Buku apa yang Anda baca hari ini…?!
Anda tidak membaca buku…?!
Apa kata dunia…?! 🙂
Membaca adalah menu harian kami di rumah. Selesai sholat Subuh saya segera mengambil Al-Qur’an dan terjemah HB Jassin yang telah saya gunakan lebih daripada 20 tahun. Saya membaca satu atau dua halaman dan mencoba memahami arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Ini kegiatan rutin yang telah saya mulai sejak tahun 1992 dan sampai saat ini saya telah khatam puluhan kali. Setiap kali ada ayat yang menarik perhatian saya maka artinya saya ‘highlight’ dengan stabilo dan kadang saya beri komentar. Hampir tidak ada halaman yang lewat. Kayak catatan pinggir begitulah. Kadang-kadang sebuah ide dan pemikiran berkelebat setelah membaca sebuah ayat tertentu dan saya menuliskannya menjadi artikel dan saya unggah di website saya https://satriadharma.com. Tulisan tentang pemahaman agama saya ini bahkan menarik perhatian penerbit Bentang Pustaka sehingga diterbitkannya dengan judul “Muslim Koq Nyebelin”. https://satriadharma.com2014/04/18/muslim-kok-nyebelin/
Saya tidak berupaya untuk menghapalkan ayat-ayat Al-Qur’an karena saya tidak berencana untuk menjadi guru agama dan juga tidak butuh surat-surat panjang jika jadi imam. Bagi saya Al-Qur’an itu untuk dipahami maknanya dan dijadikan pelajaran dalam hidup. Menghapal Al-Qur’an bagi saya sudah tidak relevan lagi. Tentu saja pendapat saya ini bukan untuk mengecilkan hati para penghafal Al-Qur’an.
Setelah membaca Al-Qur’an saya segera mengambil buku bacaan sebagai ‘sarapan kedua’ saya. Sekarang ini saya targetkan ‘One Book One Week’ atau saya harus membaca satu buku dalam satu minggu. Tapi saya sudah lama tidak membaca buku-buku novel lagi. Bacaan saya sekarang adalah buku-buku non-fiksi atau ilmu pengetahuan dan sebisa-bisanya buku yang telah menjadi bestseller alias buku laris. Artinya buku pengetahuan yang saya baca haruslah memang menarik dan sekaligus memberi saya tambahan pengetahuan dan wawasan.
Istri saya belakangan ini juga semakin kencang membacanya. Selain itu bacaannya juga semakin berat. Bukan hanya karena tebalnya bukunya tapi juga karena beratnya bahasanya. Sebagai contoh, istri saya baru saja menyelesaikan buku “The City of Joy” karya Dominique Lapierre yang tebalnya 767 halaman. Buku ini sendiri disebut sebagai ‘The Classic New York Times Bestseller’ karena telah terjual lebih dari 6 juta kopi dan telah diterjemahkan dalam 31 bahasa. Buku ini bercerita tentang kehidupan di Anand Nagar atau Negeri Bahagia yang didasarkan pada kisah nyata kehidupan di Calcutta.
Bagi yang pernah ke India (kami pernah ke New Delhi, Bangalore, dan Taj Mahal) atau pernah menonton film “Slumdog Millionaire” tentu tahu gambaran bahwa India lebih miskin daripada Indonesia. Saya yang dulunya berasal dari keluarga miskin saja terkejut dan hampir tidak percaya dengan jenis kemiskinan yang dimiliki oleh penduduk India. India mengalami jenis kemiskinan yang bisa membuat orang miskin di negara kita merasa kaya dan bersyukur. J
Buku “The City of Joy” ini bercerita tentang keadaan penduduk miskin di Anand Nagar atau Negeri Bahagia salah satu sudut kota di Calcutta. Anand Nagar merupakan perkampungan kumuh dan tertua di Calcutta (dibaca : kalkata) dengan kepadatan yang sangat tinggi. Ada sekitar 70 ribu manusia tumpah ruah di slum yang sangat sempit dan luasnya katanya tak lebih dari dua kali lapangan sepak bola itu. Bayangkan saja situasinya. Cuaca panas, berdesak-desakan, kemiskinan, pengangguran, berbagai wabah penyakit dan bahkan lepra mencengkram penduduk di daerah tersebut. Sanitasi sangatlah minim dan pencemaran luar biasa tingginya sehingga menjadi pembunuh nomor satu. Tingkat kematian di daerah ini sangatlah tinggi. Ini adalah kota yang sangat bengis. Tapi di tempat seperti inilah spiritualitas muncul dan bersinar seperti bintang-bintang yang menyorot cemerlang. Dari kota yang seolah hendak menghancurkan setiap nilai kemanusiaan ini tumbuh berbagai sikap dan prilaku yang mencerminkan cinta dan kasih sayang, kepahlawanan, saling tolong menolong, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Kisah yang dituturkan dengan sangat mencekam di buku ini memang berlatarbelakang ironi yang sangat menggigit. Istri saya berkali-kali berhenti membaca karena tidak tahan dengan kesedihan yang memagutnya. Kepedihan dan penderitaan tokoh dalam buku ini membuatnya seperti membeku. Karena ia pernah melihat sendiri situasi dan kondisi di negara India maka kisah yang ada dalam buku ini lebih terasa nyata baginya.
