Perjalanan saya berkampanye tentang Gerakan Literasi Sekolah belakangan ini membawa saya melambung dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain. Sebuah kehidupan yang sangat dinamis dan menyenangkan bagi saya.
Setelah berpresentasi tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di sekolah YWKA, Palembang, Sumatra Selatan pada hari Selasa, 3 Juni 2014, saya melambung ke Bogor untuk berpresentasi pada Kongres IKAPI di IPB Convention Center. Memberi presentasi pada sekolah YWKA Palembang adalah permintaan saya sendiri pada Roele, teman kuliah saya di jurusan Bahasa Inggris IKIP Surabaya dulu yang kini menjabat sebagai ketua Yayasan di YWKA (Yayasan Wanita Kereta Api). Saya tawarkan presentasi gratis pada sekolah binaannya di Palembang dan Roele (atau Bu Rully) dengan senang hati menyambut tawaran tersebut. Sebenarnya saya punya tujuan lain yaitu saya ingin mengajak istri saya jalan-jalan ke Sumsel dan kesenangan itu saya padukan dengan melakukan kampanye literasi. It’s a mixture of joy and pleasure. J Dari Palembang saya lanjutkan Safari Literasi saya ke Bogor. Tapi sebelumnya saya mengajak istri saya untuk jalan darat dari Palembang ke Jambi dan menginap semalam di kota Jambi sekedar untuk memuaskan hasrat traveling kami. Kapan lagi saya bisa mengajak istri untuk menyusuri punggung Sumsel kalau bukan pada kesempatan seperti ini? 🙂
Memberi presentasi pada kongres ATPUSI (Asosiasi Tenaga Pustakawan Seluruh Indonesia) di Bogor pada Jum’at, 6 Juni 2014, adalah kepuasan tersendiri. Para pustakawan adalah ujung tombak yang semestinya menggerakkan budaya literasi pada bangsa ini. Merekalah orang-orang yang hidupnya didedikasikan pada upaya pembudayaan literasi. Saya sempat katakan pada mereka bahwa jika bangsa Indonesia gagal memiliki budaya membaca maka dosa terbesar bisa ditimpakan pada pustakawan karena sebenarnya pada merekalah amanah untuk menjadikan anak-anak Indonesia memiliki budaya literasi diberikan. Tentu saja saya sekedar hendak memberi penekanan betapa pentingnya posisi mereka dalam upaya gerakan literasi bangsa ini. Mereka menyimak dengan penuh antusiasme akan presentasi saya karena mereka paham betul pentingnya tugas mereka. Saya katakan pada mereka bahwa apa yang saya sampaikan mungkin tidak ada yang baru tapi saya mungkin bisa memberikan perspektif baru dalam memandang tugas membudayakan bangsa ini untuk membaca dan menulis. Seperti yang saya duga mereka sangat bersemangat dan antusias mengikuti presentasi saya dan pertanyaan seolah tidak akan berhenti.
Ketika akan meninggalkan acara saya mendapatkan kejutan karena disodori amplop oleh panitia kongres. “Sekedar transport, Pak.” Padahal saya sudah katakan pada Pak Ihsanudin, Ketua APUSI, bahwa saya tidak perlu dibayar dan saya akan usahakan sendiri transportasi dan akomodasi saya. Dan Pak Ihsanudin setuju. Jadi amplop itu adalah sebuah kejutan. Saya bisa saja bersikap sok gak doyan duit dan menolaknya (seperti yang kadang-kadang saya lakukan) tapi nampaknya saat itu iman saya sedang goyah. Seolah ada suara yang mengatakan dalam kepala saya “Dan janganlah Engkau menolak rejeki. Barangsiapa menolak rejeki maka rejeki akan tersinggung dan mungkin akan purik, etcetera…etcetera”. Dan entah bagaimana ceritanya tiba-tiba amplop itu sudah ikut saya pulang ke hotel. 🙂
Selasa, 10 Juni 2014. Tanpa direncanakan tiba-tiba saya dan Mas Wahyu, Indonesia Menulis, mblakrak masuk ke gang Dolly kemarin siang. Saya sampai terpana tidak percaya bahwa saya ada di gang Dolly kemarin itu. Is it really the notorious Dolly? Sungguh berbeda dg yg ada di benak saya. Saya sebelumnya mengira Dolly begitu gemerlap dan paha-paha mulus berkeliaran. Wakakak…! Ternyata gangnya sempit, padat, kumuh, dan dentuman musik dangdut hampir datang dari setiap ‘wisma’ yg ada. Yang jelas tidak gemerlap lha wong kami datang di siang yg njingglang…!
