“Literacy as the “ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”(The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO))[i]
Surabaya, yang baru saja mendapatkan penghargaan yang sangat prestisius, yaitu penghargaan Socrates Award 2014 dari Europe Business Assembly (EBA) untuk kategori City of the Future, mencanangkan diri sebagai “Kota Literasi”. Tak ada yang lebih menyenangkan dan membanggakan bagi saya sebagai seorang penggiat literasi selain mendengar bahwa pada akhirnya ada sebuah kota yang dengan berani dan percaya diri mendeklarasikan dirinya sebagai “Kota Literasi”. Bagi saya ini seperti ‘a dream comes true’, mimpi yang menjadi kenyataan. Barangkali Taufik Ismail boleh sedikit bergembira setelah gundah bertahun-tahun sejak ia menyampaikannya dalam esainya “Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama [ii]
Mencanangkan diri sebagai “Kota Literasi”. adalah sebuah ide yang sangat visioner, brilian dan sangat berani. Ketika banyak kepala daerah (dan bahkan akademisi) yang masih tergagap-gagap dengan istilah literasi, tiba-tiba Surabaya mencanangkan dirinya sebagai sebuah “Kota Literasi”. Itu sungguh merupakan terobosan yang luar biasa seolah sebuah oasis di tengah gurun pasir.
APA ITU LITERASI…?!
Meski istilah Literasi sudah dipakai secara umum puluhan tahun yang lalu tapi nampaknya istilah ini masih asing bagi kita. Banyak guru yang bertanya-tanya, “Istilah apa lagi ini…?!” dan meski sebagian dari mereka sudah pernah mendengar istilah ini tapi mereka tidak paham apa yang dimaksud dengan ‘Literasi’
Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.
Literasi membaca dalam PIRLS 2006 didefinisikan sebagai ‘the ability to understand and use those written language forms required by society and/or valued by the individual. Young readers can construct meaning from a variety of texts. They read to learn, to participate in communities of readers in school and everyday life, and for enjoyment.’
Dalam pembuka dokumen Overview of IEA’s PIRLS Assessment disebutkan bahwa “Reading literacy is one of the most important abilities students acquire as they progress through their early school years. It is the foundation for learning across all subjects, it can be used for recreation and for personal growth, and it equips young children with the ability to participate fully in their communities and the larger society.”
Konsep maupun praksis literasi fungsional baru dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai ”seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah” (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad, 1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan moral (moral literacy).
Menurut Rod Welford, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Queensland, Australia “Literacy is at the heart of a student’s ability to learn and succeed in school and beyond. It is essential we give every student from Prep to Year 12 the best chance to master literacy so they can meet the challenges of 21st century life.” Jadi Literasi adalah inti atau jantungnya kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil dalam sekolah dan sesudahnya. Menurut Rod Welford prioritas pendidikan Queensland adalah ‘to enable all students to progress to a higher literacy standard, taking into account their diverse circumstances.’ Jadi meskipun latar belakang siswa berbeda-beda pemerintah harus mengupayakan agar mereka semua mendapatkan tingkat literasi yang memadai untuk menghadapi tantangan Abad 21. Tanpa kemampuan literasi yang memadai maka siswa tidak akan dapat menghadapi tantangan-tantangan Abad 21. Intinya, kemampuan literasi adalah modal utama bagi generasi muda untuk memenangkan tantangan abad 21. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Queensland telah mengeluarkan sebuah buku “Literacy the key to Learning : Framework for Action” untuk digunakan sebagai acuan pendidikan mereka pada tahun 2006-2008 yang memuat rincian langkah-langkah praktis yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka sadar bahwa pembelajaran literasi yang bermutu adalah kunci dari keberhasilan siswa.di masa depan. Oleh sebab itu SEMUA guru, termasuk guru Matematika dan Sains dianggap sebagai Guru Literasi (teachers of literacy). Pembelajaran literasi adalah pembelajaran yang integral. Untuk itu dibutuhkan pembelajaran literasi yang bermutu pada semua mata pelajaran.[iii]
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Ternyata banyak guru dan para birokrat pendidikan, termasuk para pejabat di Kemendikbud di Senayan yang belum paham apa itu literasi. Lihat saja dokumen Kurikulum 2013 yang baru saja dirilis dan dianggap akan dapat membuat pendidikan bangsa kita bakal setara mutunya dengan negara maju. Perhatikan apakah ada disebut-sebut tentang pentingnya literasi? Bahkan tidak ada perubahan mendasar pada pembelajaran membaca dan menulis. Seolah ketrampilan membaca dan menulis adalah ‘given’ dan akan datang dengan sendirinya pada siswa. Padahal jelas sekali bahwa literasi membaca siswa kita sangat tertinggal dengan siswa dari negara-negara maju dan kita perlu sebuah terobosan untuk mengatasi masalah yang sudah kronis ini. Untunglah ada Surabaya…!
