Apa tepa slira itu…?! Bagi yang tidak mengenal kultur Jawa istilah ‘tepa slira’ paling tepat diterjemahkan menjadi tenggang rasa. Kita menenggang rasa terhadap apa yang diyakini, disikapi, dan dilakukan oleh orang lain.
kalau kita beda, itulah fakta,
bila tidak sama, itupun nyata,
namun dalam beda, kita bisa bersama,
saling tepa-selira, harmoni tercipta.Perbedaan adalah kenyataan yang kita hadapi setiap hari. Tidak ada di dunia ini dua benda yang persis sama, masing-masing pasti memiliki perbedaan. Manusiapun berbeda-beda, terdiri atas berbagai ras, dan tiap-tiap ras memiliki bermacam suku, sukupun memiliki bermacam daerah asal, daerah asal memiliki bermacam keluarga/marga dan seterusnya. Di dalam satu keluargapun memiliki perbedaan, ada yang lebih tua dan yang lebih muda. Demikianlah fakta hidup di dalam dunia ini yang memiliki berbagai macam perbedaan.
Perbedaan antara suami dengan istri bisa menjadi cerita yang sangat panjang, seperti dalam tayangan televisi yang gencar menayangkan perceraian para selebritis. Lebih luas lagi perbedaan antara golongan dapat menjadikan perang saudara, saling mencederai dan bahkan saling membunuh. Mengapa hal demikian terjadi? Semuanya dikarenakan ego masing-masing, entah itu ego pribadi, marga, daerah, golongan dan sebagainya. Sepanjang manusia mementingkan diri sendiri tanpa mau mengerti orang lain, pasti akan bersinggungan kepentingan dengan yang lainnya, kemudian terjadilah saling bertentangan, saling bermusuhan, saling menyakiti satu terhadap yang lain.
Tepa-selira merupakan kata kunci yang mendasari hidup harmonis. Tepa-selira berarti: apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain. Dengan mengendalikan diri sendiri, tidak menyakiti orang lain adalah yang menjadikan dasarnya. Harmonis dimulai dari diri sendiri, kemudian keluar terhadap sekeliling. Wise words di atas saya kutip dari blog lain (http://www.meandconfucius.com/2011/01/harmoni-kata-kunci-dalam-hidup-damai.html)
Seperti pada pagi ini saya baru saja mempraktekkan tepa slira pada istri saya.
Istri saya termasuk orang yang paling perduli terhadap kesehatan. Segala macam ‘nasihat’ dan petunjuk tentang kesehatan akan dipercayainya dan dipraktekkannya pada seisi keluarga. Jadi menurutnya buah alpokat itu baik untuk kesehatan jantung, sayuran jangan dimasak terlalu matang, kulit apel itu menyimpan vitamin yang paling banyak, propolis itu suplemen yang asyik punya, minum obat itu jangan sesudah minum kopi, jangan minum kopi sesudah minum obat. Apalagi minum obat pakai kopi! Things like thatlah! Pokoknya kopi dan obat itu tidak compatible. Saya sering membayangkan kopi dan obat akan bertengkar hebat di lambung saya karena masalah dendam lama dan kemungkinan besar obat akan dikalahkan karena terlumuri oleh kafein. Jadi obatnya mabok dan menggeletak di sudut lambung dan gak bisa ngapa-ngapain. Dan kebetulan istri saya tahu masalah ‘dendam berkarat’ tersebut!
Repotnya saya termasuk orang yang tidak ‘beriman’ pada hal-hal remeh seperti itu. 😀Pengalaman hidup ngere dan makan nggragas apa saja yang ada sewaktu muda membuat saya tidak lagi percaya hal-hal remeh semacam itu. Lha wong makan nasi bulgur aja saya pernah kok. Padahal katanya nasi bulgur itu sebetulnya untuk dikonsumsi hewan. Anjriiiit….! Rupanya saya pernah hidup laiknya sebagai hewan selama ini. Untung saya tidak meringkik dan mengembik selama ini.