Tidak ada paha-paha mulus yang menyambut kami siang itu. Sebaliknya kami diminta utk bertemu dengan para ibu-ibu PKK di kampung itu yg sedang berlatih bikin kue. Mas Wahyu langsung drop tensinya. Wakakak…!
Apa yg kami kerjakan dengan ibu-ibu PKK gang Dolly di siang yg terik dan pengap itu? Ternyata kami diminta untuk membantu Bu Arini dengan program pemberdayaan masyarakat Dolly melalui program literasinya. Bu Arini ingin agar para ibu-ibu di sekitar gang Dolly memiliki penghasilan dengan membuat berbagai macam kue setelah mereka dilatih oleh perpustakaan masyarakat yang didirikan di kampung Dolly tersebut. Ini adalah sebuah program yang dahsyat…! Baperpusip punya 13 perpustakaan di sekitar Dolly di mana 7 di antaranya benr-benar di ‘Red Area’. Ini seolah perpustakaan hendak ‘mengepung’ Dolly. Jadi ini adalah sebuah upaya untuk mengentaskan Dolly melalui literasi dan aplikasinya.
Tentu saja para ibu tersebut membutuhkan modal selain ketrampilan untuk membuat kue dan untuk itu perlu dicarikan bantuan permodalan. Mas Wahyu yang memang sehari-hari bergaul dengan pengusaha langsung tanggap dan menjanjikan untuk membantu. Yang jelas setelah itu kami langsung ke Bank UMKM utk bertemu Pak Subawi Marketing Managernya utk menindaklanjutinya. Dengan sontekan kecil saja Mas Wahyu langsung membuat gol indah sore itu. Luar biasa berkahnya kunjungan ke Dolly ini…! 🙂
Kamiso, 12 Juni 2014, saya memberikan presentasi tentang literasi di sekolah SMP Al-Falah di Waru, Sidoarjo. Kebetulan kepala sekolahnya, Ana Christanty, adalah alumnus Unesa dan bersedia memberi tempat untuk presentasi. Meski yang datang tidak banyak tapi acara tetap asyik dan para pesertanya antusias.
Sabtu, 14 Juni 2014, saya mendapat undangan untuk member presentasi lagi ke sekolah YWKA di Bandung. Bandung ini pusatnya PT KA dan sekolah lebih lebih banyak. Kali ini saya memberi presentasi pada para orang tua yang akan mengambil raport. Saya dijemput sendiri oleh Roele di Fave Hotel Braga paginya dan sorenya saya diantar ke bandara. Sebuah pertemuan dengan teman lama yang menyenangkan. Di sini saya juga diberi amplop (beserta isinya) yang juga saya terima tanpa berupaya untuk pura-pura menolak. “Dan janganlah sekali-sekali Engkau…”
Minggu, 15 Juni 2014 saya menghadiri acara ultah Sirikit School of Writing (SSW) yang kedua di Telkom Ketintang Surabaya dengan acara Seminar “Memajukan Peradaban Bangsa Melalui Penciptaan Iklim Literasi’ sekaligus Deklarasi Jatim sebagai Pusat Gerakan Literasi. Pada akhir acara yang tidak bisa saya ikuti karena ada acara lain diadakan peluncuran buku “Boom Literasi” bersama teman-teman dosen dan alumni Unesa.
Senin, 16 Juni 2014, saya mengadakan rapat dengan para guru di SMAN 5 Surabaya (SMALA) dengan agenda mempersiapkan program SMALA’s Reading Challenge yang akan kami sampaikan pada siswa esoknya. Hari itu saya sudah berhasil mengumpulkan sekitar 80-an judul karya sastra baik yang sastra Indonesia mau pun terjemahan yang akan kami jadikan sebagai Reading List bagi siswa. Saya sebetulnya berkeinginan agar bisa menyediakan 100 judul karya sastra lokal mau pun internasional sebagai daftar buku sastra wajib baca bagi siswa besok. Tapi hari itu baru sekian yang bisa saya peroleh. Saya ingin agar para guru bahasa dan sastra di SMALA bisa melengkapi daftar tersebut. Pak Ali Mas’ud, guru bahasa Indonesia, menyanggupi untuk melengkapinya menjadi 100 judul. Saya merasa tenang.