Hasil penelitian PISA menempatkan siswa Indonesia pada posisi 48 dari 56 negara di dunia di tahun 2006 dengan skor rata-rata 393. Minat baca rendah inipun terulang di 2009. Hasil penelitian PISA menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata 402 sementara rerata internasional 500. Hasil uji tes PISA yang dilakukan tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2012 ternyata hasilnya lebih buruk lagi. Hasil PISA 2012 menempatkan siswa Indonesia pada posisi kedua terburuk atau posisi 64 dari 65 negara . Padahal Vietnam justru masuk pada posisi 20 besar. penelitian PISA menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di nomor 57 dari 65 negara dunia, dengan skor rata-rata 396 sedangkan rerata internasional 496.
Hasil studi PISA menunjukkan bahwa sebanyak 31.1% siswa Indonesia berada di bawah tingkat literasi-1, 37.6% berada pada tingkat literasi-1, 24.8% berada pada tingkat literasi-2, 6.1% berada pada tingkat literasi-3, dan hanya 0.4% berada pada tingkat literasi-4, serta tidak ada seorang pun yang meraih nilai pada tingkat literasi-5. Kemampuan untuk masing-masing tingkatan ini masih jauh di bawah kemampuan rerata negara-negara yang disurvey.[iv]
Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rerata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu masing-masing 500, 510 dan 493. Sementara posisi Indonesia sendiri berada pada posisi kelima dari urutan terbawah, atau sedikit lebih tinggi dari Qatar (356), Kuwait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304).
Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Crisis to Recovery“ tahun 1998, menunjukkan kemampuan membaca siswa kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya 51,7. Jauh dibandingkan dengan Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1) dan Filipina (52,6). Hasil studi ini membuktikan kepada kita bahwa membaca belum –kalau tidak mau dikatakan bukan- menjadi program yang integral dengan kurikulum sekolah, apalagi menjadi budaya. Laporan UNDP tahun 2003 yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) berdasarkan angka buta aksara posisi Indonesia berada pada urutan 112 dari 174 negara. Posisi ini berada di bawah Vietnam (urutan ke 109) yang baru keluar dari konflik yang berkepanjangan. Tahun 2010 Indonesia berada di Peringkat 108 dari 152 negara. Pada tahun 2011 index Human Development Index (HDI) Indonesia pada peringkat 124. Hal ini membuat Indonesia berada di perngkat terbawah di ASEAN dimana Singapore berada di peringkat 26, diikuti oleh Brunei (33), Malaysia (61), Thailand (103) and the Philippines (112).
Hal ini juga bisa dilihat dari berbagai statistik tentang negara kita. Dalam World Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60 negara yang diteliti. Padalah Malaysia sudah berada di perinkat 28 dan India 39. Hal ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita yang terus merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002, dan 112 (2003). [v] Berdasarkan statistik UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen, sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.Minat baca bangsa kita terendah di ASEAN. Sungguh ngeri-ngeri tak sedap.[vi]
Sangat memprihatinkan melihat betapa pendidikan kita sampai saat ini tidak memberikan porsi yang besar pada upaya untuk membangun literasi membaca dan menulis siswa. Bahkan ketika kita ribut-ribut tentang upaya Dikti Kemdikbud untuk memaksa para mahasiswa untuk harus menulis karya ilmiah sebagai persyaratan untuk lulus sarjana, tak ada pembicaraan tentang betapa pentingnya membaca sebagai dasar untuk bisa menulis. Apalagi ini tentang menulis karya ilmiah! Seolah kita bisa melakukan lompatan ajaib menulis karya ilmiah tanpa melewati upaya membangun literasi membaca yang kokoh.
