Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu bahkan dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. “.
Dengan berbekal keinginan kuat dan ayat itu maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu belum ada. Ini proyek prestisius karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut. Siapa saja yang nantinya akan masuk ke sekolah SBI ini? Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Karena dianggap sebagai bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT/Information and Communication Technology). Karenanya, siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Apa kurikulum yang akan diberikan kepada mereka agar berstandar internasional? Tidak jelas betul karena hanya disebutkan rumusnya adalah SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X hanya disebutkan sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO. Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ngebet dengan program ini? Masih akan diatur. Tapi yang jelas orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam dan hanya orang tua yang kaya saja yang bisa masuk. Ini adalah program prestisius sehingga biayanya memang harus mahal!
Tapi apakah SBI ini akan membuat kita akan dapat membuat bangsa kita mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara-negara lain? Tunggu dulu. Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas. Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini.
Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini. Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai X juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan X tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya. Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge? Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge,umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat misleading. Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge umpamanya, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus.
Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu : (1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model Terpadu, dan (4) Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada dua model yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model (2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1). Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk memiliki guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dll persyaratan seperti dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi oleh sekolah yang ada. Ini ibarat meminta kereta api untuk berjalan di jalan tol!
Sebagai ilustrasi, sedangkan guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah favorit kita saja hanya sedikit yang memiliki TOEFL > 500, apalagi jika itu dipersyaratkan bagi guru-guru mata pelajaran hard science.
Maka itu jelas tidak mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk menerjemahkan model yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen berresiko gagal total dalam mencapai tujuannya.
Ketiga, konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance- nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogic.
Keempat, penyusun konsep ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa dijadikan fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin menyulap para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.
Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar A. Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini berresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
Keenam, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional. Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)? Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu banyak sistem yang telah berlaku. Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.
Ketujuh, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar kecerdasan tertentu. Kurikulum yang bertaraf internasional dianggap tidak bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Ini adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah mengkhianati SNP itu sendiri karena menganggapnya sebagai tidak layak bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
Kedelapan, dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang akan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan menanam bom waktu. Banyak sekolah yang jelas-jelas hendak memberi persepsi kepada masyarakat bahwa sekolah mereka telah menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dan bukan sekedar rintisan lagi. Suatu usaha pembodohan dan pengelabuan dari sekolah kepada masyarakat.
Kembali pada pertanyaan filosofis, apa sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi
system pendidikan lain. Sedangkan semua sekolah harus menggunakan kurikulum dan system pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah karena mereka berpendapat bahwa pendidikan dirancang untuk mempersiapkan siswa untuk berbakti kepada negara dan berpedoman atau berkiblat pada system yang tidak dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara adalah bertentangan dengan filosofi pendidikan mereka.
Mengingat betapa banyaknya kelemahan yang ada dari program prestisius ini dan besarnya resiko gagal yang dihadapinya, sudah selayaknya Depdiknas mengevaluasi diri dengan lebih membuka diri terhadap masukan dari masyarakat. Lebih baik mundur satu langkah ketimbang harus mengalami kegagalan total yang sudah nampak di depan mata tersebut. Mungkin formulasi kebijakan di Depdiknas (dalam hal seperti SBI ini) perlu melalui proses konsultasi pada publik atau stakeholders berkali-kali dan studi yang lebih mendalam dengan melibatkan lebih banyak publik, dan tidak sekedar memenuhi syarat minimal birokrasi. Perlu diingat bahwa masyarakatlah yang membiayai dan yang akan menjadi end-user dari produk ini.
Lantas bagaimana dengan UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang telah terlanjur dipersepsikan harus mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB tersebut? Ada dua alternatif untuk itu. Pertama, pasal tersebut perlu diamandemen dan disesuaikan bunyinya agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru, atau, kedua, merumuskan kembali apa yang disebut dengan satuan pendidikan bertaraf internasional tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh Depdiknas dengan program SBI ini harus dihentikan dan dirumuskan ulang. Jika tidak maka arah pendidikan nasonal kita akan semakin melenceng dari tujuan dan amanah bangsa dan negara kita.
Jakarta, 13 Juli 2007
Satria Dharma
Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE)
Mas Satria, saya melihatnya seperti ini:
1. Ini semata-mata masalah bisnis. Istilah kerennya diferensiasi. Ini muncul karena ada demand yang dipicu gencarnya impor pendidikan asing di negeri kita ini. Australia dengan tegas menetapkan Indonesia sebagai pasar eksport pendidikan mereka. Jadi para industrialis pendidikan di Indonesia menangkap peluang ini, dan mereka nampaknya juga berhasil melobi Diknas untuk memasukkan skema SBI ke dalam sistem pendidikan nasional.
2. Kurikulum asing Cambridge dan IB misalnya, menurut saya, tidak jelek pada dirinya. Contohlah IB. IB sangat menekankan pada muatan lokal. Guidence dari IB sendiri adalah panduan umum, yang harus dikembangkan oleh gurunya sendiri. Mereka malah akan sangat concern kalau muatan IB di Indonesia tidak sesuai dengan lokalitas Indonesia.
3. Namun masalahnya bukan di kurikulum, melainkan pemerataan pendidikan yang nampaknya makin tidak merata. SBI membuat kesenjangan yang makin melebar antara yang mampu, dan nanti keluar negeri, dengan yang tidak mampu. Saya sih gak lantas menyuruh melarang SBI, tapi Diknas nampaknya terlalu mudah memberikan label SBI. Apa maksudnya? Gak harus pake SBI kok kalau mau ngebagusin sekolah.
4. Pada akhirnya aku jadi berburuk sangka, kalau SBI itu hanya merek dagang saja, yang menjadi pembenaran untuk mengeruk uang lebih banyak dari orangtua murid.
4. Sangatlah sulit untuk menerapkan secara penuh standar Cambridge dan IB. Setahu saya yang dapat nilai bagus dari IB hanya ada satu sekolah, yaitu Sekolah Pelita Harapan Sentul (saya punya insider di situ). JIS juga mungkin, cuma saya gak tahu itu. Sisanya IB-IB an. Aku terus terang memang pengagum IB.
Tabek
Halo Mas Satria, apa kabar?
Wah…anda memang benar-benar pengamat pendidikan ya. Tulisan-tulisan nya heboh banget lho. Bagus sekali.
Ok, semoga sukses selalu. Salam buat keluarga… Blog anda ini tak link di blog saya.
Wasalam,
Wuryanano
http://wuryanano.com/
sekolah bertaraf internasional atau sekolah model, ini memang agak riskan. karena telah mengalir berbagai kecemburuan di dalamnya. Mulai dari cemburu pada jatah anggaran, sampai pada kecemburuan terhadap perlakukan untuk para calon muridnya dan para calon guru sekolah bertaraf internasional ini. Dilansir, bahwa sekolah-sekolah unggulan akan menimbulkan efek psikologis tertentu bagi yang sekolah di sana (termasuk guru-gurunya) dan efek diskriminatif terhadap golongan tak mampu yang cerdasnya tak bisa diukur oleh nilai TOEFL. and.. thanks for your inspiration.
looks like another knee-jerk policy from indonesian policy maker. project (read :money) oriented, simplified, asbun (asal bunyi).
membaca tulisan pak satria, saya jadi ingat kunjungan di sebuah sekolah (Rintisan SBI katanya) di Pare-Pare SulSel baru-baru ini.
Komentar guru-guru emang asli deh. Antara lain, katanya, sebenarnya dengan situasi saat ini, mereka belum siap untuk menjadi sekolah rintisan seperti yang diharap. Wong guru merasa bahwa mereka pada akhirnya harus mengajar in English.
Again, kebijakan yg “irasionalkah namanya?” menjadikan guru yang korban. Saya pun banyak menerima keluhan masalah penyampaian konten matematika (dalam bhs Indonesia loh!), gimana lagi dalam bahasa Inggris.
Tantangan nyata pembelajaran matematika dalam bahasa Indonesia saja sudah cukup berat, gimana dalam bahasa Inggris.
Saya selalu tidak mengerti, kebijakan yang begitu membuang uang banyak dengan dampak negatif, kok diterima? kok dilakukan?????
Atau mungkin sudah banyak dampak positifnya yah?????
Hallo Pak SatriaDharma. Tulisan anda bagus sekali.
Tapi salah seorang teman saya Budi Harijanto, pengurus SBI SMPN 1 Pandaan Jatim, mengatakan, “Alangkah lebih hebatnya seandainya pak Satria itu mau mengucapkan TERIMA KASIH pada siapapum yang telah mencuatkan ide SBI itu.
Hallo Pak SatriaDharma. Tulisan anda bagus sekali.
Tapi salah seorang teman saya Budi Harijanto, pengurus SBI SMPN 1 Pandaan Jatim, mengatakan, “Alangkah lebih hebatnya seandainya pak Satria itu mau mengucapkan TERIMA KASIH pada siapapum yang telah mencuatkan ide SBI itu. Sebab bagaimanapun mereka telah memikirkan kemajuan Indonesia walaupun menurut anda dari awal konsep nya salah.
Hallo, Pak Bambang Harianto.
Sampaikan pada teman Anda itu bahwa saya ngeri mendengar ‘excuse’ seperti ini. Jadi kita boleh bereksperimen apa pun, dengan konsep yang sesalah apa pun, dengan hasil yang seamburadul apa pun, dengan korban sebesar apa pun, dengan kerusakan separah apa pun, asal yang penting ‘telah memikirkan kemajuan Indonesia’? Itu adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab.
Siapa yang akan bertanggungjawab jika program ini gagal dan benar-benar justru membuat kualitas pendidikan di sekolah SBI merosot? Saya sudah tanyakan kemana-mana dan tak satu pun ada yang berani menyatakan berani bertanggungjawab atas konsep jika gagal ini karena faktanya konsep ini memang amburadul.
Lagipula setiap orang bisa saja mengklaim dirinya ‘memikirkan kemajuan Indonesia’. Sejarahlah yang akan membuktikan nantinya. Sayang sekali bahwa itu sudah terlambat.
Tetapi, bagaimana pun , terima kasih atas tanggapannya.
Salam
Satria
Mas,
Again this is Diding. Saya mau tanya apakah teacher training untuk guru-guru di SBI itu penting? Kalau penting teacher training seperti apakah yang memang diperlukan? Setelah saya rantang-runtung ke beberapa sekolah, ada sebuah agen yang menyiaopkan semuanaya, termasuk guru-guru bidang studi yang diajarkan, misalnya matematika, fisika, dan kimia, yang berasal dari bberapa departmen. Mereka rata-rata bertitel PhD atau master dari perguruan tinggi luar negeri. yang ini kurang disukai oleh pihak sekolah karena sekolah selalu bergantung sama agen ini. sekolah maunya guru-guru sekolah diupgrade sehingga suatu saat sekolah SBI itu pada mandiri. Tolong Mas, komentar sampean ana tunggu. Terima kasih (saya akan tetap kontak Mas untuk hal ini dan mudah-mudahan antum tidak keberatan). Syukron.
Diding fahrudin
Teacher training itu perlu untuk semua guru, Kang! 🙂 Apalagi untuk guru program SBI yang katanya mesti paham tentang apa yang disebut ‘standar internasional’ itu.
Secara pribadi saya tidak menganjurkan dosen PT yang biasanya mengajar mahasiswa tersebut untuk mengajar di sekolah program SBI karena mereka akan cenderung mengajar siswa sekolah menengah sebagaimana mereka mengajar mahasiswa mereka. Ini juga bukti bahwa program SBI ini memang tidak dipersiapkan dengan baik dan sekedar eksperimen.
Salam
Satria
Pak Satria, saya salut berat dengan Anda. Andaikan saja ada orang yang berani menyampaikan semua ini ketelinga mentri pendidikan, semoga masih bisa mendengar kami yang di lapangan.