Selasa, 17 Juni 2014, saya mengadakan presentasi tentang SMALA’s Reading Challenge pada siswa SMAN 5 Surabaya sebanyak 2 X. Hal ini disebabkan karena banyaknya agenda sekolah dan siswa sehingga sulit untuk menjadikan mereka dalam satu ruangan. Setelah presentasi dan penjelasan tentang SMALA’s Reading Challenge mereka langsung saya tantang untuk ‘To Read More than Any Other Schools in the World’ dengan target membaca 10.000 (sepuluh ribu buku) karya sastra selama setahun. As I expected, mereka tidak gentar dan juga tidak menawar. Ketika ada yang bertanya ‘why should they read more than any other schools in the world?’ saya jawab singkat, “Because they can.” Tentu saja saya tidak asal member target dan tantangan jika tidak tahu bagaimana kemampuan mereka dan bagaimana kiat untuk mencapai dan memenuhi target tersebut. Kami semua merasa tertantang dan sangat antusias dengan target ini.
Siangnya jam 14:00 saya memberikan presentasi pada ibu-ibu PKK atas undangan dari Baperpusip. Untuk undangan ini saya cukup berjalan kaki dari rumah saya karena lokasi perpustakaan tempat saya berpresentasi hanya 50 meter dari rumah saya. Sekali lagi ada amplop berisi lembaran bergambar Soekarno-Hatta mengiringi kepulangan saya. Pada presentasi sebelumnya saya diberi amplop tapi saya tolak karena saya sudah janji untuk tidak menerima honor. Tapi untuk kali ini saya diwanti-wanti oleh Bu Arini untuk menerimanya karena memang sudah ada bujetnya dari anggaran Baperpusip. Jadi dalam hati saya berkata,” Jika ada sumur di ladang sudilah kiranya menumpang mandi. Jika ada umur panjang, sudilah…” Intinya ‘alhamdulillah…!’ Selintas ada pikiran yang melintas memprotes, “Wis sugih ngono kok yo sik tego nerimo honor toh awakmu iku…?! Teganya…teganya…!” tapi langsung disambar oleh pikiran lain dengan logat Suroboan medhok, “Ojok kakehan cangkem awakmu. Meneng…!” dan selesailah pertarungan batin saya hanya dalam waktu sekian detik.
Kamis, 19 Juni 2014, saya memberikan presentasi tentang SMALA’s Reading Challenge pada orang tua siswa SMAN 5 Surabaya sebanyak 2 X. Hari itu para ortu datang untuk mengambil raport anak-anak mereka dan sebelumnya mereka kami beri informasi dan pengarahan tentang program literasi baru yang akan kami jalankan di SMAN 5 Surabaya. Intinya kami mendorong para orang tua untuk memberi semangat setiap anak mereka untuk menyelesaikan target membaca 12 buku selama Reading Challenge tersebut agar target 10.000 buku bisa tercapai. Saya janjikan untuk memintakan sertifikat yang akan ditandatangani oleh Walikota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini, jika mereka bisa menyelesaikan Tantangan Membaca 12 Buku Karya Sastra tersebut. Kami memang belum pernah bicara pada Bu Risma soal sertifikat ini tapi kami yakin beliau akan mendukung program ini dan bersedia untuk turut menyemangati siswa dengan member penghargaan berupa sertifikat bagi setiap anak yang berhasil menyelesaikan tantangan ini. Selain itu saya sebenarnya juga berharap agar para ortu siswa juga turut MULAI melakukan kegiatan membaca secara rutin di rumah agar menjadi model bagi anak-anak mereka. Jika terbentuk kebiasaan membaca di rumah yang dilakukan oleh orang tua dan anak maka ini akan menular dengan cepat ke mana-mana. I wish….
Malamnya saya terbang ke Balikpapan untuk menerima undangan presentasi Gerakan Literasi Sekolah di sekolah saya sendiri dan di Pondok Pesantren Hidayatullah, Gunung Tembak.
Jum’at, 20 Juni 2014, saya berpresentasi pada para guru SMP, SMK, dan SMKTI Airlangga, Balikpapan di lantai 4 gedung sekolah yang berada di bawah Yayasan Airlangga Balikpapan. Berpresentasi pada mereka adalah seperti berbicara pada teman-teman dan saudara-saudara sendiri di rumah karena ini adalah sekolah di mana saya ikut mendirikannya belasan tahun yang lalu. Meski demikian saya agak surprised juga karena setelah selesai saya diminta untuk menandatangani tanda terima dana penggantian tiket saya.
Setelah maghrib saya kembali memberikan presentasi pada dosen dan mahasiswa-mahasiswi ASMI Airlangga. Sekolah ini juga dibawah naungan Yayasan Airlangga dan rasanya baru sekali ini saya memberi presentasi pada kampus yang didominasi para gadis-gadis cantik. Maklum saja karena mereka adalah calon-calon sekertaris perusahaan setelah lulus nanti. Meski demikian ternyata ada beberapa laki-laki yang tertarik masuk ke kampus ini. Apakah mereka juga berkeinginan untuk menjadi sekertaris…?! Ah! Emang urusan elo…?! 🙂
Sabtu, 21 Juni 2014, pagi hari saya meluncur ke Gunung Tembak yang berjarak lebih dari 30 km dari Balikpapan untuk berpresentasi tentang Gerakan Literasi Sekolah di Pondok Pesantren Hidayatullah. Saya nyetir sendiri karena tidak ada sopir yang bisa mengantar saya.
