Karena menganggap pekerjaan membangun budaya literasi bangsa sebagai ‘jihad fisabilillah’ maka terkadang saya melakukan hal-hal yang ‘extraordinary’ untuk mempromosikan dan mengkampanyekannya (mau saya tulis ‘nekad’ kok kayak bonek…). 🙂 happy
Saya yakin sekali bahwa Indonesia harus melakukan ‘holy war’ alias perang suci melawan krisis literasi, yaitu rendahnya budaya baca dan tulis bangsa ini yang mengakibatkan berbagai krisis lain. Saya sudah sampai pada tahap ‘yaqin seyaqin-yaqinnya’ (pakai qolqolah biar mantap) soal pentingnya memerangi krisis literasi ini. Saya juga beranggapan bahwa semua pejabat pemerintah dan para pemimpin di semua lembaga di negara ini harus bertanggung jawab dan mau turun tangan mengatasi krisis literasi ini. Kalau tidak mau peduli awas kon yo, titenono…! 🙂
Dengan pola pikir seperti ini maka saya seringkali tidak lagi peduli pada birokrasi, pandangan masyarakat, tatacara umum, dan segala hal yang menghambat upaya saya melakukan perang terhadap krisis literasi tersebut. Saya akan melakukan segala cara yang memungkinkan untuk memenangkan perang melawan krisis literasi ini. Saya akan menggunakan waktu, pemikiran, fasilitas, dana pribadi, jaringan, dan apa saja yang saya miliki untuk melakukan perang melawan krisis literasi ini. Saya akan berkata keras jika diperlukan, berteriak jika diharuskan, berdebat habis-habisan kalau dibutuhkan, mendorong kesana kemari, memberi sumbangan pemikiran dan buku-buku semampunya, berkeliling untuk safari literasi jika diminta ke mana pun, dan bahkan menawari siapa saja untuk menerima saya mengkampanyekan pentingnya budaya literasi.
Jadi tidak usah kaget kalau saya sering melakukan tindakan ‘extra ordinary’ yang tidak lazim dan mungkin menjengkelkan bagi beberapa orang. Saya akan memanfaatkan setiap hal dan kesempatan untuk kepentingan literasi. Sebagai contoh, untuk melancarkan promosi dan kampanye saya tentang literasi maka saya menyebut diri saya sebagai Konsultan Budaya Literasi pada Forum Literasi Indonesia yang dibentuk oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud. Dikdasmen memang membentuk sebuah tim yang terdiri dari beberapa staf Dikdasmen sendiri dan beberapa orang luar (termasuk saya) untuk menyusun sebuah Pedoman Umum dan Panduan Teknis pelaksanaan program budaya literasi sekolah (Alhamdulillah akhirnya selesai juga meski lambatnya minta ampun…!). Dan kami menyebut tim tersebut dengan Forum Literasi Indonesia sekedar agar ada namanya. Nah, agar saya bisa mempromosikan dan mengkampanyekan program budaya baca Kemdikbud ini maka saya mempromosikan forum ini di mana saya menyebut diri saya sebagai konsultan. Agar lebih keren saya juga membuat kartu nama dengan menyebutkan diri sebagai Konsultan Budaya Literasi dan menggunakannya ketika berhubungan dengan berbagai pihak dalam urusan literasi.
