Apakah Anda pernah meragukan keberadaan Tuhan? Atau Anda malah tidak pernah merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup Anda? Padahal KTP Anda tertulis beragama Islam dan sejak lahir sudah diajari tentang Allah dan RasulNya. Anda gelisah karena itu…?!
Biasa aja kalee….
Sesungguhnya mengimani adanya Tuhan itu bukan sebuah keniscayaan. Bahkan Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa lebih banyak orang yang tidak beriman ketimbang yang beriman. (Yusuf 12:106). Tuhan memang tidak memberi hidayah keimanan pada semua mahluknya yang bernama manusia ini. ‘Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki’ (Ibrahim 14:4). Jadi ya memang karep-karepnya Tuhan siapa yang mau ia beri hidayah. Para nabi aja diwanti-wantti agar tidak memaksakan risalahnya. Sampaikan saja ajakan untuk beriman. Perkara mau beriman atau tidak bukan urusanmu, wahai para nabi.
Jangankan kita, lha wong Nabi Ibrahim yang dianggap sebagai Bapaknya Kaum Beriman aja jatuh bangun berkali-kali dalam upayanya mencari dan mengenal Tuhan.
Bagaimana perjalanan spiritual Nabi Ibrahim mengenal Tuhan secara personal? Ia berusaha untuk mencari ‘sosok’ Tuhan dengan bertanya dan mencari seperti para filosof. Pada mulanya ia menemukan sosok tuhan dalam bentuk yang lebih sederhana, yang lebih mudah dipahaminya pada sosok ‘bintang’ (tentu saja bukan dalam artian harfiah tapi dalam makna simbolis). Tapi ketika ‘bintang’ tersebut tenggelam ia menjadi sadar bahwa sosok bintang terlalu sederhana untuk dapat menjadi Tuhan yang ia cari dan mendapat ‘bulan’ sebagai gantinya. Ketika ‘bulan’ tidak cukup memuaskan ia beralih kepada ‘matahari’. Ketika ‘matahari’ pun juga tenggelam maka barulah ia berusaha untuk mencari ‘Tuhan yang tidak tenggelam’, Tuhan yang Maha Eksis. Dan beliau berhasil menemukan ‘sosok’ Tuhan yang memuaskan akalnya.
Sayang sekali bahwa kita tidak memperoleh penjelasan bagaimana cara Nabi Ibrahim memperoleh gambaran dan pemahaman tentang ‘Tuhan Maha Eksis’ yang ia carinya. Kita hanya menduga bahwa beliau mendapatkan ilham (wahyu) langsung dari Tuhan sendiri setelah pencariannya yang begitu melelahkan tersebut. Bagaimana prosesnya kita tidak memperoleh gambaran. Dalam kisah Alquran dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim akhirnya bisa berkomunikasi dengan Tuhan.
Apakah ketika Nabi Ibrahim telah dapat berdialog dengan Tuhan lantas keraguannya akan kekuasaan Tuhan langsung hilang? Tidak juga.
Bahkan ketika telah mampu berdialog dengan Tuhan Nabi Ibrahim masih meragukan akhirat dan kemampuan Tuhan untuk menyusun kembali jasad-jasad manusia yang telah hancur jadi tulang belulang. Kisah pembuktian melalui burung merpati yang dicincang dan potongannya dibagi empat dan diletakkan di empat penjuru angin yang setelah dipanggil langsung hidup kembali adalah pengalaman personal Nabi Ibrahim yang membuatnya memiliki keimanan yang begitu tinggi, keimanan level nabi besar. Ini pembuktian yang diminta oleh nabi Ibrahim.
Dari sini kita tahu bahwa bahkan nabi pun tidak begitu saja mengenal Tuhan, apalagi jadi nabi. Ada proses pencarian dan minta pembuktian segala. Rasulullah Muhammad saw pun ditahbiskan menjadi nabi setelah beliau bertapa mengasingkan diri di gua Hira karena berusaha untuk mencari arti dari hidup. Ketika ia didatangi Jibril dan diminta untuk iqra ia bahkan ketakutan dan minta diselimuti oleh istrinya. Beliau tidak langsung mengenali peristiwa personal tersebut sebagai ‘the beginning of revelation’. Ada pertanyaan-pertanyaan dalam benak beliau yang tidak bisa ditanyakannya langsung sebagaimana malaikat bertanya pada Tuhan.