Saya cukup dikenal oleh pimpinan ponpes Hidayatullah karena saya pernah membantu beberapa kali ketika ponpes ini ingin membuat sekolah yang kemudian kami rancang menjadi “Sekolah Pemimpin”. (Baca https://satriadharma.com2010/12/31/sekolah-pemimpin-mencetak-pemimpin-dari-siswa-miskin-di-balikpapan-1/)
Jadi sambutan mereka sangat hangat dan saya sangat bersyukur bahwa pada akhirnya saya bisa masuk untuk berpresentasi dan berkampanye tentang pentingnya Gerakan Literasi Sekolah di pondok pesantren. Pondok Pesantren sebenarnya adalah target utama saya karena di sinilah para siswa muslim digembleng dan dididik. Saya melihat bahwa BUDAYA MEMBACA telah hilang dari kurikulum sekolah-sekolah Islam dan perintah MEMBACA telah hilang ditelan oleh gairah untuk lebih menghafal Al-Qur’an (menjadi hafidz). Padahal perintah MEMBACA dan mengembangkan budaya literasi (allama bil qalam) adalah perintah yang sangat tegas dalam Al-Qur’an jika dibandingkan dengan menghafal ayat-ayatnya.
Jadi ketika pada akhirnya Pak Pur berhasil meyakinkan pimpinan Ponpes Hidayatullah untukmengundang saya berbicara tentang literasi saya sangat bersyukur. At last I can talk right to the ‘heart’…! Bicara soal pentingnya Budaya Membaca pada pondok pesantren adalah seperti berbicara langsung pada jantungnya permasalahan.
Saya berbicara 2X, yaitu pada pagi hari ketika memberi sambutan kelulusan siswa MA Raudhatan Mardhiyah dan pada acara inti siangnya pada para guru di ponpes Hidayatullah. Pada acara sambutan saya tidak menampilkan slides dan hanya berbicara bahwa umat Islam jika ingin membangun peradaban yang unggul nampaknya perlu kembali mengingat peristiwa turunnya ayat pertama dari Jibril pada Nabi Muhammad di Goa Hira’. Saya beri mereka pertanyaan mengapa Jibril harus menyuruh Nabi Muhammad untuk membaca (Iqra’) sampai tiga kali? Padahal Nabi Muhammad sudah menjawab bahwa ia tidak bisa membaca tapi toh Jibril tetap bersikeras meminta Nabi Muhammad untuk membaca. Dan itu disampaikannya sampai tiga kali. Peristiwa itu tentulah bukan kebetulan melainkan memiliki isyarat dan perlambang yang perlu kita pahami. Kita harus memahami peristiwa tersebut dengan menggunakan analisis kita. Di situlah saya sampaikan bahwa menurut saya peristiwa tersebut merupakan perlambang bahwa perintah MEMBACA yang disampaikan oleh Tuhan melalui Jibril tersebut adalah PERINTAH YANG SANGAT SERIUS dan sungguh-sungguh sehingga harus disampaikan sampai tiga kali! Perintah membaca bagi umat Islam adalah PERINTAH YANG SANGAT SERIUS dan perlu untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh .
Rupanya penyampaian saya tersebut langsung mengena di hati pimpinan Ponpes Hidayatullah sehingga ketika diminta untuk member sambutan KH Abdurrahman berbicara cukup panjang lebar menanggapi apa yang saya sampaikan.
Ketika saya berbicara lebih lengkap dengan menampilkan slides pada acara seminarnya para pemirsa menjadi lebih tertarik. Semakin terbakarlah semangat mereka untuk merebut kembali kunci peradaban yang selama ini telah dicampakkan oleh umat Islam. Kebetulan saya juga membawakan mereka satu kardus buku-buku yang memang sudah saya persiapkan lama untuk saya bawa kalau ke ponpes ini. Jadilah siang itu kami mendeklarasikan Gerakan Literasi di Ponpes Hidayatullah. Bagi saya ini sungguh merupakan keberkahan yang luar biasa sehingga ketika saya pulang dari Balikpapan ke Surabaya malamnya saya masih merasakan betapa indahnya hari-hari yang kulalui.
I’m really satisfied with what I’ve done…
Surabaya, 22 Juni 2014