Rupanya ada staf kementrian yang tidak terima dan keberatan kalau saya mengatasnamakan diri sebagai konsultan budaya literasi di forum tersebut. Menurutnya saya ini cuma ‘berstatus’ sebagai nara sumber dan bukan konsultan. Kemdikbud tidak pernah mengangkat siapa pun untuk menjadi konsultan budaya literasi dan saya tidak punya hak untuk mengatasnamakan diri sebagai konsultan di Kemdikbud. Staf ini meminta (lewat orang lain) agar saya diperingatkan dan berhenti ‘mengaku-ngaku’ sebagai konsultan Kemdikbud (‘akon-akon’ bahasa Jawanya). Sebetulnya saya agak jengkel juga dengan orang ini karena secara tidak sadar dia sedang bersikap sebagai pemilik dan penguasa Kemdikbud yang bisa melarang saya untuk mengatasnamakan diri sebagai konsultan budaya literasi di Kemdikbud. Lha kalau saya tidak berhak, lantas apakah dia juga berhak melarang saya? Lha dia itu siapa dan apa hak dia untuk melarang saya? Kecuali yang keberatan adalah Mas Hamid Muhammad sebagai Dirjen atau Mas Anies sebagai Mendikbud ya bolehlah…! 🙂
Tapi saya ambil sisi lucunya saja. Sambil bergurau saya jawab bahwa sebetulnya saya ingin mengaku sebagai Dirjen Dikdasmen, dan bahkan Mendikbud, kalau pergi ke mana-mana agar bisa mempromosikan dan mengkampanyekan budaya literasi. Tapi saya tentu akan ketahuan bohongnya kalau demikian. Jadi saya ambil posisi yang aman saja yaitu sebagai Konsultan Budaya Literasi di Kemdikbud. Untungnya Mas Hamid Muhammad kemudian mengklirkan dengan mengatakan bahwa siapa saja yang membantu Kemdikbud, khususnya beliau, dalam urusan literasi ini maka akan dianggap sebagai konsultan. Apalagi saya kan cuma konsultan probono alias tidak dibayar (malah keluar duit pribadi). 🙂 happy So it’s clear now …Sekarang saya resmi menjadi konsultan Kemdikbud akon-akon. Hehehe…!
Tapi urusan ‘menggunakan segala cara’ demi urusan literasi yang saya lakukan sebenarnya lebih daripada itu. Saya bahkan sering menggunakan kantor Kemdikbud seperti kantor saya sendiri demi kelancaran urusan literasi. Saya akan mengajak orang-orang yang berhubungan dan berurusan dengan budaya literasi untuk bertemu saya di Kemdikbud kalau kebetulan di Jakarta. Kebetulan di Kemdikbud ada lounge yang bisa dimanfaatkan untuk menerima tamu dan berbincang (saya juga bisa pesan teh sebagai sajian). Jadi kalau ada tamu saya bisa menerimanya di lounge tersebut dan menyuguhinya minuman teh hangat sehingga rasanya lengkaplah peran saya sebagai Konsultan Budaya Literasi Kemdikbud. 😀
Meski demikian, saya bisa sampaikan bahwa peran yang saya lakukan tersebut cukup memberi hasil dan kemajuan bagi perkembangan gerakan budaya literasi yang digagas oleh Kemdikbud, yang mungkin tidak akan bisa dilakukan oleh para staf Kemdikbud sendiri. Mereka punya batasan-batasan (meski setingkat dirjen) yang tidak akan mungkin mereka terobos sendiri. However, they work in the box…! Meski secanggih apapun mereka dalam thinking out of the box, they still have to do it from the box itself. Rumit toh…! 🙂
Saya sudah memahami sedikit bagaimana tatakerja birokrat dan paham bahwa memang sulit bagi para pejabat kementrian untuk melakukan perubahan yang radikal. Mereka itu ibarat kapal induk yang yang kalau mau belok kiri butuh jarak berkilo-kilo meter baru bisa berbelok sedikit demi sedikit. Beberapa teman pejabat di Kemdikbud yang dulunya orang ‘swasta’ dan biasa melakukan manuver-manuver untuk melakukan perubahan ternyata juga kelimpungan menghadapi betapa ruwetnya birokrasi di kementrian tersebut. Melangkah salah, tidak melangkah apalagi. 🙂 Mereka juga protes pada saya yang seringkali ‘ngomel’ betapa lambatnya mereka bekerja setelah masuk jajaran birokrasi. “Jangan samakan dengan dirimu yang kalau mau belok tinggal belok saat itu juga,” kata mereka. Mereka tidak bisa melakukan hal tersebut. Ada banyak tatacara dan aturan yang benar-benar merepotkan dan bahkan mengikat mereka sehingga memang tidak bisa bergerak. Padahal mereka sebenarnya ingin bergerak cepat juga seperti saya. 🙂
Jadi kalau ada orang seperti saya (yang sudah putus urat sungkannya) membantu mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sulit untuk mereka lakukan maka tentu saja mereka sangat berterima kasih. Tapi itu menurut saya sendiri sih…! Selama ini belum pernah ada yang menyatakan demikian. Wakakak…!