Rasulullah Muhammad saw menjadi sangat istimewa karena pembuktian tentang keyakinannya akan Tuhan adalah dengan memperjalankannya melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Bahkan Rasulullah masih sering menangis mengingat pengalaman mi’rajnya. tersebut. Ini adalah pengalaman spiritual tertinggi dari manusia.
Apakah hanya manusia dan para nabi yang bisa meragukan kekuasaan Tuhan? Tidak juga. Malaikat yang begitu dekat dengan Tuhan saja mempertanyakan keputusan Tuhan ketika ingin mengangkat manusia Adam sebagai khalifah di bumi, yang menurut pada malaikat kerjanya hanya membuat kerusakan saja. Kenapa para malaikat, yang mengklaim dirinya ‘senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Tuhan’, itu tidak ‘sami’na wa ato’na’ aja ketika Tuhan memutuskan untuk mengangkat Adam sebagai khalifah di bumi? Kok berani-beraninya mereka mempertanyakan kebijakan Tuhan tersebut! Bukankah mereka mengklaim diri mereka sebagai mahluk ‘the best’ karena patuhnya pada Tuhan? Lha kok malah ndak percaya?! Ingat, malaikat disini bukan hanya bertanya tapi lebih daripada itu, mereka mempertanyakan keputusan Tuhan tersebut. Ada unsur protes disitu. Tapi Tuhan tidak marah. Karena memang Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Maha Mengerti, Maha Mengetahui, dan segala Maha lainnya. Ia lalu menjelaskan secara jelas apa tujuanNya menjadikan Adam sebagai khalifah. Ia meminta Adam untuk mendemonstrasikan apa kelebihannya sehingga ia dipilih untuk menjadi khalifah di muka bumi. Barulah setelah itu para malaikat menerima keputusan tersebut. Iblis yang tetap membangkang dan akhirnya menjadi musuh manusia sepanjang hidupnya.
Jadi kalau ada orang yang meragukan sifat kemahaan Tuhan sesungguhnya itu adalah manusiawi dan tidak selalu menunjukkan kekafiran atau kesesatan. Lha gimana kita akan beriman jika kita tidak pernah ‘disapa’ oleh Tuhan secara personal seperti para nabi? Demikian protes kita. Pertanyaannya adalah benarkah bahwa kita tidak pernah ‘disapa’ oleh Tuhan secara personal sehingga kita tidak mengenalNya?
Tuhan memang misteri yang tak terjangkau oleh otak kita tapi segala hal yang ada di bumi ini, dan bahkan diri dan hidup kita, sebenarnya adalah bukti dari keberadaan Tuhan sebagai penciptanya. Justru kita sebagai mahluk manusia diminta untuk terus berpikir dan memikirkan kebesaran Allah agar semakin beriman padaNya. Jadi mempertanyakan kebijakan Allah itu OK-OK saja kok! Bahkan malaikat saja boleh. Mosok kita ndak boleh! Kita kan manusia biasa. Apalagi kalau sekedar mempertanyakan dogma-dogma dalam agama yang mungkin tidak masuk akal. Justru dengan bertanya itulah kita akan mendapatkan jawaban-jawaban yang membuat kita semakin beriman pada Tuhan karena Tuhan memang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Sifat kemahaan Allah tidak akan berubah, apakah kita akan mengimaniNya atau tidak, tapi persepsi, imaji atau pemahaman kita tentang sifat-sifat dan wujud Allah itulah yang keep changing atau improving, atau bahkan bisa menjadi corrupted. Iman itu seperti air yang mendidih, ia bergolak kadang di atas kadang di bawah (artinya bisa naik bisa turun), demikian kira-kira bunyi salah sebuah hadist yang pernah saya baca.
Memang benar bahwa dengan bertanya dan mencari jawaban dari masalah teologis terus menerus tidak berarti kita akan dapat menjawab semua pertanyaan. Sebaliknya, satu pertanyaan yang terjawab justru memungkinkan munculnya pertanyaan-pertanya an baru yang kemudian harus kita cari cari jawabannya lagi. Ini seperti mendaki gunung. Ketika kita sampai pada ketinggian tertentu kita menyadari bahwa ada ketinggian lain yang harus kita daki.
Untuk menutup tulisan saya ini saya hendak mengulang kembali pesan Jibril kepada Nabi Muhammad pada pertemuan pertama mereka di gua Hira, :”Iqra. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” Mengapa Tuhan menyuruh kita membaca? Agar kita terus bergerak dari kondisi ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’, allamal insana maa lam ya’lam. Dan kondisi ketidaktahuan kita itu sungguh seperti samudera luasnya.
Surabaya, 11 September 2021
Satria Dharma
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com/