
Saya dapat kiriman buku keren dari Mbak Dini Wikartaatmadja. Thanks berat, Mbak! π Sejak kemarin saya sudah diiming-imingi buku ini sama Cak Sururi Aziz dan saya jawab saya sdh dijanjiin buku ini sama Mbak Dini.
Baru baca judulnya saja saya sudah penasaran. Bagaimana sih pembelajaran di Finlandia itu sehingga membuatnya memiliki mutu pendidikan yang nomor satu dunia? Semua negara sekarang belajar tentang pendidikan ke Finlandia pingin tahu rahasianya. Dan sekarang rahasia serta resepnya ada di tangan saya. Apalagi buku ini berisi “33 Strategi Sederhana untuk Kelas Yang Menyenangkan”. Wow…! Melakukan sesuatu yang rumit dengan cara sederhana selalu menarik perhatian saya. Mengapa? Karena jika Anda mengenalkan sesuatu dengan rumit (seperti kebiasaan para pakar dan akademisi menara gading) maka para guru pasti akan langsung balik kanan hormat grak, alias bubar. π
Gara-gara beda pandangan seperti ini saya pernah berkonflik dengan tim GLS Kemdikbud. Saya ingin program GLS itu mudah, sederhana, dan menyenangkan bagi sekolah-sekolah tapi tampaknya ‘kurang akademik’ dalam pandangan tim. π Akhirnya kami jalan sendiri-sendiri.
Kelas yang menyenangkan selalu menjadi idaman saya. Bayangkan jika anak diminta berada di sekolah yang bisa membuatnya stress…! Itu sama dengan penjara menurut saya. π Setiap kali anak-anak saya berangkat sekolah dan pamit saya selalu mencium pipinya sambil berpesan “Selamat bersenang-senang di sekolah.” Pertama dan utama bagi saya adalah agar anak senang berada di sekolah. Perkara apa pelajaran yang akan ia dapatkan di sekolah itu masalah yang tidak terlalu saya pikirkan. Kalau kita tahu bahwa sekolah anak kita itu punya reputasi bagus maka kita boleh percaya bahwa anak kita akan belajar sesuatu yang berharga bagi kehidupannya kelak. Lagipula, I’m not too academic minded. π
Nah, sekarang bayangkan jika ada cara mudah membuat sebuah sekolah yang menyenangkan tapi bisa menghasilkan mutu pendidikan nomor satu di dunia (ini level dunia lho!) maka itu tentu sangat menarik. Saya membayangkan masa-masa ketika masih jadi konsultan pendidikan School Quality Improvement Program (SQIP) di Sampoerna Foundation dulu bersama Cak Nanang Ahmad Rizali dan Bu DR. Kathryn Rivai. Kami berupaya memasukkan budaya-budaya unggul bagi sekolah (salah satunya adalah budaya membaca yang saya perkenalkan melalui program “Sustained Silent Reading” yang sekarang bermetamorfose menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan menjadi program nasional). Seandainya kami punya buku ini dulu maka tentunya akan lebih memudahkan tugas kami.
Kini saya membayangkan bahwa buku ini bisa dijadikan sebagai rujukan dalam melatih para guru dan kasek di seluruh Indonesia dalam membangun sekolah yang bermutu sehebat Finlandia.
Buku ini sangat menarik dan banyak praktek pembelajaran yang sangat inspiratif dan bermanfaat untuk didiskusikan bersama para guru kelas, utamanya di SD, di mana Timothy D. Walker, penulis buku ini, mengajar.
Apa praktik literasi yang dia lakukan di kelasnya (dia mengajar kelas 6)?
Satu hal yang ia lakukan adalah “obrolan buku”, di mana ia mengajak siswanya memilih buku bacaan sesuai dengan level mereka untuk mereka baca. Setelah itu mereka membuat rangkuman atas isi buku tersebut dan nantinya mereka akan diberi kesempatan utk presentasi tentang isi buku tersebut di depan teman-teman sekelas mereka.
