“Kebangkitan literasi sangat penting. Hal ini mengingat bangsa dengan literasi yang sangat maju biasanya berhubungan dengan kemajuan peradaban bangsa itu sendiri (Wiendu Nuryanti, Rabu 8 Oktober 2014 pada Frankfurt Book Fair).
Ini kutipan yang menarik perhatian ketika saya membaca buku “Membangun Budaya Literasi” yang merupakan Proseding Seminar Nasional Plus “Membangun Peradaban Generasi Emas Melalui Literasi” di Kampus P3G Unesa kemarin. Saya mengikuti Seminar Nasional Plus ini (entah apanya yang plus) kemarin dan bahkan didaulat untuk menyampaikan hadiah buku preseding ini kepada para pembicara dan tamu VIP.
Sebetulnya saya sudah bosan ikut berbagai seminar. Sering terlintas dalam pikiran saya bahwa ‘seminar is a waste of time’. Tentu saja seminar tidak ada manfaat praktisnya bagi saya yang pensiunan ini. Mungkin juga karena saya sudah mengikuti begitu banyak seminar baik yang berskala regional, nasional, mau pun internasional dan ternyata tak ada tindak lanjut yang berarti setelah seminar-seminar yang gegap gempita tersebut. Setiap kali saya mengikuti seminar saya selalu bertanya dalam hati, “Apa yang saya peroleh dari seminar ini dan apa hikmah yang akan membuat saya melakukan sesuatu setelahnya?”. Jika tidak ada sesuatu yang bisa menggerakkan saya untuk melakukan sesuatu setelah mengikuti seminar yang melelahkan maka sungguh itu akan merupakan ‘a waste of time and energy’ belaka. Tapi Fafi sebagai Ketua Panitia Seminar ini berhasil meyakinkan saya bahwa sebagai pegiat literasi bertemu dengan para pegiat literasi lainnya adalah sebuah kesempatan yang baik. Jadi saya pun menulis makalah dan jadi salah satu pembicara di Kelas Paralel.
Ternyata Fafi benar. Ada beberapa hal menyenangkan yang saya temui pada acara seminar kemarin itu. Pertama, saya bertemu dengan banyak teman yang menyenangkan. Bertemu dengan Pak Budi Darma, Sang Begawan Sastra, tentu sangat menyenangkan meski saya selalu agak kikuk kalau bertemu dengan beliau. Beliau adalah satu di antara sedikit intelektual yang membuat saya grogi kalau bertemu. Wibawa dan kedalaman ilmu beliau memang bisa membuat orang seperti saya yang ‘kendang bunder banter unine’ ini jadi grogi.
Saya juga bertemu dengan Bu Anggie, teman lama yang sudah lama sekali tidak berhubungan. Saya mengenal beliau ketika masih di Madania dan sekarang beliau sudah menjalankan sekolahnya sendiri. Salut…! Saya juga senang bertemu dengan Pak Syamsul Sodiq, Kajur JBSI yang sangat rendah hati tersebut, Pak Najid yang selalu ceria, Pak Diding yang sangat sopan, Pak Budi Nuryanta yang ganteng dan nyentrik, Mas Eko yang berjalan terpincang-pincang karena sekrup kakinya yang masih bermasalah, Fafi yang semakin moncer, salaman sekilas dengan jeng Ella dengan matanya yang berbinar-binar itu. Sayang sekali bahwa Mas Khoiri dan Sirikit tidak hadir meski tulisannya bisa saya baca dan apresiasi di buku proseding.
Kedua, saya terkesan pada buku Prosedingnya yang setebal 400 halaman dan dikemas cantik. Judulnya saja sudah menarik perhatian saya, “Membangun Budaya Literasi”. Ini buku yang langka karena saya yakin upaya untuk membangun budaya literasi itu sendiri juga masih langka. Buku ini tentunya bermanfaat bagi pengembangan budaya literasi di tanah air dan harus tersebar dan dibaca oleh banyak akademisi dan praktisi literasi di tanah air. Kebetulan saya akan Safari Literasi ke Jakarta dan 4 Kota/Kabupaten di Prop. Aceh mulai lusa 23/10 s/d 1/11/2014 nanti. Jadi buku ini akan saya jadikan sebagai oleh-oleh buat mereka. Saya juga akan hadiahkan sebuah bagi FKIP Unsyiah yang pernah mengundang saya untuk presentasi beberapa waktu yang lalu. Saya memborong 15 eksemplar untuk keperluan ini. Saya yakin mereka yang akan mendapat oleh-oleh ini akan sangat senang mendapatkan hadiah buku yang masih ‘fresh from the publisher’ ini.
