Dear Puti,
Terima kasih telah mengirimkan artikel ini. Program seperti inilah sebenarnya yang saya tanyakan pada posting saya tentang kebijakan pemerintah selama ini. Adakah program pemerintah yang benar-benar mendorong tumbuhnya budaya literasi siswa seperti yang dilakukan oleh RIF ini?
Tentu saja mereka melakukan tindakan ini karena mereka PERCAYA dan MEYAKINI bahwa ‘Literacy is a prime predictor of student success…’. Keberhasilan siswa di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan literasi mereka. Mereka perhatikan statistik yang berbunyi ‘ nearly half of the adult population, or 93 million Americans, read at or below the basic level needed to contribute successfully to society’ Dan dampak dari rendahnya kemampuan membaca ini adalah ‘Adults below this basic level of literacy are far more likely to be unemployed and live in poverty, while individuals who achieve higher levels of literacy are more likely to be employed, earn higher wages, and vote in state and national elections’. Ini merisaukan mereka karena mereka sadar benar bahwa ancaman dari rendahnya kemampuan baca bangsa adalah kemampuan dan daya saing bangsa. Karena mereka tidak ingin bangsanya menjadi bangsa pecundang maka mereka melakukan kebijakan yang ‘radikal’ dan ‘revolusioner’ (ini kata yang ditanyakan oleh Mas Nanang)., yaitu Since 1966, RIF has given 412 million books to more than 40 million children, and today, it hands out 15 million carefully selected tomes each year. Membagikan 15 juta buku SETIAP TAHUN pada anak-anak dari keluarga miskin adalah tindakan yang radikal dan revolusioner….! Sejak tahun 1966 mereka telah membagikan 412 juta buku bagi 40 juta siswa.
Jadi mereka benar-benar konsisten dan istiqamah dalam keyakinan mereka akan pentingnya budaya literasi ini. (Bandingkan dengan negara kita. Tak sepotong buku pun kita berikan pada anak-anak miskin agar terbentuk budaya bacanya. Kangankan membagikan buku bahkan mewajibkan membaca buku pun tidak dilakukan di sekolah-sekolah kita. Kita mengharapkan anak-anak yang cerdas dari hasil pendidikan kita tapi tak pernah memberi anak-anak kita buku. Darimana pemikiran konyol seperti ini bisa muncul di kepala kita…?!
Mengapa bangsa Amerika melakukan itu…?! Apakah karena mereka membaca Al-Qur’an dan tahu bahwa Tuhan menjanjikan ilmu pengetahuan bagi mereka yang membaca…?! Kita yang membaca Al-Qur’an tapi tak pernah benar-benar meyakini Perintah Pertama dan Utama tentang membaca ini. Bangsa Amerika melakukan itu karena mereka ingin menciptakan “a literate America in which all children have access to books and discover the joys and value of reading.” Mereka ingin membentuk BANGSA AMERIKA YANG LITERAT. Bangsa yang membaca buku dan memiliki kemampuan dan daya saing yang tinggi. Dan untuk itu haruslah melalui‘literacy for all children’
Hampir separo penduduk dewasa di AS kemampuan membacanya berada atau di bawah tingkat dasar sehingga Carol Rasco, Chief Executive RIF menganggap negaranya ‘truly in the middle of a literacy crisis,” Padahal bangsa kita jauh lebih parah keadaannya dan kita tidak pernah menganggap hal ini sebagai ‘literacy crisis’.
“This is not a problem we can wait to solve or afford not to act on. If the United States is to be a competitive player in the global marketplace, we must ensure that all children have access to essential literacy tools.” Kalau mau tetap kompetitif maka AS harus membuat semua anak memiliki akses pada piranti literasi yang penting ini.
Pertanyaan saya : Apakah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan Mas Mentri Anies Baswedan juga memiliki visi yang sama, yaitu MEMBENTUK BANGSA INDONESIA YANG LITERAT dan MEMBANGUN KEMAMPUAN LITERASI SISWA…?!
Mas Mentri Anies Baswedan adalah produk pendidikan Amerika juga. Beliau memperoleh dua beasiswa untuk studi di AS pada tahun 1997 s/d 2005. Beliau tahu betul betapa pentingnya kemampuan membaca bagi bangsa. Jadi mungkin kita bisa berharap bahwa di tangan beliau Kemdikbud kali ini akan memberikan perhatian yang sangat serius pada Budaya Literasi Bangsa.
