AS Laksana dalam salah satu kolomnya pernah mengatakan bahwa dalam pilkada ia memilih golput tidak memilih salah satu pun kandidat kepala daerah karena tak seorang pun kandidat tersebut yang menawarkan program untuk mendorong masyarakat gemar membaca.
Mengapa AS Laksana, salah seorang penulis favorit saya, menganggap bahwa membuat masyarakat gemar membaca adalah urusan paling penting? Itu karena ia memercayai bahwa hanya kegemaran membaca buku yang akan membuat orang-orang menjadi cerdas, dan sebuah masyarakat akan mampu meningkatkan kualitasnya jika memiliki banyak orang cerdas di dalamnya. Saya tentu saja sangat setuju dengannya. Menurutnya orang-orang yang cerdas karena gemar membaca buku akan menjadi pemikir yang lebih baik. Dan dengan menjadi pemikir maka mereka akan memiliki cukup pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi di dalam kehidupan masing-masing maupun di dalam kehidupan bersama.
Buku adalah gudang pengetahuan utk membangun peradaban. Jadi membaca buku adalah kunci utk membuka gerbang pengetahuan dalam membangun peradaban. Memiliki kemampuan literasi adalah instrumen bagi warga utk berproses menjadi sebuah bangsa yg berpengetahuan dan berperadaban. Jadi jika ingin mengetahui seberapa besar komitmen sebuah negara atau pemerintah dalam membangun kejayaan bangsanya melalui pengetahuan dan peradaban maka lihatlah seberapa peduli pemerintah, sistem pendidikan, sekolah, dan orang tua menyediakan buku bacaan dan program membaca bagi anak-anak bangsanya. Semua pengetahuan dan pemikiran-pemikiran besar tertuang dalam buku-buku yang bisa dibaca. Dan masyarakat yang membaca buku-buku tersebut jelas akan menjadi masyarakat yang berbudaya dan berperadaban yang tinggi.
Membaca tulisan AS Laksana ini saya langsung tertawa karena itu berarti AS Laksana tidak tinggal di Surabaya. Seandainya saja ia tinggal di Surabaya maka ia tidak perlu golput. Walikota Surabaya, Tri Risma Harini, kalau boleh saya katakan adalah satu-satunya kepala daerah yang benar-benar serius untuk menjadikan warganya gemar membaca. Tulisan saya tentang ini bisa dibaca di :
Surabaya Kota Literasi
Surabaya Kota Literasi Bagian 2
Sekolah Berbasis Literasi SMPN 43 Surabaya
Tantangan Membaca Surabaya 2015
Setahun Surabaya Kota Literasi
Kado Tahun Baru Kota Surabaya untuk Dunia Literasi Indonesia
Bu Risma benar-benar berupaya keras agar masyarakatnya menjadi gemar membaca dengan berbagai programnya yang bukan hanya sistematis, terstruktur, massif, tapi juga berkelanjutan. Untuk visi besar ini beliau telah mencanangkan Surabaya sebagai Kota Literasi pada tahun 2014 dengan beberapa program strategisnya. Salah satu programnya yang sangat visioner adalah memperkuat Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Surabaya yang dijadikannya sebagai ujung tombak paling penting dalam upaya membangun budaya literasi masyarakat Surabaya. Jika selama ini kantor perpustakaan di berbagai daerah adalah kantor yang paling tidak mendapatkan perhatian dari para kepala daerah maka di tangan Ibu Risma justru dijadikan sebagai ujung tombak paling penting dalam menjadikan Kota Surabaya sebagai kota berbudaya dengan warga yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
Beliau paham benar bahwa bukan slogan yang akan membuat warganya suka membaca tapi upaya keras untuk menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca yang dilakukan secara menyeluruh pada semua strata. Beliau juga sadar bahwa akses pada buku dan keterjangkauan itu penting sehingga beliau mengubah strategi yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah (dan gagal), yaitu dari siswa dan warga mendatangi buku (ke perpustakaan) menjadi buku (perpustakaan) yang mendatangi siswa dan warga. Jadi bukannya membuat sebuah perpustakaan yang megah, indah, besar dan mahal di pusat kota tapi beliau justru membuat sebanyak mungkin perpustakaan kecil atau taman bacaan masyarakat (TBM) yang disubsidi oleh pemkot. Dengan demikian semua siswa dan warga akan dapat memperoleh akses pada buku-buku bacaan di sekitar tempat tinggal mereka tanpa harus mendatangi sebuah perpustakaan yang megah, indah, besar, dan mahal yang mungkin justru tidak akan mungkin bisa mereka akses. Jadi kuantitas dan kualitas pembaca yang lebih dipentingkan ketimbang besar dan megahnya perpustakaan. Saat ini ada lebih dari 1500-an TBM di seantero kota Surabaya dan tidak ada kecamatan yang tidak memiliki TBM yang bisa diakses oleh warga. Lokasi perpustakaan dan taman baca tersebar di balai-balai RW, kelurahan, kecamatan, taman kota, rumah susun, puskesmas, sekolah, terminal, dan panti sosial. Ini masih ditambah dengan layanan mobil perpustakaan keliling di 64 lokasi.
