Siang ini dapat telpon kejutan….
Saya baru saja sampai dari Denpasar setelah libur lebaran bersama keluarga dan ingin merebahkan tubuh sebentar ketika mendapat telpon dari nomor yang tidak saya kenal. Saya biasanya meminta istri saya untuk mengangkat nomor telpon yang tidak saya kenal. Terlalu banyak telpon dari para sales dan bank-bank yang menawarkan pinjaman tanpa agunan dan saya minta istri saya untuk menolaknya. Kadang-kadang saya ajak bergurau salesnya dengan mengatakan mbok ya tawarkan kepada banyak orang yang sedang butuh uang di luaran sana. Jangan tawarin ke saya yang uangnya sudah berlebih. Sesekali bergurau bolehlah. Tapi selebihnya tawaran itu jadi gangguan saja. Jadi saya memang jarang mengangkat telpon tak dikenal langsung. Tapi ketika saya lihat ternyata nomor ini dari kartu Halo yang khas jadi saya angkat sendiri.
Hallo…! Dengan siapa ini…?!
Anies, Mas.
Anies…?! Anies siapa…?!
Anies Baswedan.
Ups…!
Ternyata dari Mas Anies Baswedan…! Mas Mentri.
Pertama, tentu saja, silaturrahim dan saling ucapkan mohon maaf lahir bathin. Saya memang tidak mengirimkan ucapan lebaran pada beliau karena saya pikir he will be too busy with so many people. Namanya juga Mentri…!
Kedua, bicara soal Permendiknas 21/2015 yang baru ia luncurkan, khususnya tentang Kewajiban Membaca 15 Menit Setiap Hari sebelum pelajaran dimulai. Ini adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan Budaya Membaca pada siswa yang harus dilakukan mengingat betapa terpuruknya kemampuan baca siswa dan rendahnya minat baca bangsa secara nasional. Ini memang bahasan yang sudah lama sekali kami diskusikan bahkan sebelum beliau jadi Mendikbud. Pada tahun 2009 (kalau tidak salah) saya, Ahmad Rizali, dan Said Sudirman (sekarang jadi Meneg ESDM) sepakat bahwa kami harus melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan pada masalah rendahnya budaya baca bangsa ini. Saya lalu membuat sebuah konsep dengan nama Gerakan Indonesia Membaca (GIM) yang lengkap baik Visi, Misi, maupun Strateginya. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan budaya baca bangsa secara nasional. Pokoknya kami yakin bahwa konsep tersebut akan mampu membuat sebuah perubahan pada budaya baca bangsa karena skalanya adalah nasional.
Meski demikian kami sadar bahwa kami membutuhkan seorang sosok atau figur yang mampu membawakan konsep GIM tersebut dengan baik. A good song needs a good singer and we need a singer because none of us is a singer. *:) happy Akhirnya pilihan kami jatuh pada Mas Anies Baswedan. Kalau tidak salah beliau saat itu masih jadi Rektor Paramadina dan belum lama pulang dari Amerika. Kami yakin beliau adalah sosok yang sangat cakap untuk menjalankan program yang kami harapkan menjadi gerakan nasional ini. Alasannya jelas, selain beliau adalah sosok yang cerdas dan punya jaringan yang luas beliau adalah Media Darling, seseorang yang sangat disukai untuk dikutip dan diwawancarai oleh media. (Saya jadi ingat ketika kami, yaitu saya, Ahmad Rizali, dan Pak Bagiono DS, mendatangi Pak Gatot HP dan Pak Indra Djati Sidi untuk kami ajak masuk ke IGI. We always try to find ‘good singers’.).
Meski Mas Anies sangat mengapresiasi program yang kami ajukan tapi ternyata beliau lebih tertarik pada program Indonesia Mengajar (yang masih berjalan sampai saat ini). Lagipula beliau memang sudah lama tertarik pada program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) dan juga mengenal baik almarhum Prof Kusnadi, mantan Rektor UGM penggagas program PTM tersebut. (juga kebetulan bahwa ayah saya adalah salah seorang mahasiswa PTM dan sampai sekarang aya masih menjadi pengurus IKPTM).
Jadi program pembiasaan membaca 15 menit setiap hari yang sekarang masuk dalam Permendikbud 21/2015 bukanlah ide baru dan tiba-tiba masuk ke benak beliau. Program ini sudah kami diskusikan sejak 2009 dan baru sekarang bisa diwujudkan melalui kebijakan Kemendikbud. Tentu saja kami sangat bersyukur bahwa pada akhirnya sedikit demi sedikit program-program untuk menumbuhkan budaya baca bangsa secara nasional bisa kami wujudkan.