Saya guru pendamping sekolah rintisan SBI di Jakarta. Mau nangis darah rasanya menyaksikan pembodohan murid-murid saya yang tercinta ini oleh ambisi nggak jelas decision maker pendidikan kita. Pengajaran dilakukan oleh satu guru bidang dan satu guru pendamping bahasa Inggris. PAda hari-hari pertama saya masuk di kelas ini, murid-murid dengan antusiasnya berbahasa inggris dengan sesamanya dan dengan para guru. Tetapi lama-kelamaan antusiasme mereka meredup manakala guru-guru bidang (fis, kimi, mat, dan bio) ini tidak dapat merespon dalam Bahasa Inggris yang baik. Kalau murid bertanya dalam Bahasa Inggris, maka saya harus menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian guru menjawab dalam Bahasa Indonesia yang kemudian saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Saya merasa ini semua knonyol sekali. Kami tidak sedang berada di kelas bilingual di Canada tapi di Indonesia yang semua pihak mengerti bahasa Indonesia. Lama-kelamaan anak-anak malas bertanya dalam Bahasa Inggris. Saya harus seringkali mengingatkan mereka, tapi saya paham betul mengapa mereka jadi enggan berbahasa Inggris. Tambahan lagi, sukar bagi para guru senior ini untuk berbahasa Inggris yang baik karena faktor usia. Ketika mereka berbahasa Inggris sepatah dua patah kata, murid-murid tersenyum-senyum dan melirik saya. Bahkan salah satu murid mendekati saya usai pelajaran dan berkata, “Bapak dan ibu guru itu sudah deh berbahasa Indoneisa saja, bahasa Inggrisnya nggak becus…kacau…membingungkan…!” Para guru ini bukannya tidak menyadari hal ini. Mereka seringkali mengeluhkan perasaan ketersinggungan mereka ditertawakan murid. Para guru yang sejatinya digugu dan ditiru malah jadi bahan olok-olokan murid. Dan saya di tengah menyaksikan dagelan yang sama sekali nggak lucu ini setiap hari, para guru dan murid yang sama-sama frustasi korban ambisi yang nggak jelas.
Selain mendampingi murid di kelas, saya sempat juga mentraining mereka dengan ‘English for teaching survival’ misalnya percakapan membuka dan menutup kelas, kalimat-kalimat perintah di kelas, hingga masuk ke istilah-istilah khusus untuk 4 mata pelajaran IPA> Wuih, saya merasa ‘hebat’ sekali (hebat dalam tanda kutip loh)mempelajari lagi persamaan reaksi kimia, logaritma, tatanama makhluk hidup, dll. Saya merasa perlu belajar dulu materi yang akan diajarakan para guru di kelas nanti supaya saya bisa membantu mereka menerjemahkan ke Bahasa Inggris. Tapi jujur aja pak, saya mabok! Tambahan lagi susah sekali mengajak para bapak dan ibu guru untuk duduk dulu bersama saya merencanakan materi pengajaran. Idealnya, sebelum mengajar, saya dan guru bidang duduk bersama mendiskusikan materi ajaran dan cara penyampaiannya dalam Bahasa Inggris,sehingga ketika berada di kelas mereka sudah bisa menggunakan sendiri istilah-istilah khusus mata pelajaran yang diajarkan. Tapi ini jarang sekali terjadi. Para guru yang terhormat ini justru sibuk bermain game komputer di sela-sela waktu senggang mereka di ruang guru.
Ketika akan ujian, mereka meminta saya menerjemahkan soal-soal ke dalam Bahasa Inggris. Dan ketika mengoreksi, saya harus mendampingi mereka. Hal ini harus saya lakukan karena beberapa kali murid-murid saya komplain gurunya menyalahkan jawaban esai berbahasa inggris mereka karena faktor keterbatasan para guru dalam memahami tulisan berbasa Inggris. Asal tahu saja, hasil test TOEFL rata-rata murid jauh lebih tinggi dari para guru bidang ini.
Saya ingin sekali berhenti jadi pendamping kelas kelinci percobaan ini. Tapi saya sangat menyukai mengajar dan berada diantara murid-murid saya. I love these young energetic people so much.
Terima kasih banyak atas komentar Anda ini. Saya sudah menunggu lama adanya orang-orang yang berani bersuara jujur seperti Anda ini. Selama ini sekolah cenderung menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya dar praktek pembelajaran yang kacau seperti ini.
Kalau boleh saya ingin bertemu dengan Anda untuk membahas apa yang perlu kita lakukan untuk memperbaiki situasi ini. Let’s do something to improve this. Mohon nomor telpon dan alamat untuk saya hubungi.
Salam
Satria
Mr.Satria Darma.Pemerintah itu asal aja.Asal ada proyek buat program.Tidak ada Riset.Kalau ada riset menurut saya semua ini tidak akan seamburadul yang anda sebutkan.Padahal dana luarnegri banyak loh yang mengucur untuk pendidika.
SBI= Sekolah Bertaraf Ikut2an
ngikut para penjajah?
……
mengadopsi kurikulum Cambridge dan IB…..
secara tidak langsung kiblat ke barat….?!
…
berbicara ttg kurikulum, apa yang bisa menjamin bagusnya kurikulum sebuah lembaga pendidikan..? … dan pa ukurannya
bagaimana menurut anda dengan sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengikuti kurikulum diknas…dengan Cambridge dan IB-nya .. atau apa lah…..
..
para hadiriiiin..ada yang tau kurikulum pendidikan di “gontor” ..(lembaga pendidikan)…? ada opini…?
Ikut komentar ya,kebetulan anak saya sekolah d Gontor…….
Gontor itu usianya sudah 82 tahun, tapi baru diakui ijazahnya oleh pemerintah pada th 2005 waktu presiden Gus Dur), karena selama itu gontor tidak pernah mau mengikuti kurikulum depdiknas. Tapi dunia internasional sudah mengakui ijazah gontor sejak tahun 1950-an.
Sistem di sana 2 minggu berbahasa arab dan 2 minggu berbahasa Inggris (bahasa Indonesia boleh tapi sedikit, bahasa daerah dilarang)
pelajaran agama disampaikan dalam bahasa arab,
pelajaran umum (matamatika, fisika, geografi dll) disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Pelajaran bahasa Inggris disampaikan dalam bahasa inggris.
Kurikulum yang diterapkan tersebut ternyata efektif, hal tsb dibuktikan dengan banyaknya santri gontor yang lolos dalam seleksi beasiswa misalnya di timur tengah, Mesir, AS dan Australia.
Memang kalau menerapkan kurikulum pendidikan apapun harus konsisten dan tidak setengah-setengah, pasti hasilnya akan baik.
Mas Satria, memang kebanyakan dosen akan mengajar sekolah yang ber-SBI seperti kayak mereka ngajar mahassiwa, tapi Insya Allah dosen-dosen yang background ELTnya kuat mereka malah lebih komunikatif dan kreatif dibandingkan guru-guru SMA yang saya kenal (maaf teman-teman guru-guru SMA, ini kasuistik sifatnya). Saya diminta untuk konsultan (DITAKON-TAKON BAKA ANA KESULITAN) untuk bahasa Inggris sekolah berSBI di Jakarta. Saya hanya ingin terjun langsung mengamati yang sesungguhnya terjadi di SBI. Mas, malah nafsu berSBI ini sekarang sudah menjalar ke SD-SD, SMP dan SMK. Saya membimbing beberapa mahasiswa S2 yang tesis mereka tentang SBI, waduhhhh peningnya dan kasihan sama mereka. Penelitian saya yang berkaitan dengan SBI masih jalan walaupun banyak hambatan. Bolehkan minta alamat email teman kita yang menjadi perndamping itu? Hatur nuhun, Mas.
Diding
Kang Diding, guru pendamping tersebut katanya kenal dengan Kang Diding kok. Saya sudah minta beliaunya untuk menghubungi Anda. Yok kita adakan pertemuan dengan para pendampinng dan konsultan SBI untuk menganalisa dan mengevaluasi program tersebut. Sampeyan kan banyak kenal.
Salam
Satria
Buat semuanya yang telah sangat besar perhatiannya terhadap pendidikan,
Ketika saya mencermati banyak tulisan yang di muat di sini, saya bisa mengernyitkan jidat saya sendiri permasalahannya:
(1)banyak komentar yang nadanya hanya menghakimi atau menghujat sebuah kebijakan tanpa memberi solusi. (2) banyak responden (menurut asumsi saya berdasar apa yang di tulis di sini) berpikir dan bersikapnya saat ini seolah beliau-belau ini begitu saja lahir dengan dianugerahi kematangan kompetensi dalam segal hal, sehingga semua usaha guru-guru beliau pada saat sekolah dulu tidak memberi arti , atau dengan kata lain tingkat pencapaian kemampuan analitis yang sekarang ini dimiliki tanpa campur tangan usaha keras tanpa pamrih para guru beliau pada saat itu (baik mulai tingkat dasar maupun samapi pada jenjang pendidikan yang paling tinggi yang bisa mereka raih), bukankah sifat seperti ini bagian dari sifat congkak?. (3) saya sekarang seorang guru sekaligus saya juga selalu tetap menjadi seorang murid dari guru-guru saya yang tidak akan pernah terputus di hati saya samapai kapanpun. Untuk itu saya yang selalu berusaha bisa berarti untuk murid-murid saya sangat senang apabila saya bisa belajar dari forum ini dengan gagasan-gagasan yang hebat tanpa harus menghujat. (4) kalau sekiranya sebuah kebijakan sudah berjalan dan di pandang perlu perbaikan, menurut hemat saya akan bijak apabila solusi untuk perbaiaknnya juga di sampaikan. (5) seorang guru seperti saya ini selalu berdoa dan bermimpi semoga semua siswa yamg pernah saya ajar di kemudian hari memiliki kemampuan yang melebihi saya miliki, tapi tetap saya doakan semoga terhindar dari sifat congkak. Semoga doa guru yang selalu di panjatkan kepadaNYa akan selalu di kabulkan.
Salam,
M. Masykur, guru yang mengabdi untuk anak bangsa di negeri orang,Riyadh, Arab Saudi.
Dalam pertemuan dengan seluruh orangtua murid calon kelas bilingual di satu SMP, saya berusaha untuk menyamakan ekspektasi mereka pada realitas yang kami miliki di sekolah. Lebih tepatnya lagi, saya berusaha untuk menurunkan ekspektasi mereka yang terlalu tinggi terhadap Bahasa Inggris para pengajar. Ada tiga kondisi dimana Bahasa Inggris akan digunakan. Garis besarnya, penggunaan Bahasa Inggris sbb, pertama Bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar untuk membuka dan menutup kelas. Membuka kelas termasuk greeting, conducting an opening prayer, dan light talk. Kedua, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa untuk memberikan perintah sehari-hari dari guru ke murid-murid. Misalnya please open your book page bla..bla..bla, come forward, work in pairs, put away your books, prepare a piece of paper, don’t cheat, and so on. Semua guru yang mengajar di kelas bilingual, kecuali guru Bhs Indonesia, wajib menggunakan Bahasa Inggris dalam dua kondisi di atas. Mereka telah dilatih berkali-kali untuk memastikan pronunciation-nya minimal comprehensible enough bagi murid-murid. Kami tidak dapat berharap native like language production.It’s simply far fetched.Ketiga, khusus untuk pengajar science, math, dan IT, mereka wajib menggunakan bahasa Inggris untuk penyebutan istilah-istilah khusus dalam pelajarannya. Prosedurnya begini, pertama-tama materi disampaikan sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia. Jika murid-murid telah memahami konsep dasar yang diajarkan, guru akan menjelaskan ulang konsep tersebut dalam Bahasa Indonesia tetapi menggunakan term-term khusus dalam Bahasa Inggris, misalnya untuk mathematical operator symbols dibaca dalam Bahasa Inggris, luas bidang (area), keliling (perimeter, circumference) and so on. Untuk biologi, penyebutan bagian tanaman dalam bahasa Inggris, misalnya root, stem, leaf, branch, twigs… Tetapi susunan kalimat bahasa pengantar ketika guru menjelasakan baik dalam penjelasan pertama maupun berikutnya tetap dalam Bahasa Indonesia. MAka Bhs Inggris digunakan dalam menjelaskan pelajaran sebatas penggunaan istilah-istilah ilmiah. Saya punya alasan logis yang kalau dijelaskan disini bisa panjang. Yang pasti, hal ini akan mengurangi beban content teachers.