Saya sendiri tidak membaca buku ini karena memang sudah lama tidak membaca novel. Tapi istri saya memuji-muji buku ini dan berkata bahwa buku tebal yang dilahapnya hanya dalam empat hari ini sangat layak untuk dijadikan bacaan bagi siapa pun untuk memperkaya batin. “The City of Joy” ini termasuk karya sastra yang saya masukkan pada “Daftar Wajib Baca Karya Sastra” pada program “SMALA’s Reading Challenge”. Saya berharap siswa-siswa SMAN 5 Surabaya ada yang memilih buku ini dan juga akan memperoleh kekayaan batin setelah membacanya. Paling tidak kami akan menganjurkan anak kami Yufi untuk memilihnya.
Kemarin ketika pergi naik kereta ke Solo dan Jogya bersama Tara, anak bungsu kami, istri saya membawa sebuah buku berjudul “Papap, I Love You” karya Sundari Mardjuki untuk ia baca di kereta. Ini juga buku obral yang saya beli di Gramedia. Ternyata novel setebal 417 halaman tersebut berhasil ia baca hanya dalam sehari. Tara sendiri membawa dua buah buku yang juga habis dibacanya bahkan jauh sebelum kembali ke Surabaya. Karena kehabisan bacaan dan bosan akhirnya ia tidur saja selama di kereta yang membawanya kembali ke Surabaya. Tara yang baru kelas 6 SD nampaknya sudah menjadi pembaca yang lumayan getol.
Dan kini istri saya mengambil buku lain yang tidak kalah tebalnya. Judulnya “Amba” sebuah novel sastra karya Laksmi Pamuncak. Buku setebal 577 halaman ini sudah lama saya beli, saya baca, tapi tidak pernah saya selesaikan. Saya tidak tertarik dengan ‘tone’nya yang lambat dan bertele-tele. Bagi saya buku ini membosankan sehingga saya malas untuk meneruskannya sampai selesai. Tapi kini istri saya yang membacanya…! Saya sungguh tidak menyangka bahwa istri saya yang tidak punya latar belakang bahasa dan sastra ini tiba-tiba sekarang menjadi pembaca yang haus akan novel-novel sastra. Saya mesti acungkan dua jempol padanya. Padahal membaca buku bukanlah hobi yang telah dimilikinya sejak kecil. Tidak. Ia baru asyik membaca setelah menikah dengan saya dan kami mengembangkan kegiatan membaca rutin bersama anak-anak. Tapi kini ia menjadi pembaca yang lebih serius daripada saya…! Wooa…! Ini adalah bukti nyata bahwa siapa saja bisa menjadi pembaca buku yang serius meski tidak memulainya sejak anak-anak.
Saya sendiri baru saja menyelesaikan buku bacaan saya untuk minggu ini. Judulnya adalah “SWITCH, Mengubah Situasi Ketika Perubahan Sulit Terjadi”. Buku yang luar biasa ini ditulis oleh Chip Heath dan Dan Heath. Buku ini Bestseller #1 New York Times. Jadi jangan heran jika buku ini memang memukau. Buku ini begitu gurih dan nikmatnya sehingga saya ingin mencicipinya berlama-lama dan tidak ingin segera menyelesaikannya. Seringkali saya harus berhenti untuk memberi ‘highlight’ pada kalimat-kalimat yang begitu menarik dan mencoba untuk menjadikannya sebagai bahan pemikiran saya. Bahkan ketika baru membaca di bab-bab awal saya sudah terpesona dan berpikir untuk mencari bukunya lagi. Saya harus memborongnya dan membagikannya pada teman-teman. Mereka harus membaca buku ini…! Saya yakin teman-teman saya akan menikmati dan belajar banyak juga dari buku hebat ini. Sayang sekali ternyata buku ini sudah habis stoknya di seluruh Gramedia, bukan hanya di Gramedia Surabaya tapi juga di Gramedia seluruh Indonesia. Sekedar untuk diketahui, buku lezat dan bergizi ini memang saya peroleh di rak buku obral. Buku ini memang stok lama karena diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2010 (buku ini sendiri pertamakali terbit tahun 2002).
Buku SWITCH yang saya baca ini sangat pas dengan situasi yang saya hadapi saat ini. Saya seolah membaca buku manual atas kegiatan literasi yang sedang saya kampanyekan dan promosikan. Saya sampai hampir terlompat saking senangnya membaca buku ini. Ini adalah buku yang seharus menjadi “Buku Wajib Baca” bagi para manajer dan direktur di mana pun. Ini adalah buku bagi mereka yang ingin melakukan perubahan di lingkungannya. Saya akan mengulas buku ini kali lain.
Tapi buku ini sudah tamat saya baca dan besok saya harus ke toko buku lagi untuk mencari buku lain sebagai bacaan harian saya. Apakah Anda punya rekomendasi buku apa yang ‘worth reading’…?!
Surabaya, 26 Juni 2014