Kemarin saya berhasil mendorong Disdikprop DKI untuk mendeklarasikan Propinsi DKI sebagai Propinsi Literasi dengan manuver yang tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh staf Kemdikbud sendiri. Kemarin Pak Muhammad Husin dari Disdikprop DKI dan konsultannya Dr. Joko Arwanto ingin bertemu dengan saya untuk konsultasi tentang program literasi di DKI. Mereka ingin DKI bisa seperti Kota Surabaya yang telah bertransformasi menjadi sebuah Kota Literasi. Mereka lalu saya undang untuk datang ke Kemdikbud. Semula mereka cuma mau konsultasi bagaimana menggerakkan budaya literasi di Disdikprop DKI. Begitu diskusi selesai langsung saya tawari untuk menjadikan DKI sebagai Propinsi Literasi DKI dengan segera mendeklarasikan diri saja. (Itu strategi standar saya dalam mengerjakan sesuatu, selalu naikkan level dan bobot pekerjaannya jika memungkinkan). 🙂 Saya tawari mereka tempat deklarasi di Kemdikbud dan nantinya pendeklarasiannya bersama Mendikbud (koyok Kemdikbud iku aku sing nduwe dan mentrine adikku dewe sing iso tak kongkon-kongkon).
Mereka mau tapi mesti laporan ke Kadisdik atasan mereka dulu. Kebetulan saya tahu bahwa Pak Sopan Adrianto, Kadisdik DKI baru, ini orangnya progresif dan akan melakukan apa saja demi kemajuan pendidikan di DKI. Jadi saya yakin beliau pasti mau. Begitu staf Disdikprop menyatakan bersedia menyampaikan pada atasan mereka saya langsung menghadap Mas Anies yang kebetulan pagi itu ada di kantor dan tidak ada tamu. Saya datang saja ke kantor beliau tanpa surat dan tanpa janjian sebelumnya. Alasan saya sih mau minta kata pengantar pada buku saya “Transformasi Surabaya sebagai Kota Literasi”. Begitu beliau bersedia untuk memberi kata pengantar saya lalu menyodok lagi dan minta kesediaan beliau untuk meresmikan atau ikut mendeklarasikan DKI sebagai Propinsi Literasi. Mas Anies bersedia. Saya langsung maju lagi dengan minta ijin menggunakan Gedung Kemdikbud sebagai tempat deklarasi. Mas Anies juga setuju. Ketika ditanya kapan waktunya saya langsung tetapkan tanggal pada tanggal 27 Januari ini. Deal…! Jadi permintaan acara, tempat dan pembicaranya langsung gol hanya dengan lisan. 🙂 happy Tentu saja Mas Anies minta agar saya segera menyusulkan surat resminya which is of course will follow.
Begitu Mas Anies setuju saya lalu menelpon Pak Husin dan sampaikan bahwa usulan sudah disetujui, tempat juga sudah, Mendikbud juga bersedia untuk ikut mendeklarasikan, jadi mereka tidak boleh mundur. Saya minta konfirmasi kesediaan mereka dengan mengirim surat resmi (tapi sementara) via Dirjen Dikdasmen. Karena kebetulan saya ada janji ketemu dengan Mas Hamid besok siangnya maka saya minta agar surat bisa dibawa besok langsung ketika bertemu dengan Dirjen Dikdasmen.
Jadi begitulah…, besoknya selain membawa tim IKAPI bertemu dengan Mas Hamid saya juga membawa tim Disdikprop DKI untuk menyampaikan surat permohonan resmi (sementara)nya. Semua deal berkat manuver blietzkrig seorang konsultan akon-akon… 😀
Sebetulnya ada gol lagi yang sempat saya ceploskan ke gawang pada hari itu di kantor Kemdikbud tapi rasanya tidak perlu saya ceritakan semuanya. Kuatirnya nanti ada yang tertarik untuk ikut-ikutan jadi konsultan akon-akon seperti saya juga. Kan berabe kalau saya dapat saingan…! 🙂 happy
Surabaya, 8 Januari 2016
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Terjemahan :
– akon-akon = ngaku-ngaku
– However, they work in the box…! = Bagaimana pun, mereka bekerja di dalam kotak.
– thinking out of the box, they still have to do it from the box itself.= berpikir di luar kotak, mereka masih harus melakukannya dari dalam kotak itu sendiri.
– koyok Kemdikbud iku aku sing nduwe dan mentrine adikku dewe sing iso tak kongkon-kongkon = Seolah Kemdikbud itu saya yang punya dan mentrinya adik saya sendiri yang bisa saya suruh-suruh
– which is of course will follow = yang tentunya akan menyusul
– blietzkrieg = serangan kilat