Penjelasan ini tidak memuaskan kepala sekolah, karena tidak ‘menjual’ sekolah. Salah satu ortu secara pribadi mengatakan pada saya bahwa beliau membatalkan anaknya masuk kelas ini karena berharap anaknya mendapatkan eksposure bahasa Inggris sektika dia menginjakkan kaki di gerbang sekolah. Ibu ini mengharapkan para guru bercasi-cis-cus dalam Bahasa Inggris di sekolah sebagaimana yang dilihatnya disekolah-sekolah berbahasa Inggris dengan immersion program. Again,it’s simply far fetched.Saya jelaskan beberapa type dan kondisi program bilingual yang dikenal dalam literatur pengajaran Bahsa asing, mulai dari immersion program (mis di JIS, BIS), transitional, maintenance, dst. Guru-guru yang ada di sekolah kami tidak direkrut dengan kemampuan Bahsa Inggris yang memadai untuk mampu mengajar dalam immersion program. Lantas ibu ini bertanya, mengapa diberi label ‘bilingual’ kalau bahasa Inggris digunakan dalam kondisi yang amat sangat terbatas? Dan mengapa orangtua harus membayar jauh lebih banyak SPP dibanding kelas reguler sementara perbedaannya hanya sebatas fasilitas fisik saja. Saya tidak bisa menjawab. The principal was not happy, neither was the mother. But I’m glad to bring them back to reality. I’m not a good salesperson, indeed. Saya harus siap-siap cari kerjaan lain, mungkin semester depan she would kick me out.
Bravo untuk Anda! Jelas sekali bahwa motivasi para kepala sekolah RSBI ini adalah hendak MENIPU para orang tua dengan segala kamuflase yang bisa ia lakukan agar orang tua mau masuk ke program RSBI. Motifnya jelas sekali adalah UANG. Jadi samasekali tidak ada idealisme disitu. Saya bersyukur bahwa Anda memutuskan untuk memenangkan hati nurani Anda dan bukannya ikut terseret permainan gila para kepala sekolah.
Saya benar-benar gregetan dengan situasi ini dan ingin mengajak Anda dan teman-teman lain untuk membongkar kebohongan program RSBI ini. Kalau tidak maka kita ikut berdosa membiarkan kebohongan ini berkelanjutan tanpa kita berusaha untuk mencegah.
Salam
Satria
Yang terhormat pak Masykur,
Masalahnya kita tidak terbiasa untuk berbicara terbuka apa adanya. Mengungkapkan perasaan dan pikiran secara jujur tanpa dibungkus oleh basa-basi yang mengaburkan inti permasalahan bukanlah ‘gaya’ orang Indonesia. Mengungkapkan fakta, sangat apa adanya, sering ditafsirakan sebagai ‘menyebarkan kebencian’. Padahal kami hanya mengatakan apa yang kami rasakan, apa yang ada dikepala kami sejujurnya. Mohon maaf kalau berbicara terbuka diartikan sebagai hujatan. Sebenarnya pernyataan-pernyataa yang terkadang memerahkan kuping orang-orang tertentu bisa saja ekspresi frustasi dan tak berdaya, loh. Saya sangat mensyukuri apa yang telah saya dapatkan dari guru-guru yang pernah mendidik saya. Sebagaimana saya juga sangat mensyukuri adanya internet, blog seperti ini yang memungkinkan siapa saja lintas usia dan strata sosial maupun pendidikan untuk berbicara terbuka, menyalurkan pemikiran-pemikirannya yang barangkali dalam dunia off line ide-ide brilian mereka nggak bakal ada yang dengerin maupun nemuin. Internet telah mengajarkan kami para guru untuk berpikir kritis analitis terhadap fenomena-fenomena yang dialaminya dalam keseharian di sekolah.
Tidak semua orang bisa memberikan solusi untuk masalah yang dihadapinya maupun masalah orang lain. Mereka yang menulis di sini butuh someone to lend them our ears. Didengarkan saja sudah bagus kok. Kalau ada yang bisa kasih solusi lebih bagus lagi. Tapi kalau tidak juga tidak apa-apa. Paling enggak di sini kita bisa curhat dan vent our disappointment and anger. Kalau enggak, we need more mental hospital, Sir, Mengeluh kok dilarang. Curhat kok dilarang. Mau ngeluh harus pake solusi. Gimana toh, yang mengeluh aja lagi bingung. Bantuin dong. Saya sering denger tuh istilah kalau mengkritik harus bersifat membangun(kan). Tapi saya menerjemahkannya begini, kritik memang sebaiknya bisa mmembangunkan kita dari mimpi indah. Pokoke, hidup internet! hidup blogs!
Oh, ya untuk pak Diding…saya murid Bapak yang paling buawel di kelas four skills-listening (S2). Nanti saya akan ke kampus tanya ke Mbak Nur no hp bapak, boleh kah? Saya lagi nulis tesis, tapi bukan sbi topiknya.
I have no idea who can be invited for the RSBI meeting you plan, Sir. But I could give you some schools having bilingual program. My aunty teaching in SMAN 2 Bogor once told me that her school also had an English assistant for bilingual class. As far as I know, most RSBI schools have assisting program conducted by their own English teachers, not outsourcing ones. SMAN Insan Cendekia in Serpong once had bilingual program and then it was closed because they realized that they were not ready to run such program. Other schools are SMAN I Tangerang and SMPN I Pamulang.
I think you should take who the teachers are into consideration. If you invite teachers/ tutor who are civil servant, they may be reluctant to tell you the truth for two reasons. First, they are afraid of telling the truth meaning threatening their position in school. Second, they fear for losing additional income. They get quite handsome amount of money from this program on regular basis, from additional teaching fee, transportation allowance for taking the course, incentives, and so on. My fellow teachers seem have no problem with the program, even they are excited with the financial rewards (although they are often mocked by their students for their lack of appropriate and correct English). They are quite content with the program. I could feel that, it is not intended to imporve the quality of education, rather it is a matter of another project worth billions rupiah. For teachers, RSBI is vehicle to improve their income, especially the senior ones. It is pathetic knowing that the President asked people to save the money by saving the use of gasoline and electricity, on the other hand, schools waste our taxes to send the teachers (which are frankly speaking hopeless) to ‘improve’ their English at EF for a general English course (not ESP). The school pays EF 1.5 mio rups for every 2.5 months. All together they are 44 teachers. One year consists of 4 terms. So, we can calculate for sending teachers to the course, the school spends 264 mio for the course alone. I haven’t seen them improving their English though. Let alone the cost for buying Cambridge books which teachers never read them. Believe me, they don’t read the books because they can’t read all-English textbooks. How could we expect a basic 1 student (I mean the teachers are mostly placed at Basic 1 in the English course) to read scientific books all in English? Those expensive books are well kept in a special room far from teachers and students reach.
I wonder why not Sampoerna Foundation conduct a research on this topic by distributing questionnaire to RSBI students to get the first hand information. And then call their parents to get information from their children what is going on in their bilingual classrooms. They will tell you the truth. Asking the teachers, I suspect, just a waste of time and energy. I still remember, last semester our school got a visit from a surveyor of Diknas regarding the RSBI evaluation. I was surprised that the school got score 80s out of 100. The assessor was just busily checking the availability of paperwork rather than got into the classroom, talked to the stduents and parents in person or privately aside from the eyes of teachers and the Principal. If the assessor had done this, I’m sure the score would have been different. Since Sampoerna Foundation is an NGO, hopely they don’t have any vested interest in this program, they could bring about the truth to the government. This is what an NGO for, isn’t it?
I personally agree with the program with some conditions. If the program is run by asking teachers to use English limited for, say, opening-closing, giving classroom instructions, field-registers, parents should not pay more tuition. Make it regular one. Meaning, all students will experience the new atmosphere of learning English (by using it in their lessons), not exclusively for students whose parents can pay 600 rups/ month. It is very possible to help teachers learn that kind of English. Moreover, expecting teachers to speak all- English on daily basis is a delusion, considering their age and limited commitment to learn English. Schools do not have to spend much money for this. LEarning field registers at the early school years is not bad at all. It even can help students to read online resouces available in the internet, which is commonly in English. In the long run, these students may not get alot difficulties reading textbooks in English in universities. We cannot blind ourselves to the reality that English is no longer merely a subject in school but a tool for our kids to open and widen their knowledge. Sadly to say, our English school teachers can not accomodate this. I have seen many students from elementary to high school, whose English far exceed their teachers’. It is a bitter fact in which we, English teachers, don’t want to face. By equipping our kids with English, they can get some fresh and various information (compared to printed textbooks) and not be misled by translation version of school textbooks. In my classroom, I insist my students to always find another ‘story’ of every information they get from their content teachers and school textbook by comparing it to Encarta multimedia encyclopedia and wikipedia (although the use of wikipedia is still debatable). Sometimes we come up with different ideas or in some cases opposite information on one topic. Take the information about the use of MSG for food. In the internet, there are so many scientists say differently about this. Instead of getting confused about whose ideas should be taken, teachers can help students to learn some critical thinking skills. Teachers can help student to track who says what. The background of the scientist determines what they say. And I often amazed by students’ presentation on a particular topic in English. I always amazed by how quick they improve their vocabulary and how confidently they speak English. This is often dumbstruck and make the content teachers feel ashamed of their English.
Frankly speaking, the idea of teaching English using content-based syllabus is a good idea. So far, we have been teaching our students English as a subject/ passive knowledge, not a tool. Mastering English skills is critical for our kids. They are not going to live in our life (Today, English is not so important). They will live in their own time where globalization may level them to the ground if they are not well equipped with the basic tool they need, English for communication. How many teaching positions in private schools offering good salary are taken over by teachers from India, Singapore, and the Philipine? These such school are not fond of local teachers for their lack of English. If my daughter wants to be a teacher, and if she is not good at English, she could follow her mother, working for public schools and fooled by the system and in the end be a yes-man. It is not the life that any parents expect their children have. Our society need an advance in English teaching. But, a careful plan and conduct need to be done.
A lot of stories to share. Can’t wait to see you in person, Sir!
By the way, about my phone number, yes, the area code is 021. Thanks
Salam,
Pak Satria: Sekedar Info, sekolah kami juga telah masuk RSBI sejak program ini digulirkan. Seperti komentar ANA W, SMA Assalaam berada di lingkungan PPMI Assalaam. Sebelum ada RSBI, SMA kami sudah terbiasa dengan dua bahasa asing (Arab dan Inggris), kami mengadopsi kurikulum Pondok Modern Gontor. Guru bahasa Inggris dan Arab sebagian dari Gontor, sebagian dari Alumni.
Intinya, RSBI di Assalaam berjalan biasa, meski ada kekurangan tidak seberapa.
Bahkan di unit MTs atau SLTP nya, kita buka kelas Internasional. Dan selama ini juga berjalan normal saja.
Awal kemunculan RSBI, komentar para guru sedehana: “La wong selama ini kita kan sudah internasional, pakai bhs Arab dan Inggris…”.
Mengomentari keluhan rekan pendamping RSBI di Jakarta dan mungkin di sekolah RSBI lainnya dari 200 sekolah itu…:
“Pemerintah memang suka uji coba. Jepang maju kan bukan karena membuka sekolah berbahasa Inggris, tetapi semua ilmu mereka terjemahkan ke bhs Jepang. mBok Indonesia juga gitu…”.
“Eropa maju juga setelah jutaan literatur Peradaban Islam diterjemahkan ke bhs mereka, dan bukan membuka Sekolah berbahasa Arab di Eropa”.
