Tahukah Anda mengapa turis wanita tidak boleh berpakaian terbuka dan sexy ketika mendatangi kuil-kuil di Thailand? Karena kuil adalah tempat para biksu laki-laki tinggal. Mereka tidak boleh pakai celana dalam dan hanya mengenakan pakaian berupa kain yang berupa jubah. Jadi bayangkan bagaimana situasinya kalau ditempat tinggal mereka bersliweran gadis-gadis sexy berpakaian minim. Mereka toh masihlah laki-laki normal…
(Ini kata Choki, pemandu wisata kami, yang memang suka bergurau itu)
Selasa, 8 September 2015
Meski berjumlah besar tapi rombongan dosen dan karyawan STIKOM Bali mampu menjaga disiplin waktu. Mereka semua bisa tepat waktu utk turun dari kamar dan sarapan. Mereka bahkan sudah menunggu di lobi sebelum jam 06:00. Jam 06:30 kami bahkan sdh selesai sarapan semua dan menunggu waktu utk berangkat.
Acara pagi ini adalah ke Wat Pho. Wat Pho adalah salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi oleh para pecinta sejarah di Bangkok. Nama asli dari Wat Pho adalah Wat Phra Chetuphon Wimonmangkhalaram (coba baca di depan orang Thai asli dan dia pasti akan tertawa karena kita salah membacanya). Kuil Wat Pho ini merupakan kuil yang terbesar dan tertua di Bangkok, sekaligus menjadi rumah dari patung The Reclining Buddha atau Buddha berbaring yang sangat terkenal di dunia. Patung ini dulunya dari Ayutthaya lalu dipindahkan, setelah kehancuran Ayutthaya karena serangan kerajaan Burma.
Wat Pho adalah patung Buddha raksasa tidur dengan seluruh tubuhnya berlapis emas. Pada telapak kakinya tergambar simbol keberuntungan. Sayang sekali bahwa waktu kami ke sana patung ini sedang direnovasi sehingga kami tidak bisa menikmati seluruh pemandangan patung tersebut. Patung Budha ini memiliki panjang 46 meter dengan tinggi 15 meter. Kakinya sepanjang 5 meter dengan tinggi 3 meter.
Dari sini kami kemudian berjalan menyeberang jalan menuju ke tempat penyeberangan ferry menuju Wat Arun, Temple of Dawn. Utk menuju ke Wat Arun kita harus menyeberangi sungai Chao Praya dengan naik feri dengan membayar 3 baht per orang.
Wat Arun adalah kuil Buddha emas yg di luarnya di kelilingi oleh banyak patung Buddha lain. Di sini kita tidak dikenai tiket tapi kita bisa memberikan sumbangan pada kotak yg disediakan. Wat Arun atau yang juga dikenal dengan Temple of Dawn adalah salah satu bangunan yang menjadi ikon Kota Bangkok. Tapi nampaknya rombongan kami lebih sibuk berbelanja di pasarnya. Meski pengap dan sempit tapi nampaknya harga-harganya lebih murah daripada di MBK sehingga rombongan kami kembali memborong barang-barang di pasar Wat Arun ini.
Siangnya kami langsung ke Pattaya naik bus. Dari sana kami akan ke Tiger Zoo dan peternakan buaya di Sriracha. Malam hari kami akan diajak nonton pertunjukan Cabaret. Cabaret adalah pertunjukan kombinasi musik, nyanyian dan tarian yang dimainkan oleh wanita cantik yang sebenarnya adalah pria.Kami sudah pernah menonton Cabaret dulu di Bangkok. Di Pattaya sendiri pun ada dua tempat pertunjukan Cabaret, yaitu di Tiffany dan di Alcazar. Kami menonton yang di Alcazar. Kata guide kami Alcazar lebih menarik ketimbang Tiffany.
Pattaya adalah tempat objek wisata di Bangkok yang terkenal dengan sex-tourismnya. Jadi prostitusi adalah legal dan banyak tempat di Pattaya terdapat tempat pertunjukan sex dan sejenisnya. Tapi justru hal inilah yang membuat Pattaya menjadi kota yang menarik bagi wisatawan. Katanya dari 40 juta turis yang mendatangi Thailand setiap tahunnya 30 juta turis mendatangi Pattaya karena daya tarik pariwisata sexnya. J Bayangkan…! 30 juta turis setiap tahun adalah luar biasa. Sedangkan Bali yang katanya tempat berlibur paling top di dunia ternyata hanya didatangi oleh 3 juta turis asing. Jadi turis yang datang ke Pattaya yang pantainya ‘begitu-begitu saja’ adalah 10X lipat daripada yang datang ke Bali!
