Dear all,
Pagi ini sebuah artikel dg judul “Mendorong Guru Gemar Membaca” muncul di Jawa Pos. Artikel yg ditulis oleh A.S. Laksana ini menceritakan tentang seorang kepala sekolah yg sangat revolusioner dalam pembelajaran sastra di sekolahnya. Sekolahnya di SMA An-Nuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Ya siapa lagi kalau bukan Gus Mush kita di milis IGI ini. (Kok ya pas dengan diskusi kami dengan Tiwik dan Lies Amin di milis Keluarga Unesa soal PISA, reading literacy dan higher-order thinking skills pagi ini).
Gush Mush kita ini memang seorang guru yg luar biasa dedikatifnya pada profesinya.
Sekedar utk diketahui, Gus Mush Guluk-guluk ini (untuk membedakannya dg Gus Mushtafa Bisri, Rembang) memang melakukan upaya sungguh-sungguh utk meningkatkan kemampuan membaca siswanya dengan membuat buku kumpulan cerpen berisi karya para penulis yg ia seleksi utk kepentingan KBM di sekolahnya. Jadi ia mengumpulkan cerpen-cerpen penulis terbaik kemudian ia rangkum menjadi sebuah buku yg nantinya akan ia cetak utk dibagikan pd siswanya. Dengan menyeleksi cerpen- cerpen tsb ia ingin agar siswanya akan mengonsumsi karya yg memang benar-benar bergizi.
Tentu saja kita tidak akan tahu mana cerpen yg bergizi dan mana yg sampah kalau kita tidak banyak membaca dan memiliki kemampuan analisis yg mumpuni. Ia sengaja memilih cerpen karena ia sadar bahwa membaca novel itu tingkatan yg lebih tinggi sedangkan ia ingin agar siswanya tumbuh minatnya dulu. Dulu pernah ia tunjukkan pd saya buku rangkuman cerpen ini dan kepala saya langsung mengeluarkan percikan listrik. Ini kumpulan cerpen yg lama saya inginkan utk dibagikan dan dibaca para siswa. It’s a compilation of selected short stories yg tentunya terdiri atas cerpen-cerpen bermutu dari para penulis papan atas negeri kita.
Seketika itu saya minta Gus Mush utk mencetak banyak-banyak agar saya bisa minta utk saya bagikan ke sekolah-sekolah lain. Tapi katanya ia masih berupaya utk menghubungi dan minta ijin para penulis cerpen utk keperluan tsb. Ini memang urusan copy right dan copy left…. Gush Mush ini termasuk guru yg sangat menghargai hak cipta. Saya sendiri mungkin tidak seberapa perduli jika sudah menyangkut ‘cita-cita bangsa’ untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti ini. Maklumlah beliau ini kan lulusan Belanda dr beasiswa Erasmus Mundus sdgkan saya hanyalah seorang inlander yg ekstrimis.
Menurut AS Laksana, upaya Gus Mush ini akan dapat meningkatkan minat baca siswa kita secara nyata. Saya setuju.
AS Laksana selama ini jengkel pada sekolah yg mengajari anak-anak membaca tapi kemudian tidak merekomendasi buku apa saja yg seharusnya mereka baca. There’s no compulsory reading let alone recommended books to read!
Katanya kurikulum berkali-kali berubah tapi situasi tidak berubah. Perbukuan tidak maju-maju dan oplah buku mandeg di angka tiga ribuan (mosok masih di angka tiga ribuan? Tapi kalau buku saya dicetak dan laku seribu eks saja saya bakal bikin tumpengan). Jika sekolah diibaratkan kendaraan yg mengantarkan anak-anak kita ke masa depan maka dalam urusan membaca dan tulis menulis sekolah adalah bis mogok! Bayangkan kalau kita mengira bakal sampai di tanah idaman ternyata yg kita tumpangi adalah bisa mogok atau cuma jalan di tempat! Tapi memang itulah yg terjadi. Hasil nilai tes PISA tiga kali berturut-turut adalah bukti kilometer yg telah kita capai sebagai bangsa.
Saya sendiri sudah jengkel bertahun-tahun dan sudah menjadi ‘udhun’ yg tidak njebrot-jebrot. Sangat sulit utk menyadarkan siapa pun (guru, ortu, kasek, kadisdik) betapa perlunya kita sebuah upaya radikal utk mengubah situasi ini. Saya sampai bilang kalau kita tidak membaca maka kita ini belum muslim. Lha wong perintah pertama dan paling utama bagi umat Islam adalah : Baca. Tapi begitulah kita. Sambil mengucapkan ‘Kebersihan adalah Sebagian dari Iman’ kita tetap saja membuang kotoran lewat jendela mobil kita. Sambil membaca ayat-ayat tentang perintah membaca dalam sholat kita, tak satu pun buku yg kita baca dalam tiga bulan terakhir ini.