Saya juga pernah mengonsumsi nasi yang ketika matang baunya persis bau tinja. Sumprit kayak tinja…! Nampaknya itu nasi yang sudah kadaluarsa dan sebenarnya sudah tidak layak konsumsi. Toh semua itu kumakan saja dengan tanpa belas kasihan. Sadis dah pokoknya…! Lha mau gimana lagi wong yang tersedia cuma itu. (untung elo kagak dekat-dekat gua waktu itu. Gua makan juga elo..!). 😀
Kalau saya bayang-bayangkan masa-masa itu saya jadi pingin ngakak keras-keras. Saya jadi ingin mengolok-olok sisi diri saya yang suka sok milih-milih restoran kalau makan saat ini. Sisi kere diri saya akan berkata,:”Hallaaaaah…! Lha wong kamu dulu ya pernah makan nasi bulgur aja kok sekarang sok milih mesti makan di restoran tertentu…! Sok aja kamu itu…!”
Tanpa bisa saya cegah sisi borjuis diri saya akan kontan menjawab,:” Biarin…! Duit-duitku sendiri. Ngiri ya kamu dulu hidupnya sengsara…! Wek…!” Dan mereka pun bertengkar saling olok dalam imajinasi saya. Persis anak kecil! Saya biasanya suka senyum-senyum sendiri kalau terjadi pertengkaran seperti ini.
Mohon tidak heran dengan situasi ini. Pertengkaran macam begini dalam diri saya sebenarnya sudah berlangsung cukup lama dan biasanya mereka akan berdamai. Bisa juga karena salah satunya dikalahkan. Tapi karena diri saya cuma satu maka mereka mesti mengalah dan bertepaslira. Nampaknya tak ada satu pun di antara mereka yang mau keluar mencari jasmani lain. Ngotot mereka untuk tetap di dalam diri saya yang fana ini!
Jadi dalam diri kita pun sebenarnya ada sisi lain yang berbeda dan saling kalah mengalahkan. Mereka itu tidak pernah rukun dan bertolak belakang sebenarnya. Sisi yang satu ingin hidup sesederhana mungkin sedang sisi yang lain minta penyesuaian status. Sisi yang satu pingin tampil tawadduk sisi lainnya mengejek ‘Sok alim lu…!’. Sisi yang lain pingin setia pada istri sedangkan sisi yang lain kerjanya mendata cewek mana yang kira-kira cocok untuk diajak membantu istri. Sisi yang satu ngajak kerja keras sisi yang lain ngajak ‘hang out”. Semacam itulah! Bayangkan kalau dua sisi ini bertengkar habis-habisan dan tak ada yang mau mengalah. Kalau itu yang terjadi maka jasmani kita akan terkena dampaknya dan kita mesti berakhir di rumah sakit dan divonis ‘topi miring’.
Oh ya… saya tadi mau bercerita tentang tepa slira saya pada istri.
Karena biasa ‘mbambet’ dulunya maka soal kesehatan remeh temeh tidak pernah saya yakini sebagaimana istri saya meyakininya. Soal minum obat jangan dengan kopi itu sebenarnya sering saya langgar kalau istri saya tidak ada. Tapi kalau ada maka saya akan mematuhi “Peraturan Kesehatan Pupuk Baru 2” dengan penuh kesalehan.
Setiap pagi istri saya memang membuatkan saya kopi dan dua minggu ini saya mesti minum obat untuk mengencerkan darah dan untuk menurunkan tingkat cholesterol. Waktu general check-up kapan hari hasilnya dinyatakan agak tinggi semuanya.
Mulai dari cholesterol, asam urat, kekentalan darah, dll. Sambil bergurau saya katakan bahwa itu hanya dampak dari meningkatnya daya tarik, kekayaan, ketenaran, dan produktifitas saya. Kalau itu sudah normal maka yang lain juga akan normal pula. Saya tidak terlalu memperhatikan karena saya merasa kesehatan saya baik-baik saja dan tidak ada gangguan apa pun. Saya bahkan tidak melihat sendiri hasil laboratorium tersebut karena sudah dihandel oleh istri saya dan ia yang menyampaikan hasilnya pada saya. Seperti yang saya katakan, saya tidak terlalu ‘mengimani’ hasil lab dan saya lebih percaya pada apa yang saya rasakan langsung.