Ada beberapa artikel yang menarik dalam buku ini. Ada yang menarik karena penyampaiannya yang ditulis dengan cara penulisan dan topiknya yang kekinian seperti “Sastra dan Literasi pada Era Internet” yang ditulis oleh Sirikit. Ada pula yang menarik karena gagasan yang ditawarkan seperti “Membangun Writing Skill Guru utk Menumbuhkan Budaya Literasi di Sekolah” oleh Eko Prasetyo dan “Membangun Budaya Literasi: Dari Unesa untuk Semua” oleh Much. Khoiri. Ada juga judul yang menarik seperti “Membudayakan Literasi di Kalangan Mahasiswa” oleh Haris Supratno yang merupakan pengalaman mengajar beliau di jurusan bahasa Indonesia.
Ada satu makalah yang menarik perhatian saya yaitu “Reading Emergency Zone” yang ditulis oleh Mohammad Hairul. Makalah ini menarik karena ditulis oleh seorang guru di SMPN 1 Klabang Bondowoso yang sedang mengambil studi S2 di Unesa. Makalah ini menarik karena merupakan pengalaman si penulis dalam membudayakan dan menggerakkan minat baca siswanya di sekolah. Saya sangat menghargai upaya-upaya terobosan yang dilakukan oleh guru seperti ini. Di tengah kejenuhan dan apatisme guru dalam mengajar dan menumbuhkan budaya literasi upaya untuk menumbuhkan minat baca dengan modal sendiri tentulah sangat patut untuk dihargai. Seandainya saja setiap guru (khususnya guru bahasa Indonesia) mau melakukan hal yang sama dengan Pak Muhammad Hairul ini maka nasib budaya literasi bangsa kita akan cukup berbeda. Apa kira-kira yang bisa mendorong setiap guru bahasa untuk memiliki tekad dan semangat seperti beliau ini ya?
Meski pulang dengan gembira karena membawa 15 eksemplar buku yang sangat berharga tapi tetap saja saya dirongrong oleh pertanyaan. “Benarkah kita sudah benar-benar serius untuk membangun budaya literasi? Bukankah ‘kebangkitan literasi itu sangat penting’, seperti kata Windu Nuryanti, Wamendikbud kita? “ Pertanyaan ini langsung dijawab oleh hati saya juga, “Tidak. Kita samasekali BELUM CUKUP SERIUS untuk melakukan perubahan tersebut.”
Terus terang saya sudah sedikit sinis dengan berbagai jargon tentang ‘pentingnya literasi bagi bangsa’ seperti yang disampaikan oleh banyak kalangan. Kita sudah mengunyah-ngunyah jargon tersebut puluhan tahun tapi toh tidak pernah kita untal dan jadikan energi untuk melakukan perubahan. Sampai saat ini bahkan Kemendikbud TIDAK PAHAM dan apalagi sampai benar-benar meyakini ‘pentingnya literasi bagi bangsa kita’. Tak ada upaya STM (Sistematis, Terstruktur, dan Massif) yang dilakukannya untuk menumbuhkan budaya literasi bangsa itu. Jika itu jenis keimanan maka itu baru jenis keimanan yang manis di bibir tapi belum sampai pada perbuatan. Jika Ibu Wamen benar-benar meyakini apa yang dikatakannya maka tentulah telah ada tindakan penting yang STM yang telah dilakukannya sebagai Wamendikbud untuk mengubah situasi rendahnya budaya literasi bangsa yang telah berlangsung sejak awal kemerdekaan ini.
Ketika saya mendapat kesempatan untuk memberi sambutan oleh Dr. Syamsul Sodiq, Kajur JBSI, pemrakarsa seminar ini, saya bertanya pada para hadirin : “Jika kita semua sepakat dan meyakini betapa pentingnya menumbuhkan budaya litersi pada bangsa, lantas mengapa kita masih juga berada di sini? Mengapa kita belum juga mampu mendorong para pengambil keputusan di negeri ini untuk melakukan tindakan yang sistematis, terstruktur dan massif untuk melakukan perubahan? Mengapa kita masih berada pada tahapan inisiatif-inisiatif individu (atau komunitas-komunitas kecil) yang sama sekali masih jauh dari pola yang sistematis, terstruktur dan massif?” Tentu saja ini cuma sekedar ‘curhat’ yang mungkin tidak dianggap penting oleh para hadirin.
