Saat saya berolahraga jalan kaki pagi di kompleks- kompleks perumahan saya sering melihat rumah-rumah yang tidak berpenghuni. Rumah-rumah itu kadang sudah tertutup oleh pepohonan yang sampai merambah ke jalanan karena lamanya ditinggalkan dan tidak pernah didatangi oleh pemiliknya. Saya sering berpikir alangkah sayangnya rumah yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Rumah yang tidak ditinggali pemiliknya dan tidak juga disewakan atau dijual jelas tidak terawat dan akan rusak begitu saja. Siapakah kiranya pemiliknya…?! Tidakkah mereka sayang dengan asset mereka yang mahal tapi kemudian tidak berguna itu?
Rumah-rumah kosong tersebut jelas mubazir. Padahal begitu banyak orang yang tidak punya rumah tapi ini ada rumah bagus yang dibiarkan begitu saja sampai rusak. Saya lalu ingat bahwa kami juga pernah meninggalkan rumah pertama kami di Balikpapan tanpa ada yang menempati. Kami sendiri sudah punya rumah lain yang lebih bagus dan berada di daerah yang lebih nyaman.
Rumah pertama itu saya beli pada tahun 1996 ketika saya keluar dari PT Badak NGL Co, perusahaan tempat saya bekerja di Bontang. Saya ada tabungan sedikit ketika keluar dari Bontang dan mencari rumah seadanya untuk kami tinggali di Balikpapan. Alhamdulillah ketemu sebuah rumah kayu di kampung Gunung Sari di tanah 120 m yang dijual sangat murah. Seingat saya harga rumah tersebut hanya 11 juta di tahun 1996. Meski demikian tabungan saya tidak cukup dan sebagian masih harus pinjam pada Yayasan kami. Rumah tersebut sangat memprihatinkan kondisinya karena hanya dari papan dan atapnya seng. Untuk masuk ke rumah kami harus turun tangga yang terbuat dari kayu juga.
Seorang teman dari PT Badak yang datang ke rumah kami saat itu sangat sedih melihat kami tinggal di situ. Sebelumnya kami tinggal di perumahan perusahaan yang sangat layak dan penuh fasilitas. Ia tidak habis pikir mengapa kami meninggalkan kehidupan yang begitu nyaman di Bontang untuk tinggal di tempat yang kumuh tersebut.
Tapi kami tidak lama tinggal di situ. Saya dan adik saya kemudian membangun rumah di terusan Jalan Pupuk dan kami beri nama Jalan Pupuk Baru. Kami orang pertama yang tinggal di jalan tersebut, Bahkan jalannya juga kami yang membuatnya. Kemudian menyusul saudara-saudara kami yang lain membangun rumah dan tinggal di situ. Jadi jalan Pupuk Baru itu seperti perumahan keluarga saja laiknya dulu. Sekarang sudah banyak rumah-rumah baru dan megah. Universitas Balikpapan (UNIBA) juga sudah dibangun megah di situ.
Rumah pertama kami di jalan Gunung Sari dulunya selalu ditinggali oleh teman atau karyawan Yayasan. Tapi ketika mereka berkeluarga dan beli rumah sendiri rumah kami itu pun ditinggalkan. Dan hal itu selalu mengganggu pikiran kami. Bagi saya rumah yang tidak digunakan adalah suatu kemubaziran yang tidak boleh terjadi. Kalau tidak ditempati ya jual atau kontrakkan saja.
Berkali-kali kami memasang tulisan “DIJUAL” di rumah tersebut tapi spanduknya selalu hilang setiap kali kami datang ke sana. Entah siapa yang usil mengambil tulisan tersebut. Lagipula kami tidak bisa sering-sering datang ke Balikpapan kalau tidak ada urusan.
Suatu ketika tetangga sebelah rumah kami itu menelpon dan bertanya apakah rumah kosong tersebut boleh mereka kontrak. Tentu saja dengan gembira kami jawab, “Ya…!” Sungguh kebetulan kalau ada yang mau tinggal di rumah tersebut.
Ketika mereka tanya berapa biaya kontraknya istri saya lalu bertanya balik, “Kamu mampunya berapa?” Ternyata yang mau menempati adalah anak tetangga kami yang sudah menikah dan ingin tinggal di rumah sendiri bersama istrinya. Dan melihat rumah kami yang kosong maka terbitlah liurnya… eh! Ini kan kalimat dalam bacaan saya SD dulu. 😁 Pasangan muda ini baru saja menempuh biduk perkawinan dan tampaknya mereka benar-benar mulai dari nol. Dengan ragu-ragu mereka menjawab, “Kami hanya bisa menyewa Rp. 500 ribu sebulan.” Dan langsung disambar oleh istri saya, “OK. Kapan kalian mau tempati rumah tersebut?’ Mereka tentu saja senang. Kami juga senang. Kami senang bahwa pada akhirnya rumah kami tidak menjadi rumah hantu dan lega bahwa rumah kami bermanfaat bagi orang lain.
Surabaya, 27 Februari 2024
Satria Dharma