Pemandu wisata kami dalam satu bis ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Di bis kami ada Choki, laki-laki, dan Pra, perempuan. Tentu saja itu nama panggilan saja karena terlalu sulit untuk mengeja nama mereka dalam bahasa Thai. Choki yang berwajah lucu dan juga selalu melucu selama dalam perjalanan cukup lancer berbahasa Indonesia. Padahal katanya ia hanya belajar selama 6 bulan dan bahkan belum pernah sekali pun ke Indonesia…! Saya benar-benar kagum dengan kemampuannya berbahasa Indonesia mengingat bahwa ia harus belajar huruf latin juga jika ingin belajar bahasa Indonesia. Para pemandu wisata berbahasa Indonesia ini bergabung dalam sebuah klub bernama PIGC (Professional Indonesian Guide Club).
Rabu, 9 September 2015
Kami hanya menginap semalam di Pattaya. Paginya kami langsung balik ke Bangkok dengan melalui beberapa tempat wisata seperti pabrik batu permata Gems Factory, Honey Bee shop, dan tempat souvenir dried food terbesar di Pattaya. Rupanya kami ingin didorong untuk belanja dan belanja… Pintar juga mereka. Malamnya kami makan di restoran Royal Dragon yang merupakan resto terbesar di dunia dengan kapasitas tempat duduk 5.000 orang dan punya staf sebanyak 1.200 orang di lokasi seluas 8.35 hektar…! Resto ini masuk Guinness Book of Records pada tahun 1991 karena besarnya. Karena luasnya maka pelayannya pakai sepatu roda untuk mengantarkan makanan. Di resto ini selalu ada pertunjukan tari tradisional di ruang tengahnya. Meski cukup ramai jelas sekali bahwa kapasitas tempat duduk yang ada tidak akan mungkin terisi seluruhnya.
Jelas sekali bahwa turisme Thailand sedang mengalami kelesuan juga. Dua tahun yang lalu ketika kami datang kemari turis begitu banyak dan berdesak-desakan di mana-mana. Untuk masuk ke Wat Pho pun kami harus berdesak-desakan. Kini suasana terasa lengang (meski pusat perbelanjaan tetap ramai). Choki sendiri mengatakan bahwa pariwisata agak lesu sekarang dan setelah kami belum ada rombongan baru lagi sampai bulan depan. Jadi dia akan pulang ke kampungnya untuk beternak sapi. Idul Adha sudah dekat dan umat Islam pasti butuh sapi, katanya. Ia beternak sapi besar dengan berat hampri satu ton katanya. Harga sapi itu kalau dirupiahkan sekitar 40 juta rupiah. Lumayanlah untuk mengisi waktu kosong sambil menunggu masa kembali bergairahnya pariwisata.
Kamis, 10 September 2015
Kami kembali menginap di Dynasty Hotel Bangkok dan pagi-pagi sudah harus bersiap untuk diantar menuju bandara Don Mueang. Karena Bangkok terkenal mecetnya maka kami harus siap jauh-jauh sebelumnya untuk mengantisipasinya. Meski cukup macet tapi tidak terlalu parah. Saya rasa Jakarta bisa lebih parah macetnya ketimbang Bangkok. Kami tiba di bandara lebih awal daripada perkiraan dan bahkan belum bisa check-in karena belum waktunya.
Kami berangkat tepat waktu dan perjalanan selama 4 jam ke bandara Ngurah Rai cukup berlebih bagi saya untuk menghabiskan buku “Melipat Batas” setebal 394 halaman tersebut. Saya lihat istri saya belum juga menyelesaikan membaca “The White Tiger”nya Aravind Adiga.
Meski pun kami akan mendarat menjelang maghrib di Ngurah Rai tapi kami sudah memutuskan untuk menginap semalam lagi di Bali. Kali ini kami akan menginap di hotel Atanaya yang lokasinya dekat berdampingan dengan salah satu toko souvenir Krisna dan dekat dengan restoran D Cost.
Setelah sholat dan mandi kami turun dari hotel dan makan di D Cost. Sayang sekali bahwa menu ikan steamnya tidak ada. Padahal itu favorit kami.
Selesai makan kami kembali ke hotel untuk beristirahat. Besok pagi kami akan kembali ke Surabaya.
Demikianlah kisah perjalanan kami ke Thailand kali ini. Sengaja tidak saya sebarkan di Facebook atau pun grup medsos lain waktu itu. Sedang enggan saja. *:) happy
Surabaya, 12 September 2015
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com