Anak-anak selalu antusias jika mereka diminta untuk berpresentasi menjelaskan rangkuman cerita dari buku yang sudah mereka baca. Ini kegiatan sederhana yang bisa kita lakukan di kelas-kelas kita. Saya pernah mengikuti kegiatan seperti ini di sebuah sekolah SD Negeri di Surabaya. Tentu saja kegiatan yang dilakukan di SD di Surabaya dirancang lebih sederhana karena mereka tidak diminta untuk mempersiapkan materi presentasi mereka. Mereka hanya diminta utk membaca buku yang mereka sukai dari perpustakaan dan mempresentasikan ringkasan dari buku yang telah mereka baca secara spontan. Meski demikian, mereka sangat antusias untuk menunjukkan apa isi buku yang telah mereka baca tersebut. Mereka berebut untuk minta kesempatan berbicara di depan teman-teman mereka. Bahkan ada anak yang minta tampil lagi meski sudah mendapat kesempatan sebelumnya.
Kegiatan sederhana ini sangat bermanfaat bagi siswa untuk membangun kepercayan diri mereka dengan menunjukkan hasil belajar mandiri mereka. Ini memberi mereka tujuan yang jelas, yaitu membaca buku dengan cermat dan menulis laporan yang akan membuka wawasan mereka. Banyak siswa yang memandang kegiatan ini sebagai peluang utk merekomendasikan buku mereka kepada teman sekelas.
Kegiatan “obrolan kelas” ini sederhana dan bisa dilakukan oleh semua sekolah yang telah memulai program literasinya. Meski sederhana kegiatan ini akan menumbuhkan kecintaan anak pada kegiatan membaca dan menulis yang akan tertanam sampai mereka dewasa.
Jika kita gagal menanamkan kecintaan membaca pada anak-anak maka bangsa kita akan mengalami kerugian besar sebagaimana yang kita alami saat ini. Itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh gagal dengan program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang telah kita mulai.
SEBUAH DORONGAN
Jere Linnanen, seorang guru Finlandia, menyatakan bahwa siswa sering memerlukan sebuah “dorongan” (atau kita bisa menyebutnya ‘motivasi’ atau ‘tantangan’) untuk bisa berkembang. Jika tidak maka mereka akan tetap di level mereka sekarang. (Dan jika mereka tetap di level mereka sekarang lantas apa gunanya mereka ada di sekolah?)
Timothy D. Walker yang menulis buku ini mendorong siswanya yang kelas 6 SD untuk menulis di blog, menyusun artikel, dan mengarang buku…dalam pelajaran bahasa Inggris! (bahasa Inggris adalah bahasa asing di Finlandia).
Jadi siswa SD klas 6 telah didorong untuk MENULIS DALAM BAHASA ASING yang mereka pelajari di kelas.
Pertanyaannya: Apa hal spesifik yang kita lakukan untuk mendorong siswa kita agar berkembang dalam pembelajarannya?
Dalam bidang literasi (membaca dan menulis), apa tugas spesifik yang kita berikan bagi siswa utk mendorong mereka naik levelnya?
Kritik saya pada sekolah (dalam hal ini sebenarnya pada Kemendikbud) adalah bahwa mereka melaksanakan program literasi tanpa memiliki sebuah tujuan yang jelas dan spesifik yang bisa diukur oleh guru mau pun siswa. Siswa tidak “didorong” untuk benar-benar membaca dan menulis. Siswa tidak dimotivasi dan ditantang untuk membaca 1000 halaman buku fiksi, umpamanya, dan menghasilkan sebuah karya tulis cerpen, puisi, esai, atau drama yang kemudian akan bisa diterbitkan dan dijual oleh siswa sendiri. Siswa hanya diminta untuk membaca 15 menit tanpa tahu apa target kongkrit yang hendak dicapai dari kegiatan ini.
Seperti yang selalu katakan, anak-anak kita itu sebenarnya memiliki kecerdasan yang sama dengan anak-anak negara mana pun. Kita hanya tidak mendorong mereka utk mengeluarkan atau menunjukkan bukti kecerdasan mereka.
Surabaya, 31 Agustus 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com