“Apa iman itu menurutmu?”, seorang teman tiba-tiba bertanya pada saya.
“Iman itu apa yang ada di hati, diucapkan oleh mulut, dan yang dinyatakan dalam perbuatan.” Jawab saya. Setidaknya itu yang saya baca dan pelajari selama ini.
“Betul! Itu adalah sebuah kesatuan dan semua harus selaras,” jawabnya sambil tersenyum. ” Jadi meski pun kamu berbusa-busa mengucapkan sesuatu di mulutmu tapi jika itu tidak tercermin dalam perbuatanmu maka itu bukanlah iman.”
“Maksudmu?” saya bertanya penasaran.
“Apakah kamu mengimani Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang?” tanyanya. Saya rasa ia sedang menggoda saya.
“Tentu saja. Apa maksudmu?” Saya semakin penasaran.
“Jika kamu mengimani Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan kamu sebutkan itu di mulutmu setiap kali engkau melakukan sesuatu maka seharusnya sifat pengasih dan penyayang itu muncul dalam perbuatanmu.” Demikian tandasnya.
Betul juga…! Saya berpikir. Semestinya kita yang mengaku beriman pada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menunjukkan kasih dan sayang itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi tampaknya saat ini kita justru seringkali melakukan hal-hal yang sebaliknya. Kita justru lebih sering menunjukkan kemarahan, kebencian, dan permusuhan kita pada orang-orang di sekitar kita. Kita marah, benci, dan menunjukkan permusuhan kita yang hebat pada orang yang kita anggap kafir, munafik, atau berpihak pada kelompok yang berseberangan dengan kita. Kita bahkan menolak untuk menyolatkan jenazah sesama muslim yang berseberangan pandangan politik dengan kita. Dan kita menganggap itu sebagai ungkapan dari keimanan kita. Lalu apa dan siapa sebenarnya yang kita imani dalam hidup ini? Saya bertanya dalam hati.
“Kasih dan sayang itu seharusnya menjadi sikap dan perbuatan kita sehari-hari dan bukan sekadar ucapan kosong yang kita sampaikan dalam sholat kita.” demikian lanjutnya
“Pernah dengar hadist ini?” tanyanya, “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” Kejahatan di sini maksudnya culas, khianat, dhalim dan dengki. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Hadits ini adalah dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan adalah jika tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah.”
Saya terhenyak dan tidak mampu berkata-kata. Jadi jangankan dalam perbuatan, dalam sifat pun kita dilarang. Saya membayangkan betapa pilu dan sedih tetangga yang kuancam untuk tidak kusholatkan jika ia memilih orang yang kubenci.
“Apakah kamu pernah mendengar hadist yang menyatakan bahwa meski pun seseorang itu sering sholat malam dan berpuasa namun jika lisannya selalu menyakiti tetangganya maka tidak ada kebaikan padanya dan ia masuk neraka?” tanyanya lagi. Saya mengangguk tak mampu berkata.
“Bayangkan betapa sia-sianya sholat malam dan puasa yang kita lakukan jika lisan kita justru menyakiti tetangga. Itu baru lisan apalagi jika dalam bentuk perbuatan.” Ia tersenyum, menepuk pundak saya, mengucapkan salam dan pergi meninggalkan saya yang tidak mampu berkata-kata.
Surabaya, 7 Oktober 2019
Jika kita dan banyak orang melakukan seperti tulisan ini, maka hidup yang damai bersama tetangga akan terwujud, bahkan dengan seisi alam raya ini