Sekian, mohon maaf bila ada khilaf…
WasSalam,
+ saya sebagai salah satu guru RSBI di kab.blitar. Saya perpendapat sama dengan anda.Dalam kenyataan program SBI atau RSBI hanyalah suatu program SSN+, bukan suatu program yang unggulan apa yang dikampanyekan oleh kepala sekolah. terbukti dari fasilitas yang dijanjikan oleh pihak team RSBI bahwa sebelum mulai pelajaran fasilitas akan terpasang dengan lengkap dan siap dioperasikan, nyatanya sampai seminggu ini belum sama sekali.
itu dilihat dari manajeman pengadaan barang saja.
untuk manajemen SDM di sekolah dari SSN ke RSBI memang bukan tipe rekrutmen guru yang pintar dengan bahasa inggris, akan tetapi guru biasa dengan materi SSN+, nah plusnya disini adalah penggunaan bahasa inggris dengan sedikit di ruang kelas, bukannya 100% dengan berbahasa inggris.
mari kita semua memberikan penjelasan secara jelas kepada semua pihak dan terusterang dan jujur sajalah, pendidikan kita terpuruk jangan dibuat terpuruk lagi dari ketidak jujuran ini.
salam pendidikan Indonesia yang jujur dan maju.
He he he … ditengah euphoria sekolah “nginternasional” ini ternyata masih ada
yang waras juga. Pakai logika sederhana, common sense, orang selalu harus
menanyakan pada diri sendiri: apa tujuan mengajarkan satu SUBJECT matter …
jawabannya, ya supaya SUBJECT matter terswebut bisa dipahami sebaik mungkin oleh
si murid. Dan untuk mencapai itu “alat komunikasi” yang terbaik haruslah
dipakai: apakah itu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau kalau perlu bahasa
Jawa (bahasa ibu yang lain) kalau memang dirasa lebih efektip. Jadi, tujuan
pengajaran fisika adalah supaya si murid mengerti ilmu fisika, bukan supaya dia
pinta berbahasa Inggris — ada sendiri kalau tujuan itu, namanya pelajaran
bahasa Inggris.
Tentang keperluan teminologi bisa saja ditaruh dibelakangnya, diantara tanda
kurung seperti ini (as this). Textbook dalam bahasa Inggris juga bisa saja
dipakai, tetapi penyampain pelajaran tetap masih harus menggunakan bahasa dimana
komunikasi antar guru-murid paling optimal. Aku bayangkan betapa kacaunya, guru
fisika yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih minim (not uncommon in Ina) HARUS
ngajar pakai bahasa Inggris pating pecothot kepada murid-murid yang juga dalam
situasi yang sama. Hasilnya bisa ditebak, ilmu fisikanya jadi kacau balau
(banyak salah pengertian, ambiguity) sedangkan bahasa Inggrisnya juga masih
pating pecothot.
Sebetulnya soal belajar bahasa Inggris itu bisa dibilang urusan mudah (bukan
sepele, tetapi tidak sulit … 2-3 months should be enough to master the
language in communicative level). Problem orang dewasa adalah hilangnya rasa
percaya diri. Pengalamanku ngajar beberapa bahasa disini (aku lebih suka
menyebutnya “coaching”) mereka selalu datang dengan tipikal keluhan “I can’t do
that … I’m too old to learn … I don’t have time … I have to work two jobs
… dst. Beruntunglah anak kecil belum punya seribusatu keluhan seperti itu,
karena itu buat mereka “it’s a piece of cake.”
Tabik,
\KM/
Wah, pak, surat saya yang berbahasa Inggris (rada belepotan) jangan di online kan. Saya kirim ke email Anda pribadi loh, bukan untuk dibaca umum. Jadi malu.
Mungkin kalau di daerah guru bahasa Inggris salah ngomong baik pengucapan, tata bahasa maupun pilihan kata nggak pas, jarang ada yang sadar tuh murid-muridnya (maaf, ini tidak merendahkan anak-anak daerah). Tapi kalau guru itu mengajar di kota besar misalnya Jakarta, murid-murid banyak loh yang lebih pintar dari guru Bahasa Inggrisnya. Saya punya bukti empirisnya. Ngomong-ngomong pernah ada kah penelitian tentang kesuksesan pengajaran trilingual di Gontor atau di madrasah/aliyah lainnya? Kesuksesan yang saya maksudkan adalah dalam penyampaian content dan perkembangan Bahasa asingnya yang baik dan benar dari ketiganya. Mungkin bisa jadi bukti empiris untuk mendukung atau menghujat program internasional-internasionalan di sekolah-sekolah kita. Disini kita sudah banyak mendengar hearsay, bagaimana dengan bukti empirisnya? Pak Diding, bagaimana dengan hasil penelitian SBI mahasiswa Bapak? Bisakah dibagi-bagi ke kami yang di lapangan?
help…help….help..
Saya sedang meneliti perbandingan antara EFL local school textbooks untuk SMA negeri dibandingkan dengan EFL textbook yang dipakai oleh sekolah-sekolh internasional (yang ini yang bener-bener internasioanl misalnya German School dan Japanese School). Saya ingin membandingkan kualitas buku plus kondisi sekolah (the nature of school, class, and English teachers)nya. Saya sudah menghubungi kedua sekolah tersebut berkali-kali tapi nggak ada response. Saya perlu mendapatkan informasi tentang textbook apa yang mereka pakai dan cv guru Bhs Inggrisnya. Sampai sekarang, sudah dua bulan, belum ada jawaban dari mereka. Ada yang bisa bantu. Anyone? Please??
cerita/kisah ini saya alami sendiri, yaitu di sekolah adik saya..dengan XX School, dari namanya saja berarti hal ini merupakan sebuah bentuk iklan yang memang mnrt sekolah mereka menggunakan bahasa Inggris..tapi setelah saya coba melihat dan bertanya kepada adik saya..penggunaan bahasa Inggrisnya sangat terbatas. Ya, seperti yang ada di pengakuan tersbut, seperti hanya pada salam, kalimat2 dalam buku penghubung.
buku penghubung=buku yang isinya perintah untuk mengerjakan PR, dll. Dan hal saya cukup heran, setelah mencoba melihat buku tersebut. kalimat2 yang ada ditulis tidak berdasarkan dalam aturan kalimat bahasa yang benar..Seharusnya, sebagai bagian dari komitmen untuk menggunakan bhs Inggris sebagai second language di sekolah,guru harus dapat mengajarkannya dengan benar. Berhubung sekolah ini merupakan sekolah dasar.
Well,sepertinya sekolah2 yang mengaku bahwa sekolah mereka merupakan sekolah bilingual,benar2 dapat membuktikan kebenarannya..Apalagi sekolah2 seperti ini umumnya memasang biaya pendidikan yang cukup tinggi..It’s not worthy..
new comment on your post “Sekolah Bertaraf Internasional tidak berjalan deng…”:
Saya pendamping guru sbi di dua sekolah. Yang sering terjadi adalah:
1. dari hasil seleksi oral test, calon2 murid kelas bilingual 4 dari 6 calon murid Bahasa Inggrisnya lebih baik dari guru yang mewawancarai.
2. ketika mengajar dalam mata pelajaran matematika dan sejenisnya dalam bahasa ingg, murid tidak paham BUKAN karena keterbatasan bhs. ingg mereka TAPI JUSTRU KARENA KETERBATASAN BAHASA INGGRIS GURUNYA. Bahasa Inggris para guru ini incomprehensible buat murid.
3. mentraining para guru sbi ini sama susahnya dengan melatih 30 ekor keledai untuk menari salsa. Masalah utamanya bukan karena hambatan organ pengucapan, tapi karena mentality. Tipis sekali komitmen untuk memberi sesuai dengan apa yang mereka terima. Guru2 ini dibayar mahal (ada fee tambahan) tapi ogah belajar lagi. Padahal untuk les pun mereka gratis dan diberi ongkos transport. Ah sorganya.
Oh ya, Mas Gene…jangan salah sekolah negeri mungkin sama parahnya dengan swasta. Saya nggak heran sama sekali kalo semakin menjamurnya homeschooling. Salam
+ 3. mentraining para guru sbi ini sama susahnya dengan melatih 30 ekor keledai untuk menari salsa Wakakak…! Can’t help laughing. Udah lama tidak pernah dengar ungkapan ini.
So, apa yang bisa kita lakukan Gene? Mari kita kumpulkan orang-orang dan kita diskusikan apa yang sebaiknya kita lakukan. Rasanya saya semakin bersalah kalau membiarkan pembodohan bangsa ini diterus-teruskan dan kita tidak melakukan apa-apa selain ngerumpi di milis.
Mari kita bertemu dengan mereka yang sama-sama perduli dengan keadaan ini. Kita tulis dan dokumentasikan semua yang kita peroleh dan setelah itu kita ajukan petisi ke Mendiknas atau minimal ke Dirjen agar program ini direvisi.
Bisakah kamu dan Kang Diding mengomandani ini? Untuk tempat saya nanti akan minta bantuan Indosat di depan Monas.
Mungkin undangan terbatas dulu kepada anggta milis yang bisa datang dan setelah itu baru kita adakan seminar atau diskusi terbuka dengan judul : RSBI : Antara Mitos dan Fakta. 🙂
Salam
Satria
Ini diunduh darisitus diknas padang
Guru SBI Belajar ke Australia
Oleh arif
Selasa, 15 Juli 2008 11:39:05 Klik: 29 Kirim-kirim Print version download versi msword
Tak kurang dari 18 orang guru SMA bidang studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) di Sumbar akan dikirim ke Australia. Bukan tanpa tujuan, kunjungan tersebut dalam rangka mewujudkan sekolah berstandar internasional (SBI) di Sumbar tidak hanya merk, walaupun di dunia tidak ada SBI.
Ke-18 orang guru tersebut berasal dari lima SMA ber-SBI di Sumbar minus SMA 1 Lubuksikaping yang tidak mengirimkan wakilnya. Pengawas Dinas Pendidikan Sumbar, Fekrynur mengatakan SMA lainnya adalah SMA 1 Padang, SMA 10 Padang, SMA 1 Bukittinggi, SMA 1 Payakumbuh dan SMA 1 Padangpanjang.
Kunjungan tersebut adalah sebagai langkah pembelajaran untuk guru-guru tersebut untuk memberikan materi ajar yang ber-SBI. Walaupun di dunia tidak ada SBI, tapi kita harapkan lulusan sekolah di Sumbar mampu bersaing dengan sekolah setingkat di negara maju tersebut, harapnya.
Lebih lanjut Fekry mengatakan dipilihnya Australia karena negara tersebut adalah negara terdekat yang menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan dan pendidikannya. Ia menekankan bahasa Inggris karena memang bahasa tersebut adalah syarat mutlak untuk mengikuti pendidikan di dunia.
Walaupun konsep tersebut telah lama kita kenal, baru saat ini bisa terealisasi. Dalam kunjungan ini kita juga akan mengajak dua orang anggota Komis IV DPRD Sumbar agar mendapat tambahan dalam merumuskan kebijakan pendidikan Sumbar ke depan, jelasnya.
Sebelumnya, untuk sharing metode pendidikan ini telah diwujudkan dalam bentuk bulettin pendidikan tiap bulannya. Baru sebatas tertulis memang, makanya dilanjutkan dengan kegiatan ini. Sebagai tindak lanjut dari program ini, guru-guru yang telah kembali dari kunjungan ini diharapkan mampu membagi ilmu pada rekan-rekannya yang belum mendapatkan kesempatan.
Sumber: Padang Ekspres edisi Selasa, 15 Juli 2009, (dy)
Satu lagi lagi dari situs diknas padang:
SMK SBI DILENGKAPI CCTV
Drs. Burhamas Bur, MM
Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat
Sekolah SBI akan dilengkapai dengan CCTV, agar kepala sekolahnya bisa mengontrol kegiatan Proses Belajar Mengajar dari kejauhan. Diberikan LCD Projector, agar guru tak repot lagi menulis dipapan tulis dan tinggal menerangkan saja di depan kelas, serta juga dibantu dengan sejumlah dana back up dengan harapan program SBI berjalan lancar. Ingat, jika speed sekolah ini kencang menuju finish (SBI), maka akan semakin cepat terciptanya sekolah bertaraf internasional, untuk itu Diknas propinsi siap membantu SMKN 6 Padang.