Tapi bagi istri saya itu sungguh merupakan sebuah ‘berkah’ karena dengan demikian maka ia merasa berhak untuk mengontrol apa yang bisa dan boleh saya konsumsi. Ini kesempatan baik baginya untuk ‘menyandera’ saya. Mungkin ia sedikit jealous karena selama ini saya makan apa saja dengan sepuas-puasnya sedangkan ia mesti memilih-milih apa yang bisa dan boleh ia konsumsi. Di kondangan saya segera meluncur ke menu kambing guling dan di resto seafood saya melahap semua mulai dari udang besar, kepiting, kerang, cumi, ikan hiu (ikan hiu itu enak lho!), dll. Padahal jika istri saya menyicipi udang atau kepiting agak sepotong saja maka ia bisa kena gatal-gatal karena alergi. Makanya istri saya heran dengan saya. Padahal menurut data lab tingkat cholesterol, asam urat, gula darah, dll saya lebih tinggi ketimbang istri saya tapi kok saya aman-aman saja mengonsumsi itu semua. Lebih heran lagi ia karena saya tidak perduli dengan itu semua. 😀
Saya sendiri memang tidak perduli dengan itu semua. Mau cholesterol naik kek, darah lebih kental kek, asam urat mengancam kek, toh saya merasa baik-baik saja. Lagipula hei… ! saya sudah pernah hidup dengan mengonsumsi makanan ternak dan nasi tinja. Jadi kalau semua yang kukonsumsi saat ini bakal meracuni diriku biar mereka bertemu dengan ‘mbahnya’ racun dari makanan yang pernah kukonsumsi dulu.( Lu pikir lu jagoan apa…?! Tuh hadapi senior lu si bulgur dan nasi tinja yang udah lama ngendon di dalam urat darah gua!)
Kalau kita sudah pernah mendaki puncak Semeru maka puncak gedung BRI Tower itu gak ada apa-apanya. (maksudku lu tinggal naik lift ke tingkat tertinggi dan sisanya baru naik tangga). 😀
Tapi saya mesti tepa slira. Saya mesti menenggang perasaan istri saya yang telah begitu baiknya mau memperhatikan kesehatan saya. Saya minum obat itu sebagian untuk menghargai perhatian dan kasih sayang istri saya. Saya minum obat pakai air putih dan tidak kutenggak pakai kopi juga karena istri (tapi kalau beliau sedang tidak ada ya kuembat pakai kopi juga. Ssst…jangan bilang-bilang ya!) Yang penting jangan sampai beliau merasa tidak dihargai pendapatnya. Itulah tepa slira.
Sebetulnya saya bisa saja membantah istri saya dengan mengatakan toh nanti semua itu akan bertemu di perut. Dan apa yang terjadi di perut kita tidak pernah tahu. Toh itu semua cuma teori yang kebenarannya masih relatif. Siapa tahu kali ini obatnya menang melawan kopi. Kan tidak selamanya kita itu kalah dan ada kalanya yang menang akan kalah dan sebaliknya.
Dunia itu berputar seperti roda. Kita mesti memberikan kesempatan kepada obat untuk melawan dengan kemampuannya sendiri. Janganlah kita terlalu memanjakan obat sehingga membuatnya tidak mandiri, dll. Bukankah bulgur dan nasi tinja yang dianggap sebagai makanan ternak telah turut andil membentuk diriku saat ini (Hiks…!)., dll…. dlll…! Pokoknya saya punya banyak jurus untuk berargumen. Istri saya tahu benar bahwa kalau saya mau berdebat dengannya saya mesti menang. ‘Kalah menang nyirik’, katanya. (nyirik = meraup, bahasa Jawa).
Tapi itu semua tak kulakukan (aku kok ingat lirik lagunya Ebiet G Ade ketika menuliskan ini ya!). Untuk apa menang adu argumen sama istri kalau itu akan menciptakan disharmoni…?! Untuk apa mengolok soal ‘obat vs kopi in my tummy’ kalau itu akan membuat istri merasa tidak dihargai…?! Cemen banget…! Harmoni itu penting dan perlu diciptakan dan dipertahankan. Ngalah iku gedhe wekasane (untuk arti dari kata bijak ini sila buka kamus dan tanya pada tetangga Jawa Anda).
Singkat kata : Dengan sesekali mengalah akan terciptalah harmonisasi dalam rumah tangga karena itulah tepa slira dalam keluarga.
Bagaimana dengan Anda…?!
Satria Dharma.
Balikpapan, 8 Februari 2011
Duh Pak Satria . . . . Andai saja – KITA – bangsa Indonesia tercinta ini bisa saling tepa slira, niscya nusantara kita ini akan indah. Ya, indah seperti gambaran keindahan yang ada dalam dunia dongeng itu.
Ya, semoga, setelah sekian lama hidup – belajar, kita – bangsa Indonesia ini – akan mampu bertepa slira. Insya Allah. Amiiin.