‘Literacy is a prime predictor of student success’. (Keberhasilan siswa di masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan literasi mereka).
Bagaimana menumbuhkan dan kemudian meningkatkan kemampuan literasi siswa di sekolah?
Ini adalah sebuah pertanyaan penting yang harus kita jawab. Tapi pertama-tama kita harus memahami dulu mengapa literasi itu penting bagi siswa dan sekaligus bangsa.
JEBLOKNYA MUTU PENDIDIKAN INDONESIA
Tanpa kita sadari mutu pendidikan Indonesia semakin tahun semakin merosot saja jika dibandingkan dengan mutu pendidikan bangsa-bangsa lain. Hasil ujian PISA sejak tahun 2000 sampai tahun 2015 ini secara konsisten selalu menempatkan siswa Indonesia pada posisi bawah. Hasil PISA 2012 menempatkan siswa Indonesia pada posisi kedua terburuk atau posisi 64 dari 65 negara . Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rerata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan, yaitu masing-masing 500, 510 dan 493. Hal ini juga bisa dilihat dari berbagai statistik tentang negara kita. Dalam World Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60 negara yang diteliti. Hal ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita yang terus merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002, dan 112 (2003). [v] Berdasarkan statistik UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Minat baca bangsa kita terendah di ASEAN.
Sebuah hasil penelitian dari Central Connecticut State University Study baru-baru ini menempatkan Indonesia pada posisi kedua terbawah (posisi 60 dari 61 negara) sebagai bangsa yang paling tidak literat atau second-least literate nation in the world in a list of 61 measurable countries, besting only Botswana (Jakarta Post 2016). Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil.(Kompas.com 2012). Semua ini adalah alarm yang terus menerus berbunyi mengingatkan kita akan bahaya gagalnya Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan setara dengan bangsa-bangsa lain yang terus menunjukkan keberhasilan pembangunannya. Tapi mungkin telinga kita sudah kebal mendengar alarm ini dan terus mengabaikannya.
ANCAMAN GLOBAL
Rendahnya Reading Literacy bangsa kita saat ini dan di masa depan akan membuat rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. “70 Persen Anak Indonesia Sulit Hidup di Abad 21” demikian kata Prof Iwan Pranoto dari ITB. Hal ini sebenarnya sudah bisa kita lihat dengan nyata.Saat ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berjumlah 6,5 juta orang dan tersebar di 142 negara.[vii] Para TKI itu datang dari 392 Kabupaten/Kota. Mereka ini HANYA mengisi posisi sebagai tenaga kasar yang tidak membutuhkan kemampuan membaca. Tanpa kemampuan literasi yang memadai dalam persaingan global ini maka TKI hanya akan dapat mengisi pekerjaan-pekerjaan kasar dengan gaji paling rendah. Tanpa upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca sebagai dasar untuk belajar dan mengembangkan ketrampilan hidup maka bangsa kita akan terus menjadi bangsa kuli seperti yang disinyalir oleh Soekarno, Founding Father kita. [viii]
Pada sebuah acara di Surabaya Dirjen Dikdasmen, Hamid Muhammad PhD, menyampaikan sebuah pernyataan menarik. Menurutnya sejak tahun 2000 hingga 2015 Indonesia telah melakukan perubahan kurikulum sebanyak 3 kali. Perubahan kurikulum yang melibatkan begitu banyak pemikiran, dana, energi, dll ternyata tidak meningkatkan mutu pendidikan kita malah justru membuatnya merosot.
MENGAPA ITU TERJADI?
Semua itu terjadi karena selama 70 tahun Indonesia merdeka kita telah menelantarkan bukan hanya kewajiban membaca buku sastra di sekolah tetapi juga kewajiban membaca di sekolah. Ketika sejumlah negara mewajibkan siswanya membaca buku sastra (Thailand Selatan mewajibkan 5 buku, Malaysia 6 buku, Singapura 7 buku, Swiss 15 buku, Belanda 30 buku, Amerika 32 buku) siswa Indonesia sama sekali tidak pernah diwajibkan untuk membaca satu pun karya sastra. Hal ini disebut oleh Taufik Ismail sebagai “Tragedi Nol Buku”. Ia mengingatkan semua negara mewajibkan siswanya untuk membaca sejumlah buku karya sastra, terkecuali Indonesia.
Dikatakan, siswa SMA Indonesia tidak wajib membaca buku sastra sama sekali alias nol buku. “Indonesia tidak ada kewajiban membaca sehingga siswa kita sekarang tidak lagi mengenal buku sastra seperti Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Vanderwijk, Siti Nurbaya, dan lain lain,”cetusnya. Sehingga dikatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang siswanya tidak memiliki kewajiban membaca buku.