Comment: kepsek pakai cctv mengawasi murid-muridnya??? Gmana murid bisa merasa dekat dengan beliau? Kok mimpin sekolah pake remote control gitu. Kepala sekolah atau makhluk halus? Bisa dirasakan keahdrannya tapi nggak bisa dilihat. Bisa melihat tapi nggak bisa dilihat. Lantas kepsek ngapain aja di ruang CCTV, mengambil alih tugas satpam ya?
saya bukan ahli dan pemerhati pendidikan, lebih tepat pernah merasa sakit hati dengan pendidikan di indonesia, sebagai bintang kelas dan anak wong melarat, dulu, serasa ada angin harapan segar berhembus ketika terdengar berita beasiswa, ternyata hanya anak2 PNS saja yg dapat beasiswa, faktor IQ, nomor 13.., ah belakangan saya baru tahu kalo anak-anak yg ortunya pernah menjadi napol dan tapol gak bakalan dapat beasiswa, apalagi bapak saya (alm) 1 tahun nginep di nusa kambangan sebagai tertuduh simpatisan G30/s/PKI..
Sekarang, saya miris juga ketika salah satu tetangga saya menawar harga laptop yg saya tawarkan untuk anaknya yg hendak masuk SBI karawang, saya ndak mungkin bunuh diri hanya karena ingin membantunya mempermurah sarana masuk SBI sang anak yg saya kenal memang ber IQ super, sementara si pencetus SBI dan para kapitalis pendidikan enak-enakan meraup untung dan popularitas..
Mestinya segala fasilitas itu gratis buat siswa yg memang udah bermodal kemampuan IQ tinggi namun gak berduit alias ortu kere..
Kasus lain, saya pernah membantu PR siswa SBI SMUN 1 karawang, lha ternyata soal2 yg diberikan oleh guru2 mereka, englishnya kacau balau amburadul berantakan gak karuan, tenses salah, apalagi common phrase.. “Udahlah mas, guru2nya gak bakalan ngerti, gak usah dibetulin englishnya..” kata sang siswa.
—————-
trim’s untuk tidak mensensor curhatan ini..
Pak Satria, pagi ini saya bertugas mewawancarai (oral test) calon siswa kelas bilingual yang cukup menyentuh perasaan saya
Interviewer: I student: S
(murid S memasuki ruangan interview dan duduk di depannya)
S: I’m sorry Miss, my English is not so good.
I: You don’t have to ask for apology if you can’t speak English very well. You aren’t an American or Canadian girl, right? And you weren;t born in ENgland, were you?
S: Of course not Miss. But I’m a bit nervous.
I: Why?
S: I don’t know.
(Wawancara berlanjut dengan S menjawab dengan sangat lancar dan bersemangat pertanyaan2 yag diajukan)
I: You speak English very well, far above the average. And your written test shows that you are among the best. If the school decides that you deserve joining bilingual class, what will you say?
S: I’m not interested at all [in] joining that class.
I: Why?
S: (smiling)
I: You don’t like English, do you?
S: No. I just don’t like be[ing] in that such class
I: You know what, I’m glad you tell me the truth. Do you have any bad experiences with any bilingual class before?
S: No. Hm..well…Actually I (would be) happy to [join the class]…hm…But..hm..hm.. my father is a driver.
Kalo bener yang diceritain Pak Satria di bawah ini saya cuma bisa
hua ha ha ha ha ha…toilet di di dalam kelas ha ha ha..kasihan
bener teman-temannya di kelas…ada kipas pembuangnya nggak? kan
nanti bau..belum kalo si hajat keluar ditemani angin yang terjepit,
hua ha ha ha… hmm..hmhgh haha maaf, maaf, maaf saya tertawanya
keterlaluan..
Di Indonesia kan banyak sekolah yang benar-benar internasional.
Kenapa nggak ngintip ke sana? Kirim surat minta ijin untuk observe,
mungkin boleh. Buat ngirit biaya kalau harus kunjungan kerja ke
Ostrali misalnya.
Atau kalau sungkan ke sekolah internasional yang bule, ke sekolah
nasional plus juga banyak (ada) yang bagus.
Saya bener-bener nggak kuat nahan tawa sekaligus prihatin.
Agung W
Di Daerah Saya, Banten – juga ada SMU yang mendefinisikan diri dengan kelas
International dan jawaban siswa nya juga sama, bedanya di AC dan Bahasa
Inggris ( ??). dan Di Sekolah Banten Mandiri – yang didirikan Pemda Banten
diPandeglang juga – mengklaim sebagai SMU standar Internasional, tapi saya
belum tahu bagaimana .
Tapi saya pernah berbincang dengan pejabat Diknas tentang sekolah
internasional, saya tidak mendengar istilah seperti TAFE, atau GCSE selain
pokoknya pelajaran bahasa Inggris.
was wes wossss…. was wesss.. wosss , bablas angine…..
Yuniar
Wah.. jadi geli saya ngedengarin cerita Bung Satria.
Saya sampe senyam senyum sendiri. Habis, lucu sih. Kok
bisa-bisanya mereka mengklaim kelas seperti itu
sebagai kelas percontohan bertaraf internasional.
Jangan-jangan yang kayak gini nih merembet ke
Balikpapan, Bung.
Kalau Bung Satria bingung mau ngomog kemana soal yang
kayak beginian nih, apalagi kita-kita ini yang nggak
punya akses apalagi ‘power’ ke pengambil kebijakan.
Kalau kepala dinas dikritik, bisa-bisa saya dipecat
he.. he… he…
Anyway, kalau pak satria mau dan punya waktu coba deh
sekali-kali ajak kepala dinas kita bicara soal ini.
Masalahnya beberapa waktu yang lalu saya sempat
mempertanyakan parameter yang dipakai untuk
mengklasifikasi kalau sebuah kelas bisa dikategorikan
‘interntaional class’. Kayaknya nggak jelas tuh
konsepnya. Boro-boro mengimplemetasikannya.
wassalm
SAZ
Cak, pertanyaanmu sama dengan yg aku ajukan saat
ngobrol dengan “pimpro” di diknas pusat, apa bedanya ?
jawaban cuma cengar cengir kok …. nah, karena kasian
dan tdk ingin dianggap sok tau, aku slimurkan (apa
bahasa indonesianya ya,…) ke topik lain. Itu 2 taon
lalu.
Nah, kalo penafsiran kelas Internasional adalah
seperti Bis Malam atau KA Argo Bromo, ya tidak salah
kok. Universitas saja yg menyelenggarakan kelas
Internasional agak sedikit sama, kelas AC, ngajar Bhs
Inggris dst… semua menawarkan simbul2 fisik, bukan
mutu dlm proses pembelajaran yg lebih “soft”
sebagaimana kita pahami. Pak Mochtar Buchori pernah
berang ke Sekolah Global Jaya ” apa hubungannya naik
kuda dengan mutu sekolah….” katanya, dan menarik
cucunya yg disekolahkan disana.
Aku melihat, itulah driven pasar (ortu yg punya duit &
ingin anaknya nginternasional) yg seringkali penuh
Snobisme. Aku adalah komuter Depok Jakarta dengan KRL
10.000an perak (Patas AC), disini aja, kita tdk bisa
membeli ketepatan waktu (sesuatu yg esensial) tetapi
bisa membeli kemewahan (pake AC, sesama penumpang
berdasi & wangi serta pake handphone canggih,
kondektur berjas licin… dll name it).
Nah, atas dasar itu pula Cak Satria, aku kan mati2an
ndak mau bikin2 yg beginian, mari kita bantuin beresin
sekolah2 negeri ini (seperti SQIPnya pak Satria) dgn
standpoint saat ini dan kekinian. Bagaimana mungkin
anda memperoleh mangga dengan buah yg banyak,
berdaging tebal serta manis, jika milik kita cuma
bibit mangga, sementara tanah yg TERSEDIA masih
berpasir.
Aku yakin, dari tanah berpasir menjadi gembur, perlu
waktu. Dari gembur menjadi cukup subur untuk bibit
tumbuh, perlu, waktu,…. ketika tanah itu sudah subur
dan bibit bagus serta DIJAGA DENGAN SEPENUH HATI,
jadilah pohon mangga yg kita inginkan (Sekolah
bertaraf Internasional).
Kita kan senangnya, tanam pohon yg sdh gede dan
ditancepin agar terlihat hidup, ketika akan diresmikan
oleh yg berwenang,… nah
AR
Hehehehe…. lucu juga ya pak kalo kelas internasional hanya sebatas fasilitas yang berbeda dengan kelas nasional. Gimana kalo kita ganti bis malam-nya dengan pesawat terbang? biar lebih kerenan dikit. kan ber-AC dan bertoilet juga …… hehehe
Daripada pusing mikirin kelas internasional, mendingan kita terusin wacana membedah kurikulum internasional, trus kita jadiin beneran deh tuh workshopnya. Dari sini, kita akan bisa lebih realistis loh, para siswa akan lebih siap menjadi manusia yang berwawasan internasional. Proses pembelajarannya nanti bisa mengadopsi konsep2 atau metodologi yang ‘nginternasional’ yang sepertinya bisa lebih menarik, dan lebih terbuka. Makanya kita undang orang2 hebat yang mampu membedah kurikulum tsb.
Dari paparan pak SD tadi, kelas internasional cenderung tidak fair. Setiap siswa harusnya mendapat kesempatan atau hak yang sama dalam mendapatkan fasilitas. Kenyamanan dalam belajar adalah hak mutlak bagi para siswa. Dengan kenyamanan dan fasilitas yang tersedia, proses belajar akan makin lebih menarik dan seru. Pasti pada semangat mengajar dan belajar.
Yang pasti sekolah internasional-lah yang sepertinya lebih masuk akal dimana siswa-siswinya memang berasal dari berbagai negeri dan mereka juga harus menggunakan bahasa Inggris sbg pengantar. Juga guru2nya.
Masih mission impossible kayaknya membuat kelas internasional yang emang bener2 bisa jalan dengan baik. Kita masih sangat cinta bahasa Indonesia. Mendingan kita biasakan dulu berani menggunakan bhs Inggris di lingkungan sekolah, baru kalo keliatan oke, kita ngomongin kelas internasional.
Ah… hanya sekedar uneg-uneg saya,
Jalu
Bogor
Yah mau apa lagi, ini memang cerminan birokratisasi pendidikan yang
kebablasan dan tanpa imajinasi. Malah kalau terus dikorek-korek ke
dalamnya (khusus sekolah negeri), maka memang ini hal yang paling
gampang diprediksi. Memang menyedihkan. ‘Driven pasar’ (ortu berduit)
sebetulnya bisa didikte oleh sekolah, misalnya untuk suatu hal yang
lebih sekedar pamer fasilitas; tapi memang nyatanya sekolah favorit
yang naik kelas jadi ‘internasional’ pun modal aslinya juga memang
bolong-bolong :).
Saya juga rada sangsi kalau yang begini bisa dijungkirbalikkan, banyak
pihak (yang powerful) sangat menikmati situasi diskriminasi ini. Tapi
memang supaya bisa menotok secara lebih ‘sadis’, cerita pak Satria
memang perlu terus dikupas mendalam, apalagi kalau pake peneliti
bermata biru. Minimal terkesan netral dan memberi pigura lebih jernih,
dan semoga tidak terulang terus sahwat nginternasional ini.
Bambang
Jaman kita dulu tidak ada sekolah internasional tapi tidak sedikit
orang-orang Indonesia yang berhasil menyelesaikan gelar S2 bahkan S3 di
universitas2 ternama di LN. bahkan dengan nilai yang memuaskan. Apakah
harus dengan cara itu ?