Saya cemas bahwa kita ini masih ‘abang-abang lambe’. Kita menunjukkan raut muka serius ketika menyampaikan betapa pentingnya budaya literasi tapi sesungguhnya kita tidak terlalu mengimaninya karena ternyata kita tidak bersungguh-sungguh melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas yang kita miliki untuk membuat perubahan. Jika Ibu Wemendikbud meyakini pernyataannya sendiri dan bukan sekedar basa-basi dalam memberi kata sambutan maka tentunya beliau akan menyampaikan apa saja upaya yang telah dilakukan oleh Kemendikbud dalam mengatasi rendahnya budaya literasi bangsa. Jika kita mengimani apa yang kita ucapkan soal literasi ini maka tentunya kita telah melakukan ‘jihad fisabilillah’ untuk memerangi rendahnya budaya literasi bangsa ini.
Tapi saya berbahagia mengetahui teman-teman saya sudah melakukan perannya dalam kapasitas masing-masing untuk memerangi rendahnya budaya literasi. Mereka telah melangkah lebih jauh daripada sekedar menjadi dosen di kampus masing-masing. They have crossed the imaginary border. Sebagai contoh Mas Khoiri bahkan sudah mengajukan berbagai gagasan seperti “Strategi Membangun Literasi dalam Keluarga”, “Gerakan Menulis Satu Buku Satu Tahun bagi Dosen”, “Gerakan Melek Sastra” meski ditambahkannya bahwa gerakan ini mesti diperbincangkan dan disepakati bersama. Nampaknya gagasan ini masih belum utuh dan masih memerlukan pemikiran yang mendalam dari beliau. Meski demikian Mas Khoiri telah melakukan ‘Safari Sastra’ ke berbagai daerah.
Tiwik (Pratiwi Retnaningdyah) dalam tulisannya “Literasi Sebagai Praktik Sosial” mengajak kita untuk melangkah lebih jauh dari sekedar membincang literasi sebagai jargon. Jargon ‘literasi merupakan alat untuk mencerdaskan bangsa dan mengubah tananan sosial menjadi lebih modern’ menurutnya perlu dimaknai sebagai praktik sosial yang erat menempel keseharian kita. Menurutnya pandangan literasi (termasuk ilmu ‘sastra’) sebagai kegiatan yang tidak penting atau tidak produktif masih tertanam di alam bawah sadar masyarakat kita. Jurusan/program studi sastra masih dianggap kurang memberikan kontribusi terhadap pembangunan intelektual. Kurikulum pendidikan di Indonesia sampai saat masih belum memberikan ruang untuk pengembangan literasi, apalagi apresiasi karya sastra. Tiwik berharap agar sekolah mendorong siswa untuk mengeksplorasi kemampuan literasinya. Ia memberi contoh pembelajaran literasi negara-negara maju, di mana karya sastra adalah materi utama dalam mata pelajaran Bahasa. Di negara bagian Victoria, Australia, misalnya, siswa SMA dipastikan telah membaca 36 karya sastra, baik novel, puisi, drama, film, dan teks non-fiksi selama 3 tahun belajar di tingkat SMA (VCE EnglishStudy Design 2014). Tentu saja Tiwik harus pulang dulu ke tanah air untuk mewujudkan sendiri harapan-harapannya tersebut dan tidak sekedar puas menjadi dosen yang bertengger di kampus.
Sirikit, dengan Sirikit School of Writingnya, bahkan telah menetapkan target untuk melahirkan 1000 penulis dalam 2 tahun (meski diakuinya sendiri masih belum tercapai). Tapi ini semuanya JAUH LEBIH BERHARGA ketimbang jargon-jargon kosong yang sering diucapkan tanpa makna oleh para pejabat kementrian. Jika kita telah melangkah maka dalam perjalanan kita akan mendapatkan berbagai pengalaman yang akan memperkaya teknik dan strategi yang kita lakukan dalam mewujudkan tekad dan komitmen dalam membudayakan literasi.
Saya sungguh berharap bahwa apa yang telah dimulai oleh JBSI ini bisa menjadi sebuah ‘snow ball’ alias bola salju yang akan menggelinding menjadi bola yang semakin lama semakin besar dan akan menghancurkan rendahnya budaya literasi bangsa kita.
Semoga…!
Surabaya, 20 Oktober 2014