
Ternyata kunjungan ke pabrik ginseng itu memang diatur dan dirancang oleh travel kami dengan tujuan agar peserta tour membeli produk mereka (yang sangat mahal tersebut).
Dengan demikian travel dan pemandu wisatanya mendapat komisi dari hasil penjualan. Semakin besar penjualan yang mereka lakukan mestinya semakin besar pula komisi yang diperoleh oleh travel dan guidenya. Hal ini saya ketahui karena ternyata jika kita tidak mengikuti tujuan tur ke pabrik ini maka masing-masing kami akan dikenai tambahan biaya sebesar 60 US dollar per orang…! Gileee…! Artinya memang sudah ada kontrak antara travel dan pabrik ginseng tersebut. Sungguh cerdas…! (atau sungguh licik ya…?!) 🙂
Setelah saya amati ternyata bukan hanya pabrik ginseng itu yang merupakan ‘tourist trap’ tapi juga kunjungan ke pabrik perhiasan amethyst, pabrik kosmetik, Duty Free Shop, dan Korea Herbal. Empat kunjungan tersebut boleh dikata adalah ‘tourist trap’ agar kita membelanjakan uang kita sebanyak-banyaknya dan mereka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Jika kita menolak untuk datang ke tempat-tempat tersebut maka dendanya adalah : Pabrik Ginseng US $ 60, Pabrik perhiasan amethyst US $ 20, Pabrik kosmetik (yang katanya bisa membuat kulit kita semulus kulit gadis Korea tapi ternyata membuat kulit istri saya gatal-gatal besoknya) US $ 20, dan Duty Free Shop US $ 20 juga. Jadi kalau saya menolak untuk datang ke empat tempat tersebut maka saya akan dikenai ‘denda’ US $ 120…! Whaaat…?!
Jadi bisa dibayangkan berapa banyak uang yang mereka perkirakan akan peroleh jika tiap orang dari kami ‘dinilai’ dari besarnya ‘denda’ tersebut. Tentu saja tidak ada paksaan untuk belanja bagi siapa pun dan kalau tidak mau belanja juga silakan. Tapi tentu saja pemandu tur tidak akan mengijinkan kita mengubah rute tur ke tempat-tempat ini. “We need to follow the schedule. You don’t have to buy. Just listen and you you can go out.” begitu kata Ryan pemandu kami. Tapi, percayalah….., mereka tidak akan membiarkan kita keluar tanpa membeli apa pun. Mereka sudah begitu ahli dalam membujuk para turis sehingga Anda akan merasa menyesal, merasa bersalah dan bahkan kalau perlu merasa berdosa jika tidak membeli. 🙂 They are very well trained and are experts in persuasion. And we all spent our money like water…
Jadi kami semua memang berbelanja di satu atau semua ‘tourist trap’ yang kami kunjungi.
Apakah saya menyesal telah membelanjakan uang seperti air? Tidak juga. Saya tetap yakin bahwa yang kami beli bermanfaat dan yang paling penting adalah bahwa saya belajar sesuatu (meski biaya sekolahnya agak mahal).:-)
Satu hal yang saya pelajari dari hal ini adalah betapa cerdas dan terencananya mereka dalam mengatur semua hal, termasuk pariwisata. Jika para produsen bisa bekerja sama dengan travel maka tentu itu akan membut rakyat menjadi lebih makmur dan negara menjadi lebih kaya. Bayangkan jika untuk satu kotak ginseng ‘heaven grade’ yang premium harganya 11 juta lebih maka coba bayangkan berapa banyak turis yang terbujuk hatinya untuk membeli produk mereka dalam sehari saja. Belum lagi di tiga tempat lain. Kami semua memang berbelanja di semua tempat yang kami kunjungi dan bukan hanya di empat tempat ‘wajib kunjung’ tersebut. Semua Won dan US $ yang kami bawa ludes dan bahkan masih harus menarik ATM di lantai 1 hotel PJ di mana kami menginap.
Saya membayangkan bahwa sebenarnya kita juga bisa melakukan hal yang sama di tanah air. Kita memiliki Minyak Oles Bokashi di Bali yang setara dengan produk herbal mereka. Minyak Oles Bokashi adalah ramuan serbaguna yang terbuat dari campuran beberapa tanaman berkhasiat obat yang difermentasi dan diekstrak dengan teknologi EM oleh Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr di Bali. Oleh sebab itu ia dikenal dengan nama “Pak Oles” dan ramuannya dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Ramuan Pak Oles”. Meski demikian saya belum pernah mendengar prusahaan ini bekerjasama dengan travel biro di Bali sehingga menjadi salah satu tempat yang ‘wajib kunjung’ di Bali. Dengan demikian maka produk herbal Indonesia atau Bali akan dikenal oleh dunia.
Mengapa hal sesederhana ini tidak pernah terpikirkan oleh para Kepala Dinas Pariwisata Propinsi/Kota/Kabupaten mana pun di Indonesia…?! Tidak mungkin mereka tidak pernah ke mana-mana lha wong saya tahu ada famili saya yang sering bepergian ke luar negeri setelah menjabat sebagai Kadis Pariwisata dengan alasan studi banding. Mestinya memang harus ada satu atau beberapa tempat produksi lokal yang benar-benar dibina oleh pemerintah setempat agar dapat menjadi tempat kunjungan wisata yang benar-benar istimewa. Jadi setelah dibina habis-habisan sebagai produk unggulan suatu daerah maka selanjutnya adalah mempromosikannya ke setiap pendatang juga dengan habis-habisan.
Jika kita memang suka nggedabrus soal nasionalisme maka hal ini sebenarnya adalah nasionalisme sederhana yang tepat guna dan tidak perlu ‘rocket science’. Kita bisa fokus pada satu hal yang benar-benar dikuasai oleh setiap daerah dan kita tekuni benar-benar. Jika kita serius maka SETIAP DAERAH akan punya satu PRODUK UNGGULAN yang mungkin akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Disinilah kita perlukan semua pengetahuan, ketrampilan, kerjasama,ketekunan, dan juga kebesaran hati kita demi kemajuan bangsa.
Kapan kita akan mulai belajar…?!
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com