Tentu saja gerakan ini masih sangat dini dan baru merupakan tonggak awal saja (meski saya sudah bergerilya ke banyak sekolah dan daerah di beberapa propinsi). Saya sangat berterima kasih pada Ibu Risma, Walikota Surabaya, yang memiliki Kepala Dinas Pendidikan yang sangat responsif, Bapak DR. Ikhsan, dan Ibu Arini Pakistyaningsih, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya yang begitu konsisten menjalankan program Surabaya Kota Literasi yang sudah dimulai dan dicanangkan secara resmi sebagai program kota sejak 2 Mei 2014. Sekarang kami memiliki banyak model dan contoh sekolah untuk penerapan Permendikbud 21/2015 ini. Karena program Membaca 15 Menit sebelum pelajaran dimulai ini sebenarnya telah dijalankan secara serentak di semua sekolah di Surabaya berdasarkan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Kami bahkan telah melangkah lebih maju dengan program Tantangan Membaca Surabaya 2015 (TMS 2015) dengan target 1.000.000 (satu juta) buku terbaca oleh siswa Surabaya.
Tapi itu baru satu kota sedangkan saat ini ada 500 lebih kota/kabupaten di seluruh Indonesia yang perlu diajak untuk turut menanamkan budaya membaca lewat sekolah. Benar-benar baru sebuah noktah kecil di hamparan peta pendidikan bangsa Indonesia. Surabaya juga sebuah kota besar dengan banyak kemudahan sehingga saya sering berkata bahwa jika Surabaya saja gagal maka di seluruh Indonesia program ini juga pasti akan gagal. Tak ada kota yang sekondusif kota Surabaya dalam soal gerakan literasi. Saya sudah berkeliling ke cukup banyak propinsi, kota, dan kabupaten sehingga saya berani mengklaim seperti ini.
Bisakah kami mengajak semua kota/kabupaten ini menjalankan program Gerakan Literasi Sekolah demi tumbuhnya budaya membaca pada siswa? Apa yang harus dilakukan untuk menggerakkan semua komponen bangsa agar Gerakan Literasi Sekolah ini bisa berjalan di semua sekolah di seluruh Indonesia? Siapa saja yang harus diajak untuk bersinergi? Apa tantangan dan hambatan besar yang mungkin akan kami temui di lapangan selain begitu awamnya dunia pendidikan kita akan pentingnya menanamkan kebiasaan (bukan sekedar menyampaikan pentingnya) membaca pada anak-anak kita? Itu semua adalah pertanyaan yang perlu kita jawab jika kita ingin menggerakkan bangsa ini untuk mulai mencintai budaya literasi.
Ini tantangan besar karena kita memang sudah sangat jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Bangsa Indonesia sampai saat ini dianggap TIDAK MEMILIKI BUDAYA MEMBACA (dan kalah dengan bangsa Vietnam yang baru saja merdeka setelah hancur lebur berperang dengan Amerika). Menurut OECD budaya membaca masyarakat Indonesia menempati peringkat paling rendah di antara 52 negara di Asia Timur (Kompas, 2009). Dalam World Competitiveness Scoreboard 2005 Indonesia hanya menduduki peringkat 59 dari 60 negara yang diteliti. Padahal Malaysia sudah berada di peringkat 28 dan India 39. Hal ini juga bisa dilihat dari catatan Human Development Index (HDI) kita yang terus merosot dari peringkat 104 (1995), ke 109 (2000), 110 (2002), dan 112 (2003).
Berdasarkan statistik UNESCO pada 2012 indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Ini tentu data statistik yang sangat memprihatinkan dan kita berharap dapat melakukan sebuah lompatan dengan keluarnya Permendikbud 21/2015 tersebut.
Telpon dari Mas Anies Baswedan mungkin kurang dari 10 menit dan beliau yang lebih banyak bicara. Saya hanya menimpali sesekali. Beliau juga meminta saya untuk menulis di media mengenai upaya penumbuhan budaya literasi ini. Tapi saya pikir akan banyak orang lain yang akan menulis di media soal literasi ini. Saat ini saya sudah merasakan betapa geliat dan gairah budaya literasi sudah muncul di mana-mana. Saya bahkan sudah meramalkannya pada buku tahunan saya di 2014 dengan judul “The Rise of Literacy”. Lagipula saya memang sudah lama sekali tidak pernah tertarik untuk menulis di media. Saya seorang pegiat literasi di lapangan dan bukan di media. J
Surabaya, 22 Juli 2015
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com