Kemarin saya terlibat dalam sebuah diskusi yang menyenangkan tentang Islam Nusantara dengan teman-teman IGI di WA grupnya. Ikatan Guru Indonesia (IGI) adalah kumpulan para guru muda nan dinamis dan kreatif dari seluruh Indonesia. Diskusi kami menjadi menyenangkan karena tidak seorang pun di antara kami yang berupaya untuk menyerang pendapat yang lain dengan tujuan menjatuhkan atau menghinakan. Kami saling menghormati danmenghargai. Beginilah seharusnya sebuah dialog dilangsungkan di mana setiap orang yang terlibat dalam diskusi saling mengenal dan saling menghargai dan didasarkan oleh keinginan untuk saling memahami pandangan dan pendapat masing-masing dan tidak mengklaim diri mutlak benar dan yang lain pasti salah. Dalam diskusi seperti ini kita tidak selalu harus sepakat dengan pendapat orang lain tapi kita harus berupaya untuk memahami dan mencari persamaan pendapat tanpa harus mencaci maki. Tunjukkan adab Islam kita.
Dalam diskusi kami kemarin saya semakin sadar bahwa memang telah terjadi kesalahpahaman yang berasal dari kesalahan persepsi tentang apa itu Islam Nusantara. Islam Nusantara itu dipersepsikan sesuatu jenis Islam yang baru yang berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yang mereka sebut Islam rahmatan lil alamin. Ini juga narasi yang disampaikan oleh Mamah Dedeh dalam videonya. Karena mereka mempersepsikan bahwa Islam Nusantara adalah sebuah jenis agama baru yang berbeda dengan agama islam yang rahmatan lil alamin yang dibawa oleh Nabi Muhammad maka tentu saja mereka menentangnya. Padahal Islam Nusantara itu sebenarnya ya Islam yang sama dengan yang dibawa oleh Nabi yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang rahmatan lil alamin tapi bercorak Nusantara alias Indonesia. Jadi sebenarnya tidak ada kontradiksi atau pertentangan di antara keduanya.
Analoginya begini. Seluruh umat Islam di penjuru dunia wajib membayar zakat fitrah dengan aturan yang sama dengan aturan yang satu yang berasal dari Nabi Muhammad. Tujuannya sama yaitu untuk menciptakan kehidupan yang rahmatan lil alamin. Tapi dalam pelaksanaannya zakat fitrah yang kita bayarkan tentu akan berbeda dengan yang dibayarkan oleh umat Islam di Arab Saudi atau di Amerika sana. Kalau di Nusantara (Indonesia, maksudnya) kita sepakat bahwa zakatnya adalah dalam bentuk beras dengan berat sekitar 2,7 kg (ada yang menggenapkan menjadi tiga kilo dan ada yang mengonversikannya dalam jumlah uang). Kalau di Arab Saudi tentu saja bukan dalam bentuk beras dan kalau di Amerika umat Islam yang berasal dari Indonesia akan menghadapi dilemma, apakah membayar dalam bentuk beras atau gandum yang merupakan bahan makanan pokok di sana.
“Di sini fiqih (hukum Islam)-nya macam-macam. Ada yang pakai gandum, itu zakatnya cuma lima dolar. Ada yang pakai sandwich, itu tujuh dolar,” kata Presiden Indonesian Muslim Association in America (IMAAM), Arif Mustofa, kepada detikcom, Senin, (28/7/2014). https://news.detik.com/berita/2650067/dilema-penentuan-besaran-zakat-fitrah-di-amerika
Jadi meski pun hukum zakatnya sama tapi dalam penerapannya akan sangat bervariasi bergantung pada di mana hukum tersebut dilaksanakan. Zakat fitrah yang pakai beras ini khas Nusantara yang tentu saja berbeda dengan di Arab Saudi. Apakah berzakat dengan beras lebih afdhol dibandingkan dengan kurma? Ya tentu saja lebih afdhol kalau Anda tinggal di Nusantara. Jadi tidak perlu sewot kalau zakat fitrah dalam bentuk sandwich lha wong itulah makanan orang di Amerika sana.