Hal luar biasa yang dilakukan oleh Bu Risma adalah Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Surabaya mempekerjakan sekitar 500-an karyawan honorer yang dipilih secara ketat untuk menjadi petugas perpustakaan di sekolah-sekolah SD dan SMP di Surabaya. Dengan ratusan petugas perpustakaan yang diberi pelatihan khusus itu maka perpustakaan sekolah SD/SMP Negeri di Surabaya menjadi hidup, berkembang, dan bahkan menjadi tempat yang paling menyenangkan bagi anak-anak di sekolah mereka. Sekarang ini siswa Surabaya menjadi keranjingan untuk membaca karena petugas perpustakaan mampu membuat berbagai kegiatan yang menyenangkan di perpustakaan yang mereka kelola. Bu Risma sadar sekali bahwa penumbuhan budaya baca harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang akan mengelola perpustakaan dan taman bacaan. Membagikan buku saja tidak akan mampu membuat perpustakaan dan taman bacaan hidup. Harus ada tenaga terdidik dan professional yang akan mengelola itu semua. Para pustakawan inilah sebenarnya yang menjadi ujung tombak dari program Surabaya Kota Literasi. Dengan 500-an pasukan pustakawan professional yang diterjunkan langsung ke sekolah-sekolah untuk membangun budaya literasi siswa maka diharapkan agar Kota Surabaya dapat segera membangun budaya literasi warganya dimulai dari siswa-siswa sekolah. Program penumbuhan budaya literasi memang harus dimulai dari sekolah karena di sekolahlah intervensi pemerintah bisa dilakukan.
Program Gerakan Literasi Sekolah sekarang telah dijadikan program nasional oleh Kemendikbud dan akan digulirkan lagi lebih kencang bekerjasama dengan kementrian lain. Gagasan dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS) itu dimulai di Surabaya. Gagasan untuk membiasakan siswa membaca dengan program Membaca 15 Menit sebelum pelajaran dimulai telah dijalankan dengan baik di Surabaya sebelum akhirnya diadopsi oleh Kemendikbud melalui Permendikbud 23/2015. Saat ini program GLS ini disambut dengan antusias oleh banyak daerah yang ingin mengikuti jejak kota Surabaya sebagai Kota Literasi. Dalam jangka waktu dekat akan muncul program Adiliterasi, semacam program Adipura di bidang literasi yang akan dilombakan pada semua daerah di seluruh Indonesia.
Saat ini budaya baca warga Surabaya meningkat dengan signifikan yang dapat dilihat dari survei yang dilakukan oleh Baperpusip Jawa Timur bekerjasama dengan Universitas Airlangga yang menyebutkan adanya kenaikan 13,20% minat baca warga dari tahun lalu sehingga menjadi 65,25%. Jumlah pengunjung di perpustakaan Propinsi Jawa Timur yang berada di Kota Surabaya juga meningkat drastic menjadi 1.200 orang perhari. Semua ini jelas menunjukkan efektifitas program budaya literasi yang dilakukan oleh Ibu Risma sebagai Walikota Surabaya.
Tahun 2016 ini Surabaya melangkah lebih jauh dengan menyelenggarakan program AKSELITERASI, sebuah program untuk mempercepat atau meningkatkan akselerasi budaya baca masyarakat kota Surabaya.
Mengapa harus ada program percepatan peningkatan budaya baca masyarakat? Mempercepat kemampuan membaca masyarakat, khususnya anak-anak di Surabaya adalah penting sebagai upaya untuk mengimbangi pesatnya kemajuan teknologi saat ini. Ponsel pintar dan sosial media kini telah menjadi kawan dekat anak-anak dan itu perlu diimbangi dengan budaya literasi, menurut Ibu Risma.