Semoga…!
Reading Is Fundamental Combats ‘Summer Slide’
(The New York Times, May 13, 2015)
http://parenting.blogs.nytimes.com/2015/05/13/reading-is-fundamental-combats-summer-slide/
Berikut ini cerita Bu Ruth ketika dikirim ke Western Australia untuk ‘mengajar’ bahasa Indonesia di sejumlah sekolah (Primary-Secondary schools):
Saya membawa misi story telling Indonesian folktales. Ternyata tidak susah membawa misi ini karena disana , di semua sekolah primary yang saya kunjungi selalu ada 1 jam reading for pleasure. Di setiap kelas selalu ada buku buku yang bisa diakses siswa dengan level yang sudah disediakan. Buku-buku ini bervariatif mulai dari buku cerita sampai buku science. Pada jam ini anak anak bisa dan harus mengambil buku dan membacanya . Terkadang mereka disuruh sharing cerita yang mereka baca, terkadang gurunya yang membacakan.
Pada beberapa kelas yang cukup kuat cerita yang saya bacakan “Malin Kundang” kemudian saya minta untuk di interpretasikan dalam bentuk drama kecil. and they loved it. Yang menarik, di kelas kelas bahasa di Australia , titik beratnya bukan hanya pada pelajaran bahasa tapi juga culture dan untuk memahami culture ini guru berlomba lomba menyediakan ‘property’ yang bisa membuat anak anak mengenal lebih dekat culture dari bahasa yang dipelajari ..jadi mudah mengubah story telling menjadi drama. Ini bukan hanya untuk cerita yang saya bacakan.. anak saya di SD Negeri di Adelaide juga sama sering diajak membaca cerita kemudian di dramakan.
Pada kelas Secondary saya minta cerita yang mereka baca/dengar diubah menjadi story board yang kemudian dibikin komik oleh mereka. Ada yang diubah menjadi narasi pendek . Di SDN anak saya di Adelaide, setiap hari Jumat ada free time yang diberikan guru agar anak-anak tidak bosan dan mereka diperbolehkan bermain di dalam kelas termasuk membaca .. Tapi yang menarik adalah perpustakaan mereka. Koleksinya ampuuuuunnn lengkap dan bervariasi sekali mulai dari cerita novel sampai science.. Setiap sekolah punya program pergi ke perpustakaan. Dan setiap perpustakaan punya program untuk masing masing level. Program ini membuat mereka tidak hanya sekedar meminjam dan membaca buku tapi juga mengenal tentang library in a whole. Dan perpustakaan dibikin senyaman mungkin biar anak anak betah ada disana.
Sewaktu saya mengikuti seminar pembimbingan skripsi ada anak SMA yang ikut kelas dia ternyata presentasi tentang tugas akhirnya dan meminta kesediaan kami menjadi sumber kuesionir dia. Dari dia saya tahu bahwa tugas anak Secondary School sudah hampir mirip dengan anak undergraduate dan master. Mereka tidak hanya mengerjakan tugas based on their textbooks tapi sudah mulai berpikir pada tingkat research: topik apa yang menarik mereka dan mencari buku yang bisa menunjang pengembangan topik ini.
Something I never did in Senior High. Mad. Tapi dia sangat menikmati nya. Dia bilang mereka sudah diwajibkan mencari sumber referensi mulai dari awal secondary school (SMP mungkin) dari berbagai tugas yang ada. Mungkin itu sebabnya begitu kuliah mereka tidak terbeban lagi … Reading was one of my biggest challenges when I was finishing my master. Tapi jangan salah program ini tidak hanya untuk anak sekoalah.
Di setiap say kecamatan selalu ada public library. Public library ini dilengkapi dengan koleksi yang rrrruuuarrr biasa. soft toys yang berupa buku atau puzzles, koleksi buku lengkap, CDs dan DVDs, computers, sampai games. Public library bener bener bisa jadi alternatif liburan keluarga. sangat cozy. mereka juga menyediakan banyak program gratis tis tis. Mulai dari kursus bahasa Inggris gratis, mengundang local artists, workshops, sampai acara kuiz yang diberi snack and tea gratis. Pemerintah juga selalu menyarankan ke public library di musim musim extrim misalnya summer atau winter untuk menghindari pembengkakan tagihan listrik di rumah. Hope I have answered your qs.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com