ANCAMAN GLOBAL
Rendahnya Reading Literacy bangsa kita saat ini dan di masa depan akan membuat rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. “70 Persen Anak Indonesia Sulit Hidup di Abad 21” demikian kata Prof Iwan Pranoto dari ITB. Hal ini sebenarnya sudah bisa kita lihat dengan nyata. Saat ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berjumlah 6,5 juta orang dan tersebar di 142 negara.[vii] Para TKI itu datang dari 392 Kabupaten/Kota. Mereka ini HANYA mengisi posisi sebagai tenaga kasar yang tidak membutuhkan kemampuan membaca. Tanpa kemampuan literasi yang memadai dalam persaingan global ini maka TKI hanya akan dapat mengisi pekerjaan-pekerjaan kasar dengan gaji paling rendah. Tanpa upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca sebagai dasar untuk belajar dan mengembangkan ketrampilan hidup maka bangsa kita akan terus menjadi bangsa kuli seperti yang disinyalir oleh Soekarno, Founding Father kita. [viii]
Karena lemahnya ilmu dan pengetahuan mereka maka mereka terpaksa harus mencari nafkah ke negara lain dengan hanya mengandalkan tenaga kasar mereka. SDM kita tidak kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini adalah akibat lemahnya minat dan kemampuan membaca dan menulis. Sekarang kegiatan utama keluarga Indonesia di rumah adalah menonton TV, dan bukannya membaca seperti yang diperintahkan oleh Allah. Budaya menonton telah membius keluarga kita. Statistik menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dipakai oleh anak-anak Indonesia menonton TV adalah 300 menit/hari. Bandingkan dengan anak-anak di Australia 150 mnt/hari, Amerika 100 menit/hari, dan Kanada 60 mnt/hari.
SURABAYA KOTA LITERASI
Surabaya sendiri adalah kota yang sangat peduli dengan budaya membaca. Surabaya adalah satu-satunya kota di Indonesia yang mempekerjakan 475 karyawan honorer yang dipilih secara ketat untuk menjadi petugas perpustakaan di sekolah-sekolah SD Negeri di Surabaya. (Jumlah SD di Surabaya adalah 940 sekolah dengan SD negeri sebanyak 515 sekolah). Dengan ratusan petugas perpustakaan yang diberi pelatihan khusus itu maka perpustakaan sekolah SD negeri di Surabaya menjadi hidup, berkembang, dan bahkan menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi anak-anak di sekolah mereka. Sekarang ini anak-anak SD menjadi keranjingan untuk membaca karena petugas perpustakaan mampu membuat berbagai kegiatan yang menyenangkan di perpustakaan yang mereka kelola. Ini baru Kota Literasi! Tak ada kota lain yang punya visi tentang literasi yang begitu jelas dan terarah seperti Surabaya. Lokasi perpustakaan dan taman baca tersebar di balai-balai RW, kelurahan, kecamatan, taman kota, rumah susun, puskesmas, sekolah, terminal, dan panti sosial. Ini masih ditambah dengan layanan mobil perpustakaan keliling di 64 lokasi. Tidak salah jika Surabaya meraih banyak penghargaan tingkat nasionalseperti Anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka. Sementara untuk kategori pendidikan, Walikota Surabaya melakukan program “Pengembangan Layanan Perpustakaan Umum”. Dalam program ini dilakukan sinergi pelayanan perpustakaan umum dengan Kecamatan, RW, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Rumah Susun, Dinas Perhubungan, RSUD, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Program dilakukan untuk Pengelolaan Layanan Baca di seluruh Kota Surabaya meliputi Layanan Baca di Perpustakaan Daerah, Layanan Bis Keliling di Sekolah dan Area Publik, Layanan Paket, Layanan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Revitalisasi TBM dan Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri di sejumlah 970 titik layanan. SMAN 21 yang berada di jalan Argopuro. Bu Laila, Kepala Sekolahnya punya inisiatif yang brilian untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca yaitu dengan mengadakan Lomba Pojok Baca Kelas. Jadi setiap kelas didorong untuk punya perpustakaan kelas dengan mengumpulkan buku-buku dari siswa sendiri yang nantinya akan diletakkan di sudut kelas di atas meja dan ditata dengan menarik oleh siswa sendiri. Ada kelas yang sangat serius dalam lomba ini dan berhasil mengumpulkan sebanyak 217 buah buku dari pengumpulan buku-buku mereka sendiri! Tentu saja jenis buku dan koleksinya masih sederhana dan bahkan banyak yang berisi komik-komik Naruto dan sejenisnya. Tapi bagaimana pun itu adalah sebuah upaya untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca. Saya sangat mengapresiasi ide brilian ini. [ix] T
