“Untuk Gerakan Literasi Sekolah kami di Bireuen sebenarnya sudah mengikuti langkah kota Surabaya. Untuk mendapatkan tambahan buku bacaan bagi siswa, kami meminta para orang tua menyumbang buku bacaan satu buku setiap semester. Alhamdulilah para orang tua tidak keberatan dan mereka semua bersedia menyumbang. Tapi setelah kami lihat ternyata buku-buku yang mereka sumbangkan adalah buku-buku seadanya yang menurut kami tidak layak untuk menjadi buku bacaan siswa. Sangat banyak kami terima komik “Surga dan Neraka” yang bukan saja kontennya menurut kami mengerikan tapi gambar-gambarnya juga porno. Akhirnya komik-komik tersebut kami kumpulkan dan kami bakar…!”
Demikian keluhan dari Pak Rizki Juli seorang kepala sekolah SDIT Muhammadiyah di Kab. Bireuen. Semua yang hadir pada pertemuan antara rombongan Kadisdik Kab. Bireuen dengan tim dari Perpustakaan Kota Surabaya di Balai Pemuda tertawa. Saya juga tertawa dan kemudian tenggelam dalam kesedihan. Terus terang ini membangkitkan kemarahan lama saya pada pemerintah…
Rupanya masalah kelangkaan buku di daerah benar-benar merupakan masalah besar dalam upaya untuk menumbuhkan budaya baca siswa di daerah-daerah. Tidak ada toko buku di Bireuen. Yang ada toko fotokopi yang merangkap jualan buku, kata Rizki Juli. Jadi ketika para orang tua diminta untuk membelikan buku bacaan bagi anak-anak mereka maka komik “Sorga dan Neraka” yang mereka dapatkan dan berikan ke sekolah. Jika di Kabupaten Bireuen saja kita kesulitan untuk mendapatkan buku-buku yang layak untuk menjadi nutrisi otak anak-anak kita maka bayangkan kesulitannya di daerah-daerah yang lebih terpencil lagi…!
Tentu saja kita semua tahu bahwa masalah kelangkaan buku di daerah adalah masalah besar dalam upaya untuk membangun budaya baca bangsa. Tapi itu masalah yang tidak pernah kita anggap sebagai masalah. At least it’s not our problem. It’s somebody else’s problem. Jangankan urusan kelangkaan buku sedangkan urusan rendahnya budaya baca bangsa yang sudah begitu kronis saja kita tidak pernah BENAR-BENAR PEDULI…!
Jika bangsa kita tidak membaca siapa yang bersalah…?! Tentu saja pemerintah. Pemerintah (atau sebaiknya saya tunjuk hidung saja : Kemendikbud) selama ini benar-benar tidak peduli pada buku apa yang AKAN DIBACA oleh siswa kita di seluruh nusantara. Selama ini saya perhatikan Ujian Nasionallah yang menjadi perhatian utama mereka. Begitu banyak dana dan energi dicurahkan untuk mensukseskan Ujian Nasional sedangkan buku bacaan apa yang kira-kira layak dijadikan santapan bacaan dan menjadi nutrisi jiwa mereka terabaikan. Masalah buku samasekali tidak seksi sedangkan UNAS adalah our sexiest idol. We’ll do anything for this idol. Saya yakin karena para pejabat Kemendikbud tinggal di kota besar dan mereka punya akses pada buku-buku bagus bagi anak-anak mereka maka mereka tidak pernah melihat kelangkaan buku di daerah sebagai masalah. It’s not our problem. It’s somebody else’s problem.
Saya seringkali dapat kiriman permohonan buku bacaan bagi siswa dari para guru yang merasa terpanggil untuk menjadikan anak-anak mereka berbudaya membaca. Dan mereka tinggal di daerah-daerah yang cukup terpencil yang dalam radius seratus kilometer tidak ada perpustakaan mau pun toko buku. Permintaan mereka sangat mengharukan. Dan mereka MINTA PADA SAYA…! (mungkin mereka mengira saya adalah Mendikbud, Ketua DPRD, atau minimal Kadisdik). Saya selalu merasa sedih setiap kali menghadapi seperti ini. Saya merasa bersalah tapi tidak berdaya. Ingin rasanya saya berteriak, “
“ITU BUKAN URUSAN SAYA…. ITU URUSAN PEMERINTAH…!”
Surabaya, 8 Maret 2016
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com