
“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya ” (HR Bukhari).
Masalahnya adalah bahwa kebanyakan ustad dan ulama kita menganggap dirinya adalah ahli segala persoalan dunia dan akhirat. Jadi mereka itu berani berfatwa apa saja lintas keilmuan mereka. Lha wong mereka itu belajar soal fiqih, tauhid, akidah, nahi, shorof, dakwah, tafsir, dan segala ilmu agama tapi di depan jamaahnya mereka dengan sangat percaya diri ngomong soal vaksin, perbankan, transportasi, kesehatan, politik, Israel, illuminati, hankam, asuransi, China menjajah negara lain, dlsb. Pokoknya kalau sudah di depan mimbar mereka langsung jadi Mister Know Everything alias Master Palugada (apa lu mau gua ada).
Dan celakanya kok ya jamaahnya itu percaya aja bahwa ustad dan ulamanya itu memang mister expert in everything karena telah mendapat pencerahan langsung dari Tuhan….
Yang lebih celaka delapan belas adalah bahwa banyak orang dengan gelar doktor dan professor yang mau saja mendengarkan para ustad yang ndobos segala macam seperti ini dan mereka percaya saja…. 🥺
Berkali-kali saya harus mengingatkan beberapa doktor dan professor bahwa apa yang disampaikan para ustad ndobos itu tidak benar karena tidak logis, tidak memiliki dasar ilmiah, berdasarkan fakta yang keliru, asal bunyi, dan tendensius.
Coba pikir…
Seandainya ada ustad jurusan dakwah bicara soal asuransi, apakah Anda akan mengikuti pandangannya? Apakah Anda akan menganggapnya layak dan ahli dalam masalah asuransi?
Atau seandainya Anda adalah sarjana Islam lulusan dakwah, apakah Anda merasa layak, berhak, dan ahli bicara tentang asuransi, perbankan, ekonomi moneter, hukum internasional, utang negara, konstruksi bangunan, tsunami, dll?
Coba baca lagi hadist di atas dan resapkan pelan-pelan.
Lalu bagaimana semestinya orang yang ahli dalam memecahkan masalah? Mari saya beri contoh.
Pada tahun 1744 sekelompok ulama melihat masalah ini pada komunitas mereka. Jika ada ulama yang meninggal maka ia akan meninggalkan janda dan anak-anak yatim yang akan menderita karena ditinggalkan oleh kepala keluarga yang menjadi penopang hidup mereka. Meski pun mereka adalah kelompok umat beriman belaka tapi mereka menganggap ini sebagai masalah yang harus dijawab oleh komunitas mereka. Mereka harus mencari cara agar janda dan yatim yang ditinggalkan akan mendapatkan santunan secara rutin sehingga mereka akan bisa melanjutkan hidup mereka tanpa terlunta-lunta.
Apa yang mereka lakukan? Apakah mereka berdoa kepada Tuhan agar Tuhan yang memberi jawaban atas masalah ini? Mereka serahkan masalah ini pada Allah? Apakah mereka mencari-cari jawaban dalam Kitab Suci mereka atau bertanya pada ulama-ulama fiqih? Tidak.
Mereka ingin menemukan solusi dari permasalahan tersebut dengan tepat dan tidak ingin melemparkannya agar masalah ini diambil alih oleh Tuhan.
Mereka lalu mendirikan lembaga yang akan menyediakan pensiun bagi para janda dan yatim. Untuk itu mereka berharap agar setiap kepala keluarga ini menabung sedikit dari penghasilan mereka yang nantinya akan diinvestasikan oleh lembaga ini. Jika kepala keluarga meninggal, jandanya akan mendapat deviden dari keuntungan lembaga yang akan memungkinkan janda tersebut hidup nyaman sampai akhir hayat.Untuk itu mereka harus tahu perhitungannya dengan tepat dan itu memang tidak ada di Kitab Suci.
Jadi mereka tidak menghubungi Majelis Ulama Komunitas mereka untuk membantu mendapatkan solusi ini. Mereka sadar bahwa masalah ini harus dipecahkan oleh ulama yang tepat, ulama khos yang memiliki pengetahuan yang tinggi untuk memberi jawaban dari masalah duniawi ini. Mereka menghubungi seorang ulama, yang artinya orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, yaitu seorang professor matematika dari University of Edinburgh dan mendiskusikan masalahnya.
Dengan bantuan professor matematika mereka akhirnya bisa mendapatkan perhitungan berapa banyak anggota
komunitas mereka yang akan meninggal setiap tahun dan pada usia berapa, berapa yang akan meninggalkan janda dan anak-anak, berapa lama kemungkinan janda tersebut akan meninggal atau menikah lagi, berapa banyak uang yang harus mereka berikan pada para janda, berapa banyak uang yang harus ditabung oleh kepala keluarga setiap bulan, dlsbnya. Kalkulasi yang mereka dapatkan dari ulama khos professor matematika itu begitu akuratnya sehingga perhitungan mereka 20 tahun kemudian modal yang mereka kumpulkan hanya selisih 1 poundsterling dari prediksi! Inilah kehebatan manusia dalam bidang statistika dan probabilitas dengan salah satunya Hukum Angka Besar Jacob Bernouli.
Itulah yang dilakukan oleh komunitas pendeta Presbyterian di Scotlandia, yang digagas oleh dua orang pendeta, Alexander Webster dan Robert Wallace, pada tahun 1744. Apa yang mereka gagas ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya lembaga asuransi jiwa. Kini lembaga dana Webster dan Wallace, yang dikenal dengan sebutan Scottish Widows dan berdiri pada tahun 1815 merupakan salah satu perusahaan pensiun dan asuransi terbesar di dunia. Lembaga asuransi yang berkantor pusat di Edinburgh, Inggris, dengan asset sebesar 100 miliar poundsterling ini sekarang memiliki lebih dari dari 3.500 karyawan yang siap membantu siapa saja yang butuh solusi masalah asuransi dan bukan hanya untuk para janda Skotlandia.
Solusi untuk masalah janda dan anak yatim yang ditinggalkan oleh suaminya yang pendeta telah berhasil dipecahkan oleh Pendeta Webster dan Wallace. Solusi ini menjadi solusi dunia saat ini.
Saat ini itu para ilmuwan di seluruh dunia telah bekerjasama untuk memecahkan berbagai masalah dunia baik itu masalah kelaparan, kebodohan, penindasan, menjadikan padang pasir sebagai persawahan subur, memanfaatkan solar cell untuk kebutuhan listrik, menemukan obat-obatan bagi berbagai penyakit, makanan yang bergizi tinggi bagi semua orang, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, membangun komunitas yang saling menghargai, toleran dan tolong menolong, memberikan jaminan kesehatan bagi kaum miskin dengan BPJS, dll.
Mereka melakukan FASTABIKHUL KHAIRAT, berlomba-lomba dalam kebaikan, sebuah istilah yang dengan bangga selalu kita kunyah-kunyah dan ludahkan setelah puas menikmatinya di mulut. Mereka menciptakan sistem yang terus menerus mereka perbaiki dan tidak sekedar mengecam atau menolak dengan mengharamkan nya atau menganggapnya zalim
Semoga para ulama Islam di seluruh dunia berupaya untuk bekerjasama dan memanfaatkan kepandaian para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dalam menjawab permasalahan-permasalahan umat. Mosok menentukan hari lebaran bersama saja tidak bisa.
NB: Kisah tentang Webster dan Wallace bisa dibaca di buku “Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya” karya Yuval Noah Harari.
Bandung, 13 Mei 2023
Satria Dharma