APA YANG DILAKUKAN OLEH SEBUAH KOTA LITERASI
Di Jepang ada program atau gerakan yang bernama 20 Minutes Reading of Mother and Child. Gerakan atau program ini mengharuskan seorang ibu utuk mengajak anaknya membaca buku 20 menit sebelum tidur. Ini merupakan salah satu contoh dari upaya Jepang dalam meningkatkan budaya baca warganya. Kita bisa memulai sebuah GERAKAN BUDAYA LITERASI SURABAYA, yaitusebuah gerakan untuk menjadikan masyarakat Surabaya menjadi sebuah masyarakat yang memiliki budaya membaca dan menulis setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Gerakan ini akan dimulai dengan menerapkan program membaca yang berkelanjutan (sustainable) baik di sekolah (TK, SD, SLTP, SLTA) maupun di Perguruan Tinggi (PTS dan PTN) maupun di masyarakat umum melakukan kegiatan literasi membaca dan menulis secara aktif sebagai kegiatan sehari-hari. Gerakan ini bertujuan untuk menjadikan masyarakat Surabaya memiliki komunitas yang memiliki budaya membaca dan menulis yang tinggi. Gerakan ini adalah gerakan budaya bagi peningkatan mutu bangsa secara keseluruhan. Gerakan ini akan dilakukan di SEKOLAH, RUMAH, DAN LINGKUNGAN
Kita bisa memulainya dengan menjadikan membaca sebagai budaya di sekolah melalui program GERAKAN LITERASI SEKOLAH. Gerakan ini adalah gerakan WAJIB BACA BUKU SUKARELA di sekolah SETIAP HARI selama minimal 15 menit. Gerakan ini dikenal dengan nama SUSTAINED SILENT READING. Meski pun wajib SSR ini termasuk bersifat REKREATIF dan FREE VOLUNTARY READING [x]
Berdasarkan 51 dari 54 penelitian pada program SSR ini siswa meningkat prestasinya dan semakin lama program ini dilaksanakan semakin besar pula keberhasilannya. (Krashen, S. 2007).
Apa program yang bisa dilakukan?
– Program Membaca Rutin di Sekolah
Program Membaca Rutin di Sekolah atau SSR (Sustained Silent Reading) adalah strategi intervensi membaca yang digunakan oleh negara-negara maju dalam membudayakan dan meningkatkan keterampilan siswa dalam membaca. Program ini merupakan program yang sangat krusial untuk menjamin terciptanya kebiasaan dan budaya membaca siswa
– Tantangan Membaca
Tantangan Membaca adalah sebuah program untuk menantang seseorang untuk membaca sejumlah buku tertentu atau sejumlah halaman tertentu (seribu halaman, umpamanya). Di sekolah setiap siswa ditantang untuk membaca sejumlah buku dalam waktu tertentu . Sebagai contoh Tahun 2012, Premier Reading Challenge memberikan 230.000 sertifikat untuk anak-anak New South Wales yang berhasil menyelesaikan PRC. Jika setiap anak ini membaca 20 buah buku maka jelas sekali bahwa siswa-siswa NSW ini telah membaca hampir 5.000.000 (lima juta) buku hanya dalam waktu 7 bulan sahaja. Tujuan program ini adalah agar dapat menciptakan anak-anak yang suka membaca dan MELAKUKAN kegiatan membaca sebagai kegiatan sehari-hari. Agar mereka menjadi Pembaca Seumur Hidup (Reader for Life). Riset menunjukkan bahwa salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menyediakan buku-buku yang disukai dan diminati siswa itu sendiri.[xi]
– Seminar dan Workshop tentang Membaca
Kegiatan ini harus dilaksanakan secara rutin di sekolah yang mengikuti program ini.SURABAYAKOTA LITERASIharus disosialisasikan ke sekolah-sekolah dengan mengundang para pembicara dan para praktisi literasi. Peserta merupakan perwakilan dari pengelola sekolah, guru, siswa, pustakawan, dan pemerhati pendidikan. Untuk seminar direncanakan sehari sedangkan workshop 2 hari.
– Membagikan Buku Bacaan Gratis kepada 1000 Sekolah
Kegiatan utama lain yang sangat krusial adalah membagikan buku bacaan bagi anak SD sebanyak minimal 300 buah buku dengan 100 judul (setiap judul 3 eksemplar). Untuk tahap awal akan dibagikan buku ke 1000 (seribu) Sekolah. Ini akan menjadi proyek percontohan bagi Program Indonesia Membaca. Untuk mendapatkan buku-buku ini bisa dilakukan dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Kota Surabaya. Setiap perusahaan besar memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) yang bisa diminta untuk membantu program Gerakan Literasi Sekolah ini.
– One Child One Book (OCOB)
OCOB adalah program yang dirancang untuk meningkatkan jumlah dan jenis buku bacaan di sekolah. Program ini dirancang agar setiap siswa di sekolah memiliki paling sedikitnya satu buku untuk dibaca, baik di rumah maupun di sekolah. Dalam program ini sekolah diminta untuk mengimbangi pemberian buku dari donor dengan meminta partisipasi dari orang tua untuk menyumbangkan satu buku untuk setiap anaknya yang bersekolah.