Kami di keluarga sering bergurau bahwa Umat Islam di Bugis Sinjai sana mengaku muslim tapi tidak berzakat. Setelah diselidiki ternyata mereka ‘massekkek’. Itu istilah mereka untuk zakat. Berzakat bagi mereka adalah ‘massekkek’ dengan aturan yang sama dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW meski dengan bentuk implementasi yang berbeda dengan berbagai umat Islam di seluruh dunia . Itu baru urusan berzakat. Belum lagi dalam urusan berqurban. Di Arab Saudi kita berqurban dengan unta sedangkan kita di sini dengan sapi. Apakah umat Islam Nusantara ini harus berqurban dengan unta sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat di jaman dulu? Apakah dengan berqurban sapi maka qurban kita tidak sah atau menjadi kurang afdhol? Tentu saja tidak. Itulah implementasi dari Islam Nusantara. Tapi ini tidak berarti bahwa umat Islam di Amerika sana lantas berqurban dinosaurus supaya lebih afdhol. Just a joke. J
Jadi untuk hal-hal yang begitu jelas ketentuannya dalam fikih saja Islam Nusantara dan Islam Arab Saudi bisa berbeda. Apalagi dalam banyak hal yang sifatnya khilafiah. Kemarin saya sebut sebuah acara Haul Akbar Guru Sekumpul di Martapura yang benar-benar merupakan ciri Islam Nusantara. Haul ke 13 KH Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul pada Minggu, 25/3/2018 kemarin diikuti antusias oleh umat Islam, bukan hanya dari Kalsel tapi penjuru pelosok Indonesia bahkan luar negeri. https://news.detik.com/berita/3936287/jokowi-hadiri-haul-guru-sekumpul-di-martapura.
Jokowi juga hadir dan harus antri jalan hampir satu kilometer untuk sampai di pusat acara. Haul semacam ini benar-benar khas ajaran Islam yang hanya berkembang di Nusantara (Indonesia) dan tidak akan Anda temui di Arab Saudi sana. Mereka bahkan akan melarang acara semacam ini karena akan dianggap sebagai khurafat. Apakah kita mau mempertentangkan acara haul ini dengan konsep Islam rahmatan lil alamin? Tentu tidak.
Sebagai umat Islam Indonesia maka mau tidak mau kita tentu akan melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para alim ulama kepada kita. Wali Songo dulu tentu telah mempertimbangkan segala hal dalam memperkenalkan dan mendakwahkan Islam yang rahmatan lil alamin yang bisa diterima oleh masyarakat Nusantara pada waktu itu. Tentu saja dalam menerapkan ajaran Islam mereka menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada di Nusantara ini sehingga menjadi local wisdom yang terus kita kembangkan menjadi sebuah model praktik keberagamaan yang khas Nusantara. Dan ini tidak berarti menyimpang dari ajaran agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Kalau kita salat pakai sarung dan songkok maka itu sama Islamnya dengan yang pakai gamis putih. Kalau kita berzakat pakai beras, berqurban dengan sapi sambil patungan dengan saudara, itu sama rahmatan lil alaminnya dengan yang pakai kurma atau pakai gandum. Meski pun di Alquran disebutkan bahwa berhaji itu dengan naik unta tapi kalau orang Indonesia mau naik Singa atau Lion juga boleh. Jadi sungguh tidak perlu mempertentangkan antara Islam Nusantara dengan Islam Rahmatan lil alamin seperti yang disampaikan oleh Mamah Dedeh tersebut. Dengan mengenalkan Islam Nusantara sebagai ciri keberislaman yang khas Indonesia juga tidak berarti kita membenci atau apriori dengan orang Arab. Tidak ada hubungannya dengan itu. Orang Arab tentu akan berislam sesuai dengan budayanya sendiri, yaitu tidak selamatan, tidak tahlilan, tidak mengenal haul Guru Sekumpul, tidak sungkeman, gak nyekar ke kuburan orang tua, gak mudik ke desa bawa angpau, tidak punya acara ceramah Islamdi TV ala Mamah Dedeh, gak bakalan memilih pemimpin wanita lha wong pemilu aja gak punya, dll sedangkan orang Indonesia dengan situasi dan kondisinya sendiri.
Meski demikian, saya ingin berharap agar mereka yang memperkenalkan istilah Islam Nusantara ini bersedia bekerja lebih keras untuk menjelaskan kesalahpahaman ini kepada pihak-pihak yang tidak setuju dan bahkan mencaci dan memusuhinya. Datangi mereka dengan berendah hati dan tulus untuk menyambung silaturahmi. Bagaimana pun, kita ini sama-sama muslim sehingga semestinya lebih mudah untuk saling bertenggang. Lha wong kami di IGI aja bisa kok!
Wallah a’lam bisshowab.
Surabaya, 30 Juni 2018
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com