Mengapa demikian? Apakah kita tidak paham bahwa tanpa kewajiban membaca maka tidak akan ada ketrampilan membaca? Tanpa ketrampilan membaca maka siswa kita tidak akan dapat beranjak ke mana-mana? Kemampuan menyerap dan memanfaatkan informasi adalah sangat vital dalam kehidupan Abad 21 ini dan tanpa kemampuan dan ketrampilan membaca yang memadai maka anak-anak kita akan terus tertinggal dari anak-anak bangsa-bangsa lain.
MEMBACA ADALAH JANTUNGNYA PENDIDIKAN
Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Demikian kata Glenn Doman dalam bukunya “How to Teach Your Baby to Read” (1991 : 19). Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik. Ketrampilan membaca adalah komponen paling penting dalam berbahasa. Semakin tinggi keterampilan siswa dalam membaca semakin besar kemampuannya untuk berkembang ke bidang-bidang lain. Seberapa penting membaca itu? “Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. “Roger Farr (1984) menyebutkan “Reading is the heart of education” MEMBACA ITU JANTUNGNYA PENDIDIKAN.
Inti dari pendidikan di masa depan adalah MEMBACA. Untuk itu sekolah maupun orang tua haruslah dapat mendidik anak-anak mereka untuk bukan hanya mencintai buku tapi juga memiliki ketrampilan untuk membaca. Ketrampilan membaca meliputi kemampuan untuk membaca secara cepat dan kemampuan untuk memahami bacaan dengan baik. Ketrampilan membaca ini sangatlah penting bagi masa depan siswa. Untuk itu kecintaan terhadap buku haruslah dimulai dengan membiasakan diri siswa untuk membaca setiap hari. Kita tidak bisa melompat pada kemampuan literasi yang lebih tinggi atau menguasai kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) tanpa menguasai literasi tradisional membaca dan menulis lebih dahulu. Tak ada ramuan ajaib untuk itu selain harus kita kuasai lebih dahulu.
KEMBALIKAN KEWAJIBAN MEMBACA PADA KURIKULUM
Saat ini telah turun Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti dengan salah satu kegiatanya adalah Membaca 15 Menit Setiap Hari Buku Non-pelajaran sebelum pelajaran dimulai. Ini adalah program Sustained Silent Reading Membaca 15 Menit bagi semua siswa untuk semua tingkatan di semua sekolah dengan mewajibkan mereka untuk membaca buku di kelas masing-masing selama 15 menit setiap hari. Jadi disediakan jadwal khusus di kelas untuk membaca. Jika siswa setiap hari membaca selama 15 menit setiap hari maka praktik tersebut akan menjadi kebiasaan bagi mereka dan akan membuat minat membaca mereka akan tumbuh.
Praktik penumbuhan budaya baca yang sederhana ini ternyata memang manjur menumbuhkan ketrampilan siswa membaca yang pada akhirnya membuat mereka juga lebih bersemangat dalam belajar. Hampir semua kepala sekolah yang telah menjalankan program Membaca 15 Menit ini menyatakan kepuasannya pada pengaruh positip siswa dalam belajar. Tidak salah jika saat ini Kemendikbud kemudian mencanangkan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang akan dilaksanakan di seluruh Indonesia. Program ini sendiri sebenarnya sudah diluncurkan secara simbolis pada tanggal 18 Agustus 2015 yang kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Tim Satgas GLS. Ada tiga tahapan yang dirancang untuk menumbuhkan budaya literasi sekolah ini, yaitu Pembiasaan, Pengembangan, dan Pembelajaran.
Apakah dengan demikian dijamin mereka akan cinta membaca? Jika kita bisa membuat kegiatan membaca tersebut mudah dan menyenangkan, yaitu dengan memberikan buku-buku bacaan yang menarik bagi minat mereka dan membuat suasana dan program membaca tersebut ‘rewarding’, maka kecintaan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi jika kegiatan dan program membaca tersebut dilakukan dengan setengah hati, menjadi suatu bentuk tekanan, tidak terprogram dengan baik, dan tidak diikuti dengan pemenuhan fasilitas buku-buku yang sesuai dengan minat mereka maka kegiatan tesebut tidak akan optimal. Oleh sebab itu program GLS dari Kemendikbud ini harus dilaksanakan dengan sistematis, terstruktur, massif dan berkelanjutan.