– Reading Contest (Speed/comprehension reading)
Reading contest adalah program untuk meningkatkan motivasi siswa dalam membaca. Kontes atau lomba yang akan dilakukan di setiap sekolah yang terlibat dalam program A Reading School ini, umpamanya: Reading Comprehension Contest dan Speed Reading. Akan ada tim ahli yang akan menyusun materi dan menjadi pelaksana Reading Contest di setiap sekolah. Pemenang dari kontes ini akan mendapatkan award berupa buku-buku bacaan.
– Meet the Author(s)
Program ini dirancang untuk meningkatkan minat siswa untuk membaca buku dari penulis atau pengarang tertentu. Sekolah akan mendatangkan satu atau beberapa penulis buku tertentu untuk mengadakan acara ‘Jumpa Fans’ dan diskusi atau bedah buku tentang buku dari penulis tersebut
– Reading Award
Yaitu pemberian penghargaan kepada individu (siswa atau guru) maupun kelompok (sekolah) yang dianggap telah memiliki kontribusi dan peranan penting dalam memajukan pembudayaan baca di Indonesia. Reading Award diberikan setahun sekali bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Pemenang award, selain memperoleh trophy juga diberikan hadiah, baik untuk individu maupun untuk kelompok, yang diharapkan dengan uang tersebut dapat mengembangkan perpustakaan di tempat/sekolah masing-masing. Penentuan penerima Reading Award akan dinilai oleh sebuah tim independent yang berjumlah 3-5 orang dari berbagai latar belakang/disiplin ilmu.
– Perpustakan Kelas
Perpustakaan kelas adalah program yang dilakukan untuk mendekatkan siswa ke buku. Daripada mewajibkan anak untuk setiap hari ke perpustakaan sekolah akan lebih mudah bagi siswa untuk membaca jika mereka memiliki perpustakaan kelas yang akan mereka kelola sendiri di masing-masing kelas. Intinya adalah buku mendatangi siswa, bukan sebaliknya. Program ini integral dengan program Membaca Rutin di Sekolah atau SSR.
– Story Telling Competition
Serupa dengan Reading Contest, kegiatan ini berupa lomba bagi siswa untuk menjadi ‘Story Teller’. Pemenang akan mendapat hadiah berupa buku-buku bacaan dan penghargaan dalam bentuk lain.
– Book Expo
Book Expo adalah program pameran buku dari beberapa penerbit atau toko buku yang bertujuan untuk mendorong siswa dan komunitas untuk membeli dan membaca buku-buku terbitan baru ataupun lama dengan harga khusus atau harga obral. Pada saat itu diadakan juga stand khusus penjualan buku-buku bekas yang diperoleh dari sumbangan masyarakat dengan harga sangat murah.
– Share a Story
Share a Story adalah program kegiatan yang mewajibkan setiap siswa untuk menceritakan suatu cerita yang dipilih masing-masing kepada orang-orang di sekitarnya. Kegiatan ini untuk mendorong setiap siswa untuk menjadi a Story Teller.
– Let’s Write Our Own Story
Let’s Write Our Own Storyadalah program kegiatan untuk mendidik setiap siswa agar dapat menjadi penulis dengan mengajarkan mereka untuk menuliskan ide-ide mereka dalam bentuk karya prosa.
Demikianlah yang bisa kita lakukan setelah mendeklarasikan diri sebagai “Kota Literasi” Selamat dan penghargaan yang setingg-tingginya atas ide dan sekaligus visi dari kota Surabaya yang luar biasa ini.
Surabaya, 25 April 2014
Satria Dharma
Ketua Umum
Ikatan Guru Indonesia (IGI)
[i] http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001362/136246e.pdf
[ii]https://satriadharma.com2014/01/28/tragedi-nol-buku-tragedi-di-dunia-pendidikan-indonesia/
[iii] https://satriadharma.com2014/02/27/al-quran-kegiatan-literasi-dan-masa-depan-bangsa/
[iv]https://satriadharma.com2013/09/02/gerakan-literasi-bangsa-bagian-1/
[v]https://satriadharma.com2012/05/13/dialog-kebudayaan-apakah-membaca-itu-budaya/
http://www.surabaya.go.id/profilkota/index.php?id=26
[viii]https://satriadharma.com2014/03/01/misteri-gua-hira-dan-tragedi-bangsa-kuli/
[ix]https://satriadharma.com2014/03/17/kampanye-gerakan-literasi-sekolah/
[x]http://en.m.wikipedia.org/wiki/Sustained_silent_reading
[xi]https://satriadharma.com2014/04/17/tantangan-membaca/