“Seharusnya, anak-anak lebih dulu dikenalkan budaya membaca. Baru kemudian bersentuhan dengan teknologi. Yang terjadi sekarang, anak-anak sejak usia dini sudah mengenal teknologi. Karena itulah, saya terus mendorong Badan Perpustakan dan Kearsipan untuk terus menggalakkan budaya baca di masyarakat. Utamanya pada anak-anak,” kata Risma, di sela-sela peluncuran Surabaya Akseliterasi.
Kepala Badan Kearsipan dan Perpustakaan (Baperpus) Kota Surabaya, Arini Pakistyaningsih, sebagai arsitek dari program ini mengatakan, Surabaya Akseliterasi ini meliputi empat kegiatan. Yakni lomba kampung literasi, lomba orang tua peduli pendidikan anak, lomba pustakawan berprestasi dan fasilitator literasi. Jadi program percepatan budaya literasi ini memang diarahkan pada masyarakat langsung dan bukan lagi siswa di sekolah-sekolah. Tumbuhnya kesadaran akan pentingnya budaya literasi pada keluarga dan masyarakat sangat krusial karena keluarga dan masyarakatlah penopang budaya literasi yang telah mulai tumbuh pada anak-anak melalui program Gerakan Literasi Sekolah yang selama ini berjalan. Jika orang tua dan masyarakat juga turut menumbuhkan budaya literasi maka harapan akan berjalannya budaya literasi ini akan semakin kokoh.
Arini menjelaskan untuk program Akseliterasi ini ada beberapa program yang dilombakan bagi keluarga dan masyarakat. Lomba Kampung Literasi bertujuan untuk mendorong kampung-kampung yang ada di Surabaya untuk menyediakan tempat belajar yang menyenangkan dan menfasilitasi anak-anak untuk belajar. Jadi yang hendak dituju adalah tumbuhnya iklim dan fasilitas belajar yang menyenangkan bagi anak-anak. Lomba orang tua peduli pendidikan anak bertujuan untuk mengajak orang tua peduli pada pendidikan anak-anak karena pendidikan sejatinya adalah tugas orang tua dan bukan hanya tugas sekolah yang diserahi untuk mendidik anak oleh orang tua. Program Orang Tua Peduli Pendidikan Anak ini adalah upaya untuk menyadarkan orang tua bahwa mereka harus terlibat secara penuh dalam proses pendidikan anak-anak mereka termasuk dalam membantu penumbuhan budaya literasi mereka di rumah.
“Salah satu misteri besar, yang mungkin akan bertahan selamanya sebagai misteri, adalah kenapa minat baca masyarakat kita tidak bisa tumbuh.” Demikian kata AS Laksana dalam sebuah artikelnya di Jawa Pos “Tetap Kerdil Setelah 71 Tahun” https://beritagar.id/artikel/telatah/tetap-kerdil-setelah-71-tahun Saya juga mempertanyakan hal ini bertahun-tahun lamanya tapi kini itu bukan misteri lagi. Saya sudah mendapatkan jawabannya.
Kenapa minat baca bangsa kita tidak tumbuh….?! Ya karena kita tidak berupaya utk menanam minat baca bangsa maka tentu saja dia tidak tumbuh. Pemerintah atau Negara selama 71 tahun memang belum pernah benar-benar serius untuk menanam atau menumbuhkan minat baca bangsa sehingga minat baca tersebut tidak tumbuh. Tapi jika ada seorang kepala daerah yang mau dengan serius membangun budaya baca atau budaya literasi bangsanya seperti kota Surabaya ini maka minat baca atau budaya literasi itu pasti akan tumbuh. Saya sudah melihat, mengikuti, dan ikut menumbuhkannya sendiri.
Tantangan bagi kita semua kini adalah bagaimana mengajak SEMUA kepala daerah untuk mulai menanam minat baca dan menumbuhkan budaya literasi di daerahnya masing-masing. Ini memang tidak mudah tapi tentu bisa kita lakukan. Ibu Risma dan Kota Surabaya telah memulainya. Kota dan kabupaten lainnya bisa melihat apa yang telah dilakukan oleh Ibu Risma selama ini dan mengadopsinya dengan beberapa penyesuaian di daerah masing-masing. Yang kita butuhkan memang komitmen bersama dan upaya yang sungguh-sungguh dengan mengajak semua komponen dan elemen masyarakat untuk memulainya.
Mari kita sambut bersama…!
Surabaya, 8 Desember 2017
Satria Dharma
Penggagas Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com