PERPUSTAKAAN SEBAGAI JANTUNGNYA SEKOLAH
Untuk dapat menjadikan membaca sebagai kebiasaan atau budaya yang melekat pada anak-anak di sekolah maka revitalisasi perpustakaan sebagai jantung sekolah harus dilakukan. Tidak bisa tidak. Sebetulnya, untuk melihat apakah sebuah sekolah itu baik atau tidak akan bisa dengan mudah kita simpulkan dari seberapa bagus pengelolaan perpustakaannya. Sekolah yang memiliki perpustakaan yang baik akan dengan mudah menghasilkan pelajar-pelajar yang berkualitas. Sebaliknya, jika sebuah sekolah memiliki perpustakaan yang buruk maka bisa dipastikan sekolah tersebut tidak akan mampu membekali siswanya dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Untuk itu ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, sekolah harus menyediakan perpustakaan yang memadai bagi siswa. Minimal perpustakaan berukuran dua kali lipat dari ruang kelas karena ia harus bisa menampung banyak buku dan siswa dapat membaca dengan santai. Harus ada bilik untuk ruang audio-visual yang tidak akan mengganggu bagi yang akan membaca. Idealnya ada ruang atau minimal meja bundar untuk diskusi. Kedua, jumlah bukunya maupun jenis koleksinya haruslah memadai. Karena jika ada 400 siswa di sebuah sekolah maka paling tidak ada 4000 buah buku bacaan yang tersedia dengan jenis bacaan yang cukup bervariasi. Sekolah yang baik mestilah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pengembangan perpustakaan karena perpustakaan adalah jantungnya sekolah. Ketiga, sekolah harus menyediakan tenaga khusus perpustakaan yang akan bertanggungjawab untuk mengelolanya. Sebuah perpustakaan mestilah dikelola oleh seorang pustakawan yang benar-benar memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola pepustakaan. Jika perpustakaan dikelola oleh non-pustakawan ibaratnya menyerahkan sebuah mobil kepada orang tidak bisa menyetir. Ia hanya akan berputar-putar tanpa tahu harus kemana dengan mobil tersebut.Keempat, membaca haruslah dirancang secara terintegrasi dengan kurikulum lainnya. Semestinya setiap mata pelajaran yang diberikan kepada siswa haruslah melibatkan pencarian referensi ke perpustakaan. Jadi perpustakaan betul-betul menjadi pusat untuk mencari informasi. Setiap guru haruslah dapat mengaitkan materi yang diajarkannya dengan referensi-referensi yang ada di perpustakaan sehingga siswa tahu bagaimana mencari informasi yang diperlukan di perpustakaan. Kelima, menumbuhkan budaya baca siswa haruslah dibarengi dengan upaya menumbuhkan budaya baca gurunya sekaligus. Setiap sekolah mestinya punya perpustakaan khusus bagi guru yang terpisah dengan perpustakaan bagi siswa. Koleksi-koleksinya tentulah berupa buku-buku yang diperlukan bagi guru untu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya daam mendidik dan mengajar. Buku-buku macam “Multiple intelligences”-nya Howard Gardner, “Taxonomi Bloom”, “Mind Mapping”, dlsbnya mestinya harus tersedia bagi guru dan merupakan buku bacaan wajib bagi mereka. Keenam, di setiap kelas siswa harus tersedia buku-buku bacaan yang dengan mudah mereka ambil dan baca di saat-saat senggang mereka (within reach). Hal ini bisa disiasati dengan mengadakan Sudut Baca atau Perpustakaan Kelas.
KOMITMEN BERSAMA
“The greatest contribution that you as a teacher can make to the educational success of your students’ is to help them become proficient readers. You can do this by providing them with a classroom library. (Sumbangan terbesar yang bisa Anda berikan pada keberhasilan pendidikan siswa Anda adalah dengan MEMBANTU MEREKA MENJADI PEMBACA YANG TRAMPIL dengan menyediakan buku-buku di kelas mereka.)”
Menumbuhkan kegemaran membaca adalah komitmen bersama. Komitmen untuk menumbuhkan kegemaran membaca adalah sebuah keputusan besar yang harus ditumbuhkan pada semua pemangku kepentingan di sekolah. Semua orang harus sepakat untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menjadikan setiap anak di sekolah sebagai pembelajar sejati melalui kebiasaan membaca.
Apakah kegiatan tersebut sulit dilaksanakan oleh sekolah-sekolah kita? Jika sekolah telah berkomitmen untuk melaksanakannya maka hanya dalam jangka waktu enam bulan saja mereka akan dapat melihat sebuah perubahan budaya sekolah yang signifikan. Saya telah melihatnya langsung dan ini berlaku baik pada sekolah di kota-kota besar, kota kabupaten, bahkan pada sekolah-sekolah terpencil dan sulit di berbagai daerah. Budaya membaca benar-benar dapat mengubah prilaku siswa dan sekolah sekaligus dalam ekosistemnya.
Saat ini banyak gubernur, walikota, dan bupati yang berlomba-lomba untuk menjadikan propinsi, kota, dan kabupatennya menjadi Propinsi, Kota, Kabupaten Literasi. Saat ini DKI Jakarta, Riau, dan propinsi lain telah memproklamirkan diri sebagai propinsi literasi (segera disusul oleh Jawa Tengah), berbagai kota dan kabupaten seperti Surabaya, Enrekang, Sidrap, Salatiga, Lumajang, Pekanbaru, dll. Tahun ini adalah tahun kebangkitan literasi di negara kita dan akan menjadi tahun kebangkitan mutu pendidikan bangsa. Semoga!
Surabaya, 5 April 2016
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com