Saya sadar sekali bahwa harus ada kebijakan dan tindakan yang cukup radikal utk mengubah situasi ini dan semakin hari saya semakin yakin bahwa satu-satunya cara adalah dengan mengintervensi sekolah agar mau memasukkan kurikulum membaca yg intensif dan ekstensif dalam KBM mereka. Saya sudah bicara soal ‘Gerakan Indonesia Membaca’ dan ‘Gerakan Literasi Sekolah’ bahkan sebelum program Indonesia Mengajarnya Anies Baswedan muncul. Kami bahkan pernah membujuk Anies Baswedan utk menginisiasi ‘Gerakan Indonesia Membaca’ tapi nampaknya beliau lebih tertarik pada program Indonesia Mengajar.
Saya bahkan menawarkan diri saya secara gratis..tis… untuk jadi konsultan pada sekolah atau daerah yg ingin meningkatkan minat baca siswanya. Tapi sampai bertahun-tahun hanya segelintir sekolah yg mau membuat program gerakan literasi sekolah. Saya bahkan sudah bilang bahwa transportasi, akomodasi, konsumsi akan saya tanggung sendiri. Saya tahu betul betapa sekolah itu pelit untuk mengeluarkan dana untuk hal-hal yg dianggapnya tidak ada hubungannya langsung dg ‘bisnis’ mereka.
Apa sebenarnya ‘bisnis’ sekolah kita…?! Ya apalagi kalau bukan nilai UN…!
Jadi siapa yg peduli pada literasi, critical thinking, character building, pendidikan kebhinnekaan, dll wacana jika tidak ada hubungannya dg nilai UN…?!
Sekarang ini Pak Nuh sudah mulai risih dengan nilai PISA yg terus anjlog secara istiqamah tersebut. Dulu Kemdikbud tidak peduli dan tidak mengambil langkah-langkah apa pun utk memperbaiki rendahnya ketrampilan membaca siswa kita. Padahal sudah diingatkan oleh Taufik Ismail dengan kritik dan peringatannya dg tulisannya ‘Tragedi Nol Buku’ itu. Tapi Kemdikbud ‘njegideg’ karena sastra tidak masuk UN. Sekarang dengan Kurikulum 2013-nya juga tidak ada harapan. Kemdikbud masih ‘business as usual’ dengan urusan membaca ini. Padahal semua fakta buruknya kemampuan membaca siswa kita sudah terpampang di depan mata sejak dulu. Tapi Kemdikbud memang sudah kebal ora tedhas tapak paluning pande sejak dulu. Dipikirnya perubahan kecil-kecilan di sana-sini akan bisa memperbaiki keadaan. Sungguh bebal…!
Dibutuhkan kebijakan yg radikal utk mengubah ini. Dan kebijakan radikal itu sebenarnya sederhana saja kok, yaitu dengan memberi porsi jam membaca secara rutin setiap hari pada sisa dan memberi buku-buku bacaan bermutu pada SEMUA sekolah. Lupakan dulu evaluasi seperti UN itu. Mari kita kerjakan yg paling mendasar dulu tapi sesungguhnya merupakan kebijakan yg cukup radikal untuk situasi persekolahan kita saat ini. Memberi dan menyediakan buku-buku bermutu untuk dibaca siswa dan menyediakan slot waktu utk membaca minimal 30 menit sehari di sekolah-sekolah insya Allah akan membuat perubahan yg berarti. Buang semua itu LKS-LKS sampah yg membuat suasana belajar semu. Minta siswa utk membaca buku-buku bermutu dan ajak mereka utk mendiskusikan isinya secara kritis. Lakukan itu dengan konsisten dan penuh kesungguhan dan dapatkan buahnya yang manis nanti. Ini memang pekerjaan jangka panjang tapi justru karena itulah pekerjaan ini harus sudah dimulai bertahun-tahun yg lalu.
Ini juga sebab mengapa saya selalu sinis dan pesimis pada Kurikulum 2013 digadang-gadang sebagai ‘the ultimate curriculum’ itu. Menurutku kurikulum ini nothing but a waste jika tidak diikuti oleh program literasi yg radikal dan progresif seperti yg saya sampaikan.
Surabaya, 29 Desember 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com