Saya sarankan bapak kirim tulisan di Koran (Saya juga pernah baca di
Kompas tulisan dari salah seorang pendidik yang tidak setuju dengan
berlakunya kurikulum baru dan besoknya langsung dapat tanggapan dari
pengamat pendidikan n Depdiknas)
Harif Winanto
Kanto Bank Indonesia
Jl. Jend. Sudirman No. 20
BALIKPAPAN
Yang dituturkan pak Satria adalah realitas, yang dimimpikan Depdiknas
adalah idealitas. Memang selalu ada gap dan kita harus berusaha
mendekatkannya. Saya memahami keprihatinan pak Satria tetapi tidak
sepenuhnya sependapat pernyataan beliau Sekolah Internasional adalah
‘total failure guarantee program’. Paling tidak kita mesti melihat
perbedaan kemampuan conversation meskipun belum begitu ideal.
Bahwa materinya inti pelajaran yang disampaikan via English sedikit
banyak terganggu, yah memang demikian proses yang harus dilalui. Melayu
Singapura pernah melalui tahapan ini ditahun 70-an dan mereka berhasil
karena tidak menyerah dengan membubarkan sekolah internasional.
Sama juga dengan program pak Walikota mengirimkan puluhan orang guru ke
Australia yang saat ini kurang terperhatikan. Bukan program
pengirimannya yang salah tetapi konsistensi programnya yang kurang.
Jadi marilah bersama kita tetap mendukung upaya peningkatan kualitas
antara lain melalui sekolah Internasional. Kalau kita kumpulkan semua
guru berkualitas yang pernah dikirim ke Australia, yang hitungan kami
sekitar 30an orang, merealisasikan Sekolah Internasional di Balikpapan
(without toilet inside) bukan kemustahilan bagi seorang Satria
Pendidikan Nasional. Mohon maaf Mas Satria.
Wassalam
M. Rifai
mrifai@upv.pertamina.co.id
Tulisannya mas satria sudah lama tapi saya masih ingin berkomentar. Sebetulnya boleh-boleh saja pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan standar pendidikan ke standar internasional. Tapi caranya tidak memakai jalan pintas dan sepotong-sepotong seperti SBI dan mengkotak-kotakkan dunia pendidikan dengan memberikan label sekolah-sekolah unggulan. Saat berada di toko buku tadi sore, saya melihat beberapa buku pelajaran SMP/SMU khusus untuk kelas bilingual (SBI), sejarah, kewarganegaraan dan matematika, saya iseng membaca isinya karena penasaran sekali ingin tahu (anak saya sekolah di sekolah swasta biasa bukan bilingual, karena teman saya begitu semangatnya mempromosikan SBI karena anaknya termasuk yang terpilih masuk kelas SBI. Buku teks matematika tidak terlalu istimewa karena memang hanya soal jawab biasa tidak ada penjelasannya, akan tetapi begitu membalik beberapa halaman buku teks kewarganegaraan dan sejarah saya menjadi termangu. Kualitas bahasa Inggris di buku itu sangat buruk, banyak kesalahan tatabahasa yang membingungkan, pilihan kata-kata yang dipakai adalah bahasa percakapan sehari-hari, bukan bahasa akademik yang seharusnya diperkenalkan lebih dini kepada anak-anak ini. Bagaimana anak-anak bisa mengerti apa yang diajarkan dan diharapkan dapat bersaing dengan sebayanya di sekolah swasta yang menerapkan cara belajar aktif dan bilingual kalau mereka sama sekali tidak diperkenalkan dengan semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan model tersebut. Pembelajaran dilakukan dalam bahasa Inggris bukan berarti otomatis menjadi sekolah bertaraf internasional. Apa gunanya satu paragraf dalam bahasa Inggris kemudian langsung diikuti teks bahasa Indonesia, sangat mengganggu konsentrasi anak didik. Saya tidak berpretensi bahwa bahasa Inggris saya sangat hebat karena memang bukan bahasa ibu dan tidak berpendidikan luar negeri, saya juga bukan guru jadi tidak berpretensi mengetahui cara mengajar yang baik. Akan tetapi, pada saat kuliah (di dalam negeri)pengajaran dilakukan dalam bahasa Indonesia tetapi semua buku teks dalam bahasa Inggris, jadi saya tahu betul bagaimana seharusnya buku teks itu dibuat, bahasa yang dipakai adalah bahasa akademik yang sama sekali lain dari bahasa percakapan sehari-hari seperti yang dipakai dalam buku-buku teks tersebut. Saya tidak tahu siapa yang salah, tetapi sungguh sayang sekali anak-anak pilihan ini, mereka tidak mendapatkan lebih dari yang didapatkan oleh teman-teman lainnya yang berada disekolah reguler. Kepandaian mereka tidak dapat dimaksimalkan karena tidak dipersiapkan dengan baik, sungguh sayang sekali. Menurut hemat saya, peningkatan mutu pendidikan bukan berarti belajar dilakukan dalam bahasa Inggris, akan tetapi cara pembelajaran itu dilakukan, seharusnya siswa didorong untuk menjadi kreatif, kritis, dan berani berpendapat, serta didorong untuk menemukan bakat dan keahliannya sejak dini. Tidak seharusnya murid dijejali dengan segala macam informasi yang, sebagian besar, tidak akan dipergunakannya lagi pada waktu kuliah dan bekerja. Mengapa kurikulum tidak dibuat menjadi lebih menghargai keberagaman kecerdasan anak? mengapa anak yang berbakat dibidang sosial harus juga terus belajar ilmu eksata tingkat lanjut? Anak menjadi tersiksa karena tidak mampu mengerti rumus-rumus kalkulus dan kimia yang terlalu ruwet bagi mereka, sungguh banyak waktu terbuang dalam sistem pendidikan kita sekarang. Jenius-jenius kecil terlambat diasah karena terhambat sistem pendidikan yang menyeragamkan kecerdasan semua anak. UAN menyebabkan semua pihak tertekan, termasuk sekolah yang prestasinya diukur dari jumlah kelulusan murid. Sekarang semua sekolah, mau negeri maupun swasta, menyelenggarakan pemantapan mata pelajaran yang diujikan dalam UAN mulai dari semester satu ! murid dipaksa datang lebih pagi dan pulang lebih sore karena harus mengikuti bimbingan tes disekolah. Orang tua terpaksa mengikutkan anaknya les tambahan di lembaga bimbingan tes karena takut tidak lulus UAN. Kasihan saya melihat anak saya kecapekan pulang sekolah tiap hari, walaupun rumah dekat sekolah dan hanya memerlukan waktu 15 menit sampai di rumah, dia baru pulang jam 5 sore, berangkat dari rumah jam setengah tujuh pagi. Sampai rumah mengeluh capai, bagaimana dengan murid-murid yang rumahnya jauh dari sekolah? sungguh sedih saya melihat carut-marut pendidikan kita sekarang. Kalau melihat ke belakang, pendidikan kita sebetulnya tidak jelek-jelek amat, banyak orang terkenal di Indonesia sebetulnya adalah hasil pendidikan dalam negeri, Ibu Sri Mulyani yang disegani di dunia internasional adalah lulusan UI dan baru melanjutkan pendidikannya ke luar negeri ketika mengambil paska sarjananya. Kenapa kita harus merusak yang sudah bagus? kenapa tidak memelihara dan meningkatkannya dengan lebih baik dengan meningkatkan mutu guru, mutu fasilitas pendidikan, dan merubah cara ajar menjadi lebih dua arah? Maaf, ini memang malah jadi keluhan orang tua yang sudah basi dan membosankan, tapi sungguh saya tidak habis mengerti apa yang dipikirkan oleh para pembuat keputusan di DIKNAS sekarang ini.
Pak Satria Yth.
Sorry kalau saya baru ikutan nimbrung soal SBI, namun saya mencoba urun rembug tentang pelaksanaan SBI atau RSBI ini.
1. Disadari penunjukkan RSBI maupun SBI tidak melalui tahapan evaluasi yang baik dan benar, sehingga banyak sekolah yang sebenarnya berdasarkan standar fasilitas maupun SDMnya masih masih di tingkat SSN tapi “dipaksa” menjadi SBI dan atau RSBI.(Siapa ya yang mengajukan konsep nggak jadi ini?). Saya pun khawatir ini diikuti oleh Depag dengan program MBInya..?????
2. Label SBI dan atau RSBI memang membawa beban guru yang teramat besar, sementara kemampuan penguasaan content atau subject matter nya saja belum cukup, dipaksa sekarang harus belajar berbahasa Inggris (lagi!!!), sementara usia mereka tidak memungkinkan perubahan ini dengan serta merta. Sementara “keuntungan” dari pelabelan nama tersebut belum tentu memberikan dukungan terhadap kebutuhan peningkatan “skill yang lain” dalam berbahasa bagi kebanyakan guru.
3. Mungkin kita harus instrospeksi dalam memberikan arti “bertaraf internasional”. Definisi ini masih banyak yang salah mengerti. Saya termasuk yang tidak suka dengan label itu. Karena saya meyakini (sudah melakukan berbagai kajian kurikulum dari berbagai negara) untuk ukuran kurikulum kita saya yakin sudah “internasional”, yang belum adalah bagaimana guru memberikan layanan yang maksimal untuk pengembangan potensi siswa dalam pengusaan ilmu pengetahuan, sembari dibekali hidden curriculum atau soft skill seperti communication skill, honesty/integrity, team work skill, interpesonal skill dan strong work ethics, sehingga mampu menjadi ‘warga dunia’. Lalu apakah komunikasi dalam bahasa Inggris “amat” penting di kelas. Saya lebih cenderung pada membiarkan anak berkembang kemampuannya dan guru memberikan bimbingan yang baik dan benar sembari memfasilitasi ke arah mana tujuan pendidikan dan hidup siswanya, tanpa bersusah payah berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang “masih banyak salahnya” dan akhirnya ‘content”nya tertinggal. Oleh karena itu saya masih yakin (kebetulan saya juga juri di World wide innovative teachers di tingkat regional asia pasifik dan internasional dalam dua tahun ini) kualitas guru kita tidak kalah dengan guru “londo” walaupun masih ada language barrier yang amat besar. dan itu sudah terbukti dengan keberhasilan guru-guru kita selama 4 tahun ini dalam Innovative Teacher competition tersebut.
Bravo guru Indonesia… saya yakin Anda sudah internasional… cuma belum bahasanya…
Saya sangat terkesan dengan pendapat ibu anie. Rasanya kita berbagi kecemasan yang sama dengan pendidikan anak-anak di sekolah negeri. Saya mau sedikit berbagi cerita tentang sekolah yang konon berlabel ‘internasional’ ini. Bayangkan sekelompok guru sains dan IT yang telah mengajar lebih dari 20 tahun, usianya berkisar antara 40-50 tahunan. Mereka sekarang diwajibkan belajar Bahasa Inggris (tapi bukan bahasa Ingris akademis untuk mengajar melainkan Bahasa Inggris umum), mereka dicemplungkan ke dalam workshop dan seminar (yang umumnya diselenggarakan oleh penerbit buku asing) nggak ada habis-habisnya untuk, katanya, merubah gaya mengajar dan lidah mereka agar terlihat internasional. Akan tetapi begitu kembali ke sekolah, mereka kembali pada bawaan oroknya.
Memang betul saya menemukan paling tidak satu dua pengajar yang briliant di setiap sekolah RSBI yang saya kenal, meskipun bahasa Inggrisnya blepetan dikejar usia tetapi mereka semangat untuk bertanya dan meningkatkan kualitas pengajarannya. Tetapi jumlah mereka tenggelam oleh sejawatnya yang tidak punya minat meningkatkan profesionalisme kecuali meningkatkan penghasilan.
