ternyata saya lebih banyak belajar di luar sekolah ketimbang di sekolah. Kehidupan di luar sekolah lebih banyak membentuk saya. Saya belajar bagaimana agar ‘survive’ dari kehidupan yang sulit di luar sekolah. Saya belajar banyak hal dari buku-buku bacaan yang saya baca di toko buku Sari Agung setiap kali saya pulang sekolah.
Saya mengembara bersama tokoh-tokoh dalam buku yang saya baca dan menjadi ‘kaya’ dan bersemangat karenanya. Umar bin Khattab, Old Shatterhand, Winnetou, Sherlock Holmes, Arjuna Sasrabahu, Pendekar Super Sakti, adalah ‘guru-guru saya. Mereka mengajarkan pada saya banyak hal dengan cara yang jauh lebih menarik daripada guru-guru di kelas saya. Saya belajar mengisap pipa perdamaian dengan ketua-ketua suku Indian Mohawk dan Apache. Saya belajar memecahkan masalah yang pelik dengan pendekatan Sherlock Holmes. Saya mempelajari kearifan Umar bin Abdul Azis di masa kepemerintahannya yang begitu singkat. Di kelas pikiran saya mengembara ingin segera selesai dan kembali bertualang dengan suku-suku Indian di Llano Estacado. “Boy! They are so adventurous.”
“Jadi bagaimana, Pak?” tiba-tiba lamunan saya dibuyarkan oleh pertanyaan anak saya. “Bapak nggak marah, kan?”
Saya tersenyum. Bagaimana mungkin saya marah kepadanya? He is so nice. And my life is also beautiful at the moment. “Tidak, tentu saja. Tapi kamu harus berjanji untuk memperbaki nilaimu ini. OK?!”
“OK!” sahutnya dengan gembira dan segera melesat keluar untuk bergabung dengan adik dan sepupu-sepupunya yang telah menantinya untuk bermain di luar.
Sore itu terpaksa saya tidak meneruskan membaca koran dan jadi merenung. Dalam hati saya bersyukur diberi anak-anak yang pintar dan menyenangkan. Saya bersyukur bahwa anak saya masih mau bersikap terbuka dan berterus-terang pada saya mengenai masalah yang dihadapinya. Saya juga bersyukur bahwa saya masih punya waktu untuk mendengarkan ‘hal-hal kecil’ macam ini dengan anak saya. Saya bersyukur bahwa nilai-nilai raport tidak berbanding lurus dengan keberhasilan hidup. Saya bersyukur bahwa saya diberi kesempatan untuk banyak belajar pada buku-buku bacaan ketika bersekolah. Banyak sekali hal yang harus saya syukuri dalam hidup ini.
Malamnya saya menangis tersungkur di sajadah mensyukuri nikmat hidup yang diberikan oleh Allah pada saya. Ya Allah! Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!
Awal Ramadhan 1425 H
16 Oktober 2004
Satria Dharma