Seorang teman mengirimkan lagunya Doris Day ini di WAG dan saya tiba-tiba merasa dejavu. It was me asking the question when I was young.
Sama seperti lirik lagu ini saya juga pernah sangat mencemaskan bagaimana hidup saya. Will I be rich? Can I be successful in my life? Can I have a perfect woman as my wife? Can I provide my family a home?
Hidup dengan sepuluh saudara yang masih kecil-kecil dengan masa depan yang tidak jelas membuat saya gelisah akan masa depan. Piye iki uripku mbesok? Saya jelas tidak ingin kehidupan di masa depan saya seperti ini. Harus lebih baiklah… Jadi saya pun menetapkan standar kehidupan yang harus saya miliki sebelum menikah. Saya harus punya rumah sendiri atau minimal bisa kontrak sendiri. Tidak mungkin saya tinggal uyel-uyelan dengan sepuluh saudara saya di Darmokali. Malulah, bro…! Saya harus tinggal di rumah sendiri atau punya fasilitas rumah dari perusahaan tempat saya bekerja. Dan saya merasa berat untuk memenuhi standar tsb. (Padahal saya sudah guru PNS golongan II/b saat itu. Tapi gaji guru PNS golongan melata zaman Soeharto sungguh sesuai dengan lagunya Doris Day) Saya tidak berani ambil komitmen untuk berkeluarga sebelum saya merasa yakin bahwa saya akan bisa mencapai standar tersebut. Saya menuntut diri saya terlalu tinggi sehingga menjadi gamang menghadapi hidup. Kecemasan dan standar yang saya pasang sendiri ini akhirnya membuat saya terlambat menikah. Saya ngeri untuk berkeluarga sehingga terus menjomblo pada usia di mana teman-teman saya sudah mengantar anaknya ke sekolah. Itu sebabnya ketika teman-teman sekolah saya pada pamer cucu di WAG saya masih pamer runtang-runtung berdua sama istri. Lha putune sopo sing apene tak pamerno lha wong anak sulung saya saja baru menikah?
Saya lupa atau mungkin tidak yakin bahwa hidup ini bukanlah hidup kita. Kita hanya dipinjami hidup ini dan ada Tuhan yang Maha Kaya, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang akan mengatur bagaimana kita akan hidup nantinya. Kita hanya tinggal menjalaninya saja dan serahkan urusan bagaimana bisa punya rumah, punya kendaraan, punya pekerjaan, punya penghasilan, dll pada Sang Pemilik Kehidupan.
Bertahun-tahun saya harus meyakinkan diri saya soal ini. Sampai saya sadar bahwa bahkan saya tidak mampu mengontrol detak jantung saya sendiri, apatah lagi soal kehidupan di masa depan yang penuh misteri. Itu sepenuhnya hak Tuhan untuk mengaturnya. Saya mah tinggal menjalani saja hidup yang dipinjamkanNya pada saya. Bisa kaya atau miskin, bekerja di tempat yang nyaman atau sulit, punya rumah sendiri atau tidak, punya anak dan istri yang menyenangkan atau tidak, dlsb sepenuhnya menjadi hak dan ketentuan Tuhan. Setelah meyakininya barulah hidup itu terasa mudah. Saya seolah berselancar saja di atas ombak-ombak kehidupan dan kalau saya jatuh saya tinggal bangkit lagi dan naiki papan seluncur saya untuk mulai lagi. Ternyata dunia memang permainan dan senda gurau belaka. Tak perlu terlalu kuatir terhadap apa yang akan kita hadapi di dunia ini. Ada yang lebih perlu kita cemaskan, yaitu kehidupan lain setelah ini. We should worry more on it. (gak usah tausiyah segala opo’o, bro).
Dua tahun yang lalu saya berkesempatan ngobrol soal masa depan dengan anak sulung saya. Saya kaget bahwa ternyata dia juga punya banyak kecemasan dalam hidup ini. He worries too much as I did. Dia mencemaskan anak-anak generasinya yang katanya bakalan kesulitan menghadapi hidup ini karena menurutnya kehidupan semakin lama semakin sulit. Menurutnya anak anak di zamannya akan sangat sulit untuk bisa punya rumah sendiri, berpenghasilan memadai untuk hidup, sukses dalam karir, dlsb. Life is much harder now than before.
Kacang gak ninggal lanjaran, pikir saya…
Surabaya, 7 September 2021
Satria Dharma
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com/