Adapun mengenai penggunaan buku bilingual yang memang untuk saat ini paling populer di kalangan pengajar RSBI. Format penulisan, tatabahasa, dan terminologi yang digunakan penulis sering kali ajaib. Tidak perlu orang pintar bahasa Inggris untukmengatakan buku bilingual ini menyesatkan, murid-murid saya sendiri sering mengeluh mereka tidak suka membaca buku dwibahas yang selang seling. Melelahkan. Mereka lebih senang membaca buku yang sepenuhnya berbahasa Inggris. Tetapi anak-anak yang bahasa Inggrisnya terbatasS merasa cukup terbantu. Seringkali bahasa Inggris buku jenis ini bergaya ‘little little I am salary no up up” menggunakan kosa kata asing tetapi struktur kalimat tetap bahasa lokal. Sebagi contoh, di buku biologi sistem pengangkutan tanaman diterjemahkan dengan transportation system. Setelah saya cek di online Biology glossary, kamus dan ensiklopedia Encarta, istilah transportation system tidak dikenal dalam kajian tanaman. Istilah yang sebenarnya adalah vascular system. Begitu juga gelas labu (perangkat praktikum kimia), diterjemahkan pumpkin glass yang seharusnya bahasa akademisnya volumetric glass.
Akan tetapi, untuk saat ini buku jenis inilah yang paling favorit dikalangan pengajar bilingual. Sebenarnya sekolah sudah menyediakan referensi pelajaran terbitan Cambride untuk sains, matemtika, dan IT. Tetapi karena faktor keterbatasan Bahasa Inggris para pengajar, buku-buku ini nyaris jarang disentuh guru. Nampaknya peminjaman buku Cambridge ini lebih banyak dilakukan murid (dari perpustakaan sekolah) dibanding guru (yang sudah disediakan sejangkauan tangan di ruang guru).
Tetapi ibu anie, dari hasil pengamatan saya sehari-hari dengan anak-anak RSBI dari beberapa sekolah, saya melihat kebesaran hati mereka untuk memaklumi keterbatasan para guru. Mereka tetaplah anak-anak yang santun, yang hanya bisa senyum-senyum dikulum ketika gurunya mengucapkan “eks ntu nde mpower op nteri”. Mereka tahu kok yang dimaksud guru ini adalah “x to the power of three” alias x pangkat tiga. Sangat mudah bagi saya untuk mengajarkan cara membaca perpangkatan kepada siswa, tetapi butuh kesabaran segunung melatih hal yang sama keapda guru matematikanya yang lidahnya mudah kelu kalau dpaksa berbicara bahasa Inggris lebih dari 5 menit.
Inilah keberuntungan anak-anak kita yang lahir di zaman digital. Sekolah bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Jika kita dapat mengalihkan pengharapan mereka untuk tidak menjadikan guru sekolah sebagai satu-satunya sumber ilmu, mereka akan menunjukkan ah…betapa luarbiasanya mereka. Jika kita beri mereka kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatkan akses pada sumber-sumber ilmu berupa buku-buku bacaan yang berbobot dan akses internet. Wuiih…ibu bakal meriding melihat betapa mereka lebih pantas berdiri di depan kelas dibandingkan kami, guru-guru mereka.
Beberapa bulan lalu, saya sangat frustasi dan hampir menyerah. Ide sekreatif apapun yang ada dikepala untuk membantu sekolah dalam melaksanakan program ini, tetapi menjadi konyol begitu dihadapakan pada kenyataan betapa tidakpahamnya kepala sekolah dan guru-guru pada makna ‘berstandar internasional’. They see the school the way they want to see it, not the way it is. Dari hasil test TOEIC yang dilakukan seluruh guru sudah sangat mengindikasikan jauh panggang dari api. Tetapi toh program ini bergulir terus dan dana terus digelontorkan pemerintah untuk proyek mercusuar ini.
Saat ini di kelas bersama murid-murid saya, banyak hal yang dapat saya lakukan selain mengeluh. Rasanya energi saya akan jauh lebih bermanfaat kalu digunakan untuk mencari solusi dengan langkah-langkah kecil semampu saya untuk membantu murid-murid. Saat ini saya melakukan langkah-langah kecil untuk mencegah siswa menjadi korban proyek mercusuar RSBI ini, karena saya melihat gelas yang terisi setengah penuh di mata murid-murid saya, bu.
siang pak…saya mhsw psikologi ubaya yg sedang menyusun skripsi dg topik pengaruh “persepsi siswa smu negri terhadap program sekolah bertaraf internasional di surabaya” maka dari itu pak…saya butuh bantuan bapak mengenai referensi atau buku2, penelitian yg bisa membantu saya….krn jarang sekali ditemukan penelitian mengenai topik yg saya angkat…skali lg tahanks…
n saya sangat berharap bapak bisa membantu saya…
wass,
Insya Allah nanti saya bantu dengan mencarikan dokumen tentang RSBI ini. Rasanya saya punya bahannya tapi adanya di kantor saya di Jakarta (sedangkan saya tinggal di Balikpapan saat ini). 🙂
Salam
Satria
berhubung penelitian tuk skripsi mengenai RSBI, saya mohon bantuannya mengenai kajian teori mengenai RSBI, karena saya kesulitan kesulitan mencari buku mengenai RSBI yang sedang digalakkan d persekolahan yang ada di jogja terutama tingkat SMP
oh ya pak, bagaimana penerapan teknologi pembelajaran di RSBI. Apakah teknolog pembelajaran yang diterapkan disana setingkat internasional, saya mohon bantuan mengenai referensi tentang RSBI . semoga bapak sudi untuk membantu saya. thanks
Setahu saya RSBI ini tidak punya dasar teori dan bahkan tidak ada penelitian awalnya. Yang ada hanya manual yang menjelaskan dasar pemikirannya. That’s all!
Jadi biar diuber sampai ke direktorat ya tetap tidak akan ketemu dasar teorinya. 🙂
Salam
Satria
Pak Satria,
Bontang juga sedang kebelet “ngiternasional”kan sekolah-sekolahnya. Masa di Bontang aja maunya ada 4 sekolah yang RSBI. Tetapi ketika ditanya seperti apa deskripsi dan konsep RSBI tersebut atau rencana-rencana untuk mencapai idealisme tersbut, gak ada yang jawab. Tolong pak diberi penjelasan wong-wong iku!
Pak Achmad, itu menunjukkan bahwa mereka sebetulnya hanya terpukau pada istilah-istilah dan tidak perduli dengan esensinya. Lagipula, mungkin mereka tertarik dengan iming-iming dana penyelenggaraan sekolah ini yang ratusan juta setiap tahunnya dan sekaligus kebebasan untuk menarik uang sekolah dari orang tua. Ini semua membuktikan bahwa sekolah-sekolah kita telah kehilangan idealismenya.
Salam
Satria
Wah sekolah kami (SMP swasta) baru mau mulai RSBI tuch Semester depan (July 2009 ini). Tim Kami Alhamdulilah still young & fresh graduate dgn English yang lumayan.Jadi ngga ada tuch guru pendamping & training. Kami maju dengan modal PD abiss. The show must go on. No extra money, no incentive, we are paid under RSBI standard. But keep smiling keep shining. Namanya juga masih muda…
menurut hasil penelitian selama 3 bulan di salah satu kelas RSBI SMP di Yogyakarta saya bisa menyimpulkan bahwa dalam penyelenggaraan RSBI disana sama halnya dengan kelas bilingual.
data yang saya dapat sebagian besar guru RSBI mempunyai keterbatasan dalam penguasaan b.inggris & ICT.beberapa siswa mengeluhkan kesulitan dalam memahami materi yang disampaikan guru yang menggunakan bahasa Inggris.
kurikulum di kelas tersebut juga sebenarnya sama dengan kelas reguler yaitu KTSP.kepala sekolah di SMP tsb mengungkapkan bahwa unsur X (dalam SNP+X) adalah unggul penguasaan bahasa inggris dan kemampuan ICT.
sedang dalam penerapan Teknologi pembelajaran yang ada disana saya bisa menyimpulkan kurang optimal, baik dalam kawasan pengolaan,pemanfaatan,dan pengembangan. padahal penerapan teknologi pembelajaran sangat penting guna mengoptimalkan kualitas mengajar dari guru misalnya. usul bagi semua sekolah RSBI di seluruh indonesia dalam penyelenggaran RSBI semua guru harus/wajib menerapkan teknologi pembelajaran dengan baik, jangan cuma teori saja n jangan salah kaprah bahwa arti teknologi pembelajaran itu hanya yang berhubungan perangkat keras saja.
benar nggak pak? oh ya pak klo bapak mempunyai bahan tentang dasar pemikiran RSBI atau RSBI saya minta tolong kirimkan ke alamat email saya adsvanze@yahoo.com
makasih
saya seorang ibu yg kebetulan anak laki-laki saya cukup berprestasi. sekolah di sd al azhar smg. rencana mau masuk rsbi yg nampaknya insya Allag diterima. Dgn melihat ekonomi indonesia saat ini dimana biaya PTN juga tinggi (kedokteran 200 jt) dimana saya berharap anak saya kelak menjadi praktisi it. Saat ini saya mengamati lulusan indonesia sulit mencari kerja di indonesia dan kalaupun dapat pekerjaan tdk mencukupi. Bijaksanakah saya jika menyekolahkan anak saya di sekolah int siste.m cambridge dgn harapan S1 anak saya di singapore. Padahal spp sekolah tsb 3.5 jt sebulan. itung-itung investasi betulkah? kalau kerja di LN kan gajinya mencukupi. Sebagai catatan keuangan saya juga pas-pasan, bukan bermercy dgn penghasilan berdua kurang dari 12 JT perbulan. Apakah cita-cita saya terlalu berlebihan. Jangan anggap saya tdk nasionalis..justru saya tdk ingin membebani indonesia yg saya harapkan bisa menghidupi generasi anak saya.
SBI ini memang ‘proyek’ ancur2an, sy justeru mempertanyakan pengambil kebijakan yg standar internasional itu apanya? materi dalam bahasa inggris? kalau itu sahaja tidak cukup layak digarap sbg program nasional, belum lagi permasalahan yg muncul terkait bhs inggris guru spt yg disebutkan pak SD diatas. Kemudian standar internasional yg mana? mau berkiblat ke internasional belahan mana? sistem pendidikan Amerika, Jepang, Singapur, Eropa, Australia atau luar negeri yang lain beda-beda, setau saya Eropa lebih manusiawi dan menekankan aspek kualitatif, Jepun dan Singapure tensi tinggi, US Australia lebih menekankan aspek kuantitatif, dan lagi, masing2 negara itu punya persoalan pendidkan yang khas, sebagaimaan Indonesia juga PASTI punay kekhasan. Mungkin siy yang namanya taraf internasional itu tarifnya :))
Apa siy manfaatnya jor-joran mengejar status internasional?! emang bakal diakui dunia? emang bakal di acknowledge scientist atau pakar pendidikan dunia?!
Ingat loh ada dana besar yang digelontorkan, dan ini TIDAK ADIL, untuk anak-anak yang bersekolah di sekolah2 swasta yang bukan swasta elit, mereka ekonomi sulit, bayar sekolah tinggi, angka kelulusan jg secara umum kalah dibanding sekolah negeri, kenapa bukan standar sekolah mereka yang dinaikkan, sekolah2 dibawah standarlah yang seharusnya dipelihara pemerintah, di support habis2an untuk menaikkan kualifikasinya.
Ngeri..makin kacau aza nie negara.
wass,
Ibu Didin
Ibu Rumah Tangga, Praktisi IT, Student
Salam kenal Pak Satria.
