Seorang teman mengirimkan berita tentang petisi yang disampaikan oleh civitas akademika UGM dan UII dan minta komentar saya. Saya ketawa saja.
“Lho kok malah ketawa? What’s funny about it?”
“Saya tidak percaya pada mereka. Saya lebih percaya pada Jokowi,” jawab saya kalem.
“Lho kok bisa…?!”
“Coba pikir baik-baik, bro. Apakah kamu yakin bahwa Jokowi melakukan semua yang ia lakukan selama ini, semua yang dituduhkan padanya, itu untuk kepentingan keluarganya? Menurutmu beliau melakukan semua ini untuk kepentingan pribadi dan keluarganya atau untuk kepentingan bangsa dan negaranya? Selama ini kita tahu bahwa bahkan Jokowi tidak mau membela anaknya Kahiyang Ayu yang tidak lulus seleksi CPNS. Beliau juga tidak berusaha mencarikan pekerjaan lain untuknya. Dua anak laki-lakinya juga mengikuti jalan hidupnya sendiri selama ini dan jika kemudian mereka masuk politik itu juga bukan karena rekomendasi bapaknya. Jokowi itu tidak perlu melakukan apa pun untuk anak-anaknya karena anak-anaknya sudah cemerlang dan terbuka lebar jalan kesuksesannya. Jadi apa mungkin Jokowi merasa perlu lagi mendongkrak karir politik Gibran demi kepentingan diri dan keluarganya? Saya percaya ada sesuatu yang lebih besar dan sangat penting yang ada di benak Jokowi sehingga ia bersikap seperti ini. Dan saya percaya bahwa ia melakukan itu demi bangsa dan negara. Saya sama sekali tidak percaya bahwa itu ia lakukan demi anaknya.”
“Tapi naiknya Gibran menjadi cawapres kan merupakan pelanggaran etika dan moral. Itu politik dinasti.” Sergah teman saya tersebut.
“Ada yang bilang begitu dan ada juga yang membelanya. Jimly Asshiddiqy juga menyatakan bahwa semua partai melakukan politik dinasti. Pondok pesantren juga politik dinasti. Di kepolisian, di TNI, di berbagai departemen, semua pimpinan ingin agar anaknya juga masuk ke tempatnya. Itu semua kolusi dan nepotisme.”
“ Jangan sembarangan, Cak. Mereka yang menyuarakan petisi ini adalah para profesor yang sangat disegani dan terkenal lurus.’
“ Saya tidak meragukan integritas mereka tapi saya tetap lebih percaya pada Jokowi ketimbang mereka.”
“Apa alasannya?”
“Coba pikir ya… Sehebat-hebatnya mereka itu, mereka itu masih jauh kapasitas dan kiprahnya pada bangsa ini dibandingkan jokowi. Mereka boleh hebat sebagai dosen dan professor tapi kiprahnya kan terbatas di kampus mereka masing-masing. Mereka kan hanya sebatas pemikiran saja dan itu pun hanya sebatas keilmuan mereka saja. Lha Jokowi kan bukan hanya memikirkan tapi sudah melakukan begitu banyak hal bagi bangsa dan negara ini selama sembilan tahun lebih memerintah dari Sabang sampai Merauke. Begitu banyak kemajuan yang telah dicapai bangsa dan negara ini selama di bawah kepemerintahan Jokowi. Apakah mereka yang mengritik Jokowi itu merasa dirinya lebih patriotis dan lebih berjasa pada bangsa dan negara ketimbang Jokowi? Apakah para professor itu merasa telah melakukan jauh lebih banyak bagi bangsa dan negara ketimbang Jokowi?
“Tapi mereka kan ingin menyampaikan pesan kepada Jokowi agar jokowi memperbaiki diri dan bukan semakin ugal-ugalan.” bantahnya.
“Apakah para profesor itu sudah begitu putus asa untuk berkomunikasi dengan Jokowi yang merupakan alumninya sendiri sehingga memilih cara yang konfrontatif seperti itu? Seandainya saya kenal dengan para professor itu saya mungkin akan meminta mereka mempertimbangkan kembali sikap mereka. Saya akan minta mereka untuk minta waktu untuk mendatangi Jokowi ke istana atau mengundang Jokowi ke kampus dan menyampaikan keprihatinan mereka secara tertutup dan bukan dengan cara demonstratif seperti itu. Menurut saya dengan cara demonstratif seperti itu sebenarnya mereka melakukan itu demi untuk kepentingan diri mereka sendiri dan kelompok mereka. Saya sungguh meragukan bahwa mereka melakukan itu untuk kepentingan bangsa dan negara. 😎
Yo sepurane Cak nek aku rodok gak percoyo. Saiki akeh garangan ngaku kelinci. Ngono yo ngono ning ojo ngono.” 😁
Surabaya, 2 Februari 2024
Satria Dharma