
Saya sering bingung kalau ketemu teman lama tidak pernah bertemu atau kenalan baru dan ditanya pekerjaaan. Kalau saya jawab secara jujur, berterus terang, dan blaka suta bahwa saya sudah pensiun selalu ditanya, “Umur berapa sih kok sdh pensiun? Kan kita seusia…?!” Soalnya dia belum pensiun dan masih lumayan panjang waktu pensiunnya. Atau “Lho…! Usia berapa kok sudah pensiun…?!” Waks…! Arek iki tanya-tanya usia, rek! Kalau kujawab ‘tiga puluh punjul’ bisa jadi panjang urusannya.
Selama ini saya memang agak kikuk kalau ditanya pekerjaan. Soalnya, beberapa tahun belakangan ini saya memang tidak punya pekerjaan tetap. Saya menjadi ronin, samurai tak bertuan, selama beberapa tahun belakangan ini. Seingat saya pekerjaan tetap terakhir saya adalah sebagai Ketua Stikom Balikpapan. Itu pun saya ‘sambi’ sebagai konsultan di Sampoerna Foundation. Begitu tugas sebagai konsultan di SF selesai tak lama kemudian tugas di Stikom Balikpapan juga selesai. Dan saya pun menjadi ronin.
Apa yg dikerjakan oleh ronin? Ya menggelandanglah…! Hehehe…! Ronin kan tidak punya tuan lagi. Jadi ia bebas mau melakukan apa saja dan mau kemana saja.
Alhamdulillah…! Sekarang saya memasuki usia pensiun, 56 tahun. Dengan demikian saya bisa menjawab pertanyaan tentang pekerjaan (dan hubungannya dengan usia) dengan lebih percaya diri. “Sekarang sudah pensiun. Usia saya sekarang sudah 56 tahun. Pas toh…?!”
Tapi yg repot kalau kemudian ditanya lebih lanjut, “Dulunya dinas di mana?”.
Dinas di mana ya aku dulu…?! (Rasanya soal berdinas itu sudah lama sekali berlalu. Sampek lali aku…)
Ini juga jenis pertanyaan yg tidak mudah kujawab. Sebagian besar hidup saya adalah mengajar. Tapi ‘dinas di mana’ itu merujuk pada tempat kerja. Dan tempat saya ‘berdinas’ itu ada di banyak tempat. Saya kesulitan utk memilih salah satu di antaranya.
Paling enak itu memang kalau selama hidup cuma bekerja di salah satu lembaga atau instansi. Umpamanya departemen perhubungan, DLLAJR, pemda, Pertamina, Unesa, dlsb. Jadi kalau ditanya di mana bekerja bisa langsung dijawab dengan mantap. Tidak ada keraguan. Tapi tentu sulit kita jawab jika kita bekerja berpindah-pindah.
Bisa saja sih saya menjawab, “PT Badak LNG Bontang” dimana saya pernah bekerja. Tapi saya cuma bekerja disitu selama 6 tahun. Lagipula saya lebih suka bilang ‘mengajar di Bontang International School’ untuk merujuk pada masa berdinas saya selama di sana. Kalau bilang di “PT Badak LNG Bontang” rasanya seperti karyawan pabrik, sedangkan kalau ‘mengajar di Bontang International School’ rasanya kok lebih intelek gitu. Bagaimana pun, bagiku, jadi guru itu lebih intelek, lebih classy, lebih wow, ketimbang jadi karyawan biasa di perusahaan top sekali pun. Hehehe…!
Selain ‘mengajar di Bontang International School’ saya juga pernah menjadi guru PNS selama 12 tahun sebelumnya. Dan itu berarti jangka waktunya dua kali lipat daripada mengajar di Bontang sehingga lebih berhak untuk disebut. Tapi ‘dinas di mana’ yg patut saya sebut selama jadi PNS itu lha wong saya kerja pindah-pindah? Saya pernah dinas di SMP Caruban, SMPN 2 SBY, SMAN 12 Sby, pindah lagi ke SMAN 13 Sby, lalu di’non-job’kan di Kandepdikbudcam Rungkut, dan akhirnya hengkang dari PNS. Jadi sulit bagi saya utk menjawab pertanyaan ‘dulu dinas di mana’ tersebut.
Apalagi setelah keluar dari Bontang saya bekerja di yayasan yg saya dirikan bersama keluarga. Untuk yang ini saya lebih sulit utk menyebutnya sebagai ‘dinas di mana’. Bagi saya frase ‘dinas di mana’ lebih bernuansa ‘ngawula’ pada orang, lembaga, atau pemerintah. Sedangkan di Yayasan Airlangga saya lebih sebagai bos atau pemilik lembaganya.
Coba bayangkan kalau Anda bekerja di resto dimana Anda adalah pemiliknya dan kemudian ditanya ‘dinas di mana?’. Tentu pertanyaan ‘dinas di mana’ tersebut akan memerlukan sedikit klarifikasi agar lebih sesuai. Biasanya kita akan menjawab, “Nggak dinas di mana-mana kok… Saya buka resto kecil-kecilan.”. Soalnya kita tentu tidak merasa berdinas di resto, percetakan, foto kopi, cuci mobil, dll usaha yg kita buka sendiri kan…?! Mosok kita akan menjawab, “Saya berdinas di warung kopi yg kubuka sejak lima tahun yg lalu.” Tentulah akan wagu terdengarnya.
Jadi itulah sebabnya saya sering gagap kalau ditanya dengan jenis pertanyaan ‘dinas di mana’ tersebut. Bagi saya akan lebih mudah jika ditanya, “Berapa jumlah bahan bakar yg dibutuhkan oleh pesawat jet tempur MIG 21 untuk mengelilingi bumi dua kali tanpa perlu mengisi ulang?” Atau “Apa akar permasalahan konflik Syiah dan Sunni di berbagai daerah dan apa hubungannya dengan pertikaian antara Jupe dan Depe?” Dengan mudah saya jawab, “Tidak tahu. Awakmu ojok nggladrah lho yo..!”
Kadang-kadang timbul keisengan di kepalaku untuk menjawab bahwa aku dulu dinas di medan pertempuran. It sounds heroic gitu loh…! Tentu reaksi si penanya akan heboh dan minimal matanya akan mendelik. ‘Waks…! Aku berhadapan dengan seorang pahlawan perang…?!’ demikian pasti pikirnya. Pasti sikapnya akan berubah menjadi lebih hormat padaku. Tapi pasti aku akan ketahuan kalau berbohong. Lha wong ekspresiku pasti akan cengengesan. Apalagi kalau kujawab dinas di FBI. “Haaah…?! Federal Bureau of Investigation…?!” Bukan…. maksudku sih Fengajar Bahasa Indonesia. Santai aja, Bro…!
Kalau kujawab aku dulu guru selalu ditanya balik, “Bukannya guru itu pensiun umur 60…?! Mosok kamu sudah berumur 60?”
Jadi aku ngeles lagi, “Kan aku guru swasta. Bukan PNS.”
“Lha kalau guru swasta emangnya pensiun umur berapa?”
“Ya suka-sukalah…!” jawabku mulai jengkel, “Kan swasta…!”.
Kalau sudah begitu biasanya percakapan tentang pekerjaan akan terhenti. Tapi rasanya memang ada yg mengganjal dan suspicious.
Jadi bagaimana ya enaknya menjawab pertanyaan sulit seperti, “Dinas di mana…?!”
Di medan pertempuran…?!
Dinas Rahasia…?!
Dinasti Atut Chosiyah…?!
Jakarta 23 Desember 2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com