Saya mahasiswa S2 Pendidikan di University Kebangsan Malaysia. Say baru saja dapat kesemptan dari Ford Foundation untuk ambil master di UKM sini. Saya sediiih melihat proses blajar mengajar di salahsatu kampus terbaik malaysia ini jauh di bawah standar di Indonsia. saya menyesal memilih negara ini karena ternyata faktanya indonesia saya rasakan lebih baik (S1 saya di UNJ Jakarta). di negara ini pun mencuat isu yang sama yang disbt PPSMI yakni pengajaran matematika dan sains dg bahasa inggris dan banyak pula yg menentangnya. sekolah saya adalah sekolah kejuruan yang juga statusnya SBI. saya yakin jika sekolah kejuruan jarang ada yang mau melanjutkan karena kebanyakan murid-murid saya berlatarbelakang orang tak mampu. saya ingin sekali mengevaluasi program SBI ini untuk dapat menjlaskan kepada pembuat kebijakan di tingkat kabupaten (minimalnya) bahwa SBI bukan identik untuk anak-anak orang berpenghasilan tinggi.saya pernah juga menjadi salahsatu pengajar di SMA 1 Tambun Selatan tapi batin saya tertekan karena saya lihat para pejabatnya semakin kaya sementara kami guru-gurunya hanya dituntut kerja ekstra. saya yakin semua yang setuju SBI mengambil untung dari proyek ini. Oleh sebab itu saya sangat ingin menulis penelitian tentang kegaglan SBI ini tapi dan saya kurang bahan untuk memberikan argumen, data dan fakta bahwa program ini salah. Ford foundation akan membiayai penelitian saya ke negara manapun di seluruh dunia asalkan tujuan riset saya jelas dan terukur. saya rasa sekaranglah saatnya saya berbuat sesuatu untuk bangsa. saya mohon nasehat bapak di email saya :verawati_smkn277@yahoo.co.id. Ke negara mana saya seharusnya melakukan penelitian? saya ingin membuktikan bahwa program ini memang KURANG TEPAT. Terimakasih sebelumnya, semoga penelitian saya akan bermanfaat, minimal ntuk kabupaten saya, yakni BEKASI.
Salam kenal buat mas ahmad ridwan.
Jika anda telah banyak membaca dan mengkaji kurikulum SBI, mohon berikan info dimana saya bisa mndapat sumbr-sumber trsebut. terima kasih, hidup kurikulum indonesia! saya bangga menjadi WNI.
Dear all pengelola sekolah RSBI (atau SBI),
Berikut ini saya kirimkan sebuah e-mail dari Bambang S. PhD, dosen
UTM di Johor Malaysia yang baru saja mengikuti seminar tentang penggunaan
bahasa Inggris di sekolah.
Tolong dibaca baik-baik dan resapkan. Jangan sampai kita ikut terjerumus hanya
karena tidak berani berkata tidak.
Semoga kita tidak mengalami kehancuran hanya karena latah dan tidak mau belajar
dari kesalahan.
salam
Satria
Kepada semuanya, kebetulan sore tadi saya ikut seminar tentang pengajaran sains
dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia [disini disebut PPSMI] yang akan
dihentikan pada 2012 nanti. Dari berbagai paparan dijelaskan bahwa
dimunculkannya itu memang terlebih sebagai ide dari seorang saja, yaitu Mahatir,
di ujung pemerintahannya dulu, tahun 2002. Ibaratnya, untuk menumbuhkan hal yang
baru maka perlu membinasakan yang lama [model yang kerap dipakai beliau saat
menjalankan pemerintahannya] . Para hardliner penentangnya dari awal memang
sudah ramai-ramai menunjukkan berbagai dampak yang bakalan terjadi (tergerusnya
identitas bahasa dan bangsa, penurunan pemahaman pelajaran sains dan matematik,
menurunya prestasi pendidikan, ketidaksiapan guru dll). Tapi bukan Mahatir kalau
tidak keukeuh-peteukueh (Sunda: keras kepala), yang ternyata kebijakan itu
ditetapkan tanpa merubah berbagai regulasi yang berhubungan dengan politik
bahasa nasional seperti mengenai
bahasa pengantar di sekolah, buku teks dan ujian dll, singkatnya ini syndrome
Malaysia Boleh-ness (Melayu: boleh = bisa).
Dari satu hasil riset skala besar yang diterangkan (melibatkan pakar dari
sembilan universitas negeri disini dan lebih dari 15 ribu siswa), PPSMI ini
memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan pendetusnya. Yang bisa survive
hanya sekolah yang berada di kota besar dan sekolah berasrama di kota; jenis
sekolah lainnya nyaris tanpa ampun terjadi degradasi penurunan mutu. Misalnya
disebutkan jumlah siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian nasional
Malaysia (UPSR di tingkat SD dan SPM di tingkat SMA) [disini ujian nasional ada
juga, tapi penyelenggaraannya sangat ketat dan tidak ada yang berani main mata
seperti di kita], populasinya menurun [yang mendapat nilai A, sekitar 90%
menjawab benar]; yang meningkat hanya populasi yang mendapat nilai C. Jurang
prestasi antara siswa di kota besar dan daerah lain (kota kecil, desa dan
pedalaman) pun makin besar. Yang mencemaskan bagi puak Melayu adalah, populasi
siswa di kota besar yang berprestasi bagus
itu mayoritas justru keturunan Cina bukannya bumiputera. Praktek yang terjadi
di kelas pun bukan menggunakan Inggris sebagai bahasa komunikasi, namun lebih
pada menggunakan kata Inggris dalam kalimat dan konteks Bahasa Melayu. Tidak
aneh bahwa ini dianggap sebagai model kebijakan kontoversial yang sekaligus
membasmi kemampuan Berbahasa Ibu (bahasa Melayu), Bahasa Inggris dan juga
pemahaman terhadap sains dan matematik.
Dijelaskan juga fakta yang ada bahwa guru-guru di Malaysia pada saat program ini
dimulai, tahun 2003, memang tidak didisain untuk mengajarkan sains dan matematik
dalam English, sehingga ‘akrobat’ penggunaan English setiap hari terjadi di
kelas sains dan matematik; yang tentunya membawa dampak membekas bagi siswa
bahwa sains dan matematik sebagai pelajaran menakutkan dan susah dipahami. Hal
yang wajar berhubung ketidakpahaman semantik memang berlanjut pada kegagalan
syntax.
Gejala di Indonesia adalah justru sedang ke arah yang sebaliknya, khususnya
dalam program RSBI; dimana guru MIPA diarahkan untuk berkomunikasi dalam
English, menyiapkan administrasi pelajaran dalam English dan bahkan mengevalusi
belajar siswanya pun dengan English. Kalau dengar cerita kegagalan PPSMI di
Malaysia yang memang didukung dana mencukupi dan training intesif saja begitu,
apalagi di RSBI yang cuman dapat tambahan ‘modal usaha’ Rp 0,5 M per tahun? tapi
siapa tahu kita kan penuh akal, modal nekat dan tentu berani :).
wassalam,
Bambang
Kalau mau baca lengkap dengan bukti penelitiannya bisa dilihat di sini.
Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematik dalam Bahasa Inggeris
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Pengajaran_dan_Pembelajaran_Sains_dan_Matematik_dalam_Bahasa_Inggeris#Hasil_dan_reaksi
wah bagaimana nanti nasib Bahasa Indonesia
klo semuanya serba Inggris
jadi inget lagunya Jambrut Asal British
…ya teranga aja seleramu berubah
mungkin terlalu banyak gaul sama turis
jadi hobinya ngonomng yang inggris-ingris
biar bingung asal british….
pak satria,,terima kasih atas tulisannya ini..tulisan bapak menginspirasi saya untuk menganalisis artikel mengenai SBI ini,,semoga ke depannya pendidikan di Indonesia dapat lebih maju dan orang-orang lain pun dapat lebih menyadari ketertindasan dan penjajahan akan pendidikan kita melalui program seperti ini….
pembahasan pak satria bener bgt.banyak sekolah yang “ngakunya” SBI dengan memakai nama sekolah kebarat-baratan ditambah embel2 International atau preschool, dengan mematok harga memakai US Dolar, dan pake bahasa inggris 100%. tapi coba tengok pendidikan gurunya, fasilitas sekolahnya, dan tanya memakai kurikulum International apa di sekolah itu, pasti kita bakal geleng2…kok berani buka sekolah “ngaku” SBI tapi kualitasnya indonesia banget. dan itu adalah bom waktu yang bakal jadi boomerang.
mengerikan memang pendidikan di indonesia saat ini.bisanya cuma ngekor aja.ikut2an tren.biar dibilang kerrennnn
Salam kenal pak Satria,
Saya bukan pesimis, akan tetapi belajar dari pengalaman, sampe kapanpun kalo seperti ini terus-menerus Negeri tercinta kita ini tidak akan pernah maju2, walaupun kita lari sekencang2 nya. karena negara lain pun berpikiran sama, harus berlari kencang, nah kalo kita lari kencang tapi tidak dapat berkaca diri kemampuan diri kita sendiri. ya tetep ketinggalan.
Seandainya kita bisa berlari tetapi estapet,,,,belajar seperti acara pertandingan yang selalu di pertandingkan pada saat Hari Kemerdekaan Kita….. Tarik tambang…..Panjat Pinang… dll. Disitu kita baru tahu yang namanya kerjasama…
Nah kenapa kita tidak dapat mencontoh kegiatan seperti diatas.
Gini loh pak, Unek2 yang paling kesel saya pada Pendidikan sekarang, BUKU2 nya yang adik2/terdahulu itu gak pernah dapat digunakan kembali (Mubazir), alesanya ada buku baru……..walahhhhhhhhhhhhhhh walah…. padahal intisarinya itu2 aja. Beda penerbit Beda KOMISI.
Gimana Pak Satria….. What Should We Do…..
Salam kenal balik. 🙂
Kepala sekolah dan guru yang masih mementingkan kepentingan dirinya seperti ini meski jelas-jelas bertentangan dengan hati nurani dan logika sehat sebetulnya sedang melakukan ‘bunuh diri’. Tapi yang mati nanti adalah anak cucunya dan mereka akan melihat akibat dari perbuatan tersebut ketika masih di dunia.
Alhamdulillah Biarpun Anjing menggongnggong aku tetep mampu dan bangga menajdi guru di Indonesia yg tetap menggunakan bahasa Indonesia mudrid senang orangtua senang….yang penting belajar itu MENYENANGKAN…..
Mampukah saya untuk berargumentasi apabila saya tidak bisa berbahasa yang dimengerti oleh banyak orang agar supaya nama Indonesia terangkat dan dihormati?
Mampukah saya menjelaskan dengan santun kepada orang asing apabila saya tidak bisa berbahasa yang dimengerti oleh banyak orang asing itu agar supaya diri saya sebagai orang Indonesia lebih dihargai?
Lebih luaskah wawasan saya kalau hanya mengetahui hal-hal domestik saja dengan meliwati info-info yang kelihatannya sekarang teman yang ada di new york dan london sana seolah-olah dikamar sebelah malah bisa bertatapan muka?
Bisakah saya mengetok kepala orang-orang di jauh sana yang sudah terlalu menyepelehkan Indonesia yang sebetulnya karena ketidakmampuan sendiri dan saya ini cuma jago kandang?
Akhirnya saya berusaha dengan kemampuan saya untuk lebih banhyak menabur sehingga saya lebih banyak menuai untuk membantu saudara-saudara saya?
Bagaimana caranya?
Jangan nato saja…..
artikel ini sangat bermanfaat, terutama bagi para pengelola lembaga pendidikan. Teruslah berbagi ilmu.. Semoga Anda selalu sukses.
Salam kenal Pak Satria…,
Artikel sangat bagus yang mengandung analisa yang sangat tajam dan akurat, Bapak telah menulis artikel tersebut 5 tahun yang lalu, sebentar lagi tanggal 13 Juli 2012 ulang tahun tulisan bapak. Sekedar usul nih pak…, pada hari ulang tahunnya, copy dan kirim artikel tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi) yang akan segera menyidangkan gugatan terkait RSBI.
Bom waktu yang bapak tulis di artikel tersebut sebentar lagi akan meledak…….
Tamatlah riwayat RSBI….., semoga.
Ganti model Gontor saja…, tanpa berlabel SBI tapi sdh SBI…
Salam sukses selalu untuk pak Satria… terus kritisi kebijakan pemerintah yang ga bener…
Wasalam…
apakah 26 bisa jajadi sekolah internasional