I have a lot of beautiful memories di IKIP Surabaya. Secara jamanku waktu itu ceweknya cakep-cakep. Bukan hanya di jurusan bhs Inggris lho. Di jurusan bhs Jerman juga banyak yg bikin mata mau melek terus. Ada yg cakep dan modis ala cewek metropolis dan ada pula cantik dan manis ala gadis desa putri Pak Lurah. Tinggal pilih. Wakakak…!
Salah satu kelebihan saya waktu itu adalah saya sdh jadi guru PNS. Jadi sudah punya sepeda motor dan gaji sendiri. (I was the only one wearing a helmet at that time). Seingatku dulu jaman kuliah aku agak-agak mirip Brad Pitt. Embuh saiki kok dadhi malih koyok George Clooney yo. 😀
Jadi secara psikologis saya merasa sudah setara dengan para dosen (podo-podo PNS-e kok).
Sekarang ini saya bisa bilang dengan rodok mekithik pd para guru (apalagi para calon guru), “Saya sudah jadi guru bahkan sebelum kamu lahir…!”. Lha wong tahun 78 saya sdh jadi guru. 😀
Kemarin di SMAN 5 saya didatangi seorang siswa yg langsung cium tangan dan memperkenalkan diri. “Saya Azzam, Pak, anaknya Pak Achjar.”.
Eee…tibakno Achjar itu mantan siswa saya di SMPN 2 dulu. Saiki anake satu sekolah satu angkatan dg anak saya….!
Tibakno aku wis ‘Kakek Guru’ sekarang ini. 😀
BU HARYOSO
Bu Haryoso itu dosen favorit saya. Beliau mengajar Reading Comprehension yg menurut teman-teman uangel pol (jelas karena kurang moco dan kurwas alian kurang wawasan). 🙂 Jadi sepanjang perkuliahan mereka tafakur terus tidak berani melihat Bu Haryoso kuatir ditanyai (dan Bu Haryoso memang terus bertanya ttg materi dari text yg beliau berikan). Menurutku matkul beliaulah yg memuaskan my intellectual curiosity. Very challenging yet fulfilling.
Saya ingat mengerjai Chicha teman di bangku sebelah saya. Karena tafakur terus akhirnya dia tidak tahu sampai di paragraf mana pertanyaannya. Ketika dia ditunjuk utk menjawab maka gelagapanlah dia. Dengan panik dia njawil saya sambil tanya dengan berbisik, “Sat…Sat, opo jawabe?” Entah mengapa saat itu timbul keisengan saya (ya memang sering timbul sih! Opo maneh mengisengi arek sing ayu-ayu. Hehehe…!). Saya segera mengucapkan sesuatu dengan berbisik juga dan Chicha dengan lantang menjawab pertanyaan Bu Haryoso dengan jawaban dari saya. Seketika kelas tertawa serempak “Ger…!” soalnya jawaban itu samasekali tidak nyambung dengan pertanyaan Bu Haryoso. Bu Haryoso sendiri sampai ndomblong not understanding what was happening.
Chicha nggondok pol. Lenganku dijiwit sampek biru dan ditambah bonus disiwak pirang-pirang dino. 😀
Oh…! It’s such a beautiful day…! 😀
BU TITOET SOFIA
Salah satu dosen jurusan Bhs. Inggris yg dianggap ‘killer’ adalah Bu Titoet Sofia (beliau sudah lama pensiun). Salah satu mata kuliah yg diajarkannya pada kami dulu adalah ‘Vocabulary’. Ini mata kuliah yg paling nyebelin buat teman-teman yg disamping memang miskin vocabulary-nya juga malas membaca (dalam bhs. Inggris). Lha wong membaca buku dalam bhs. Indonesia saja malas kok! Apalagi dalam bhs Inggris.
Celakanya lagi Bu Titoet ini nampaknya ‘menikmati’ suasana di mana mahasiswanya menjadi mati kutu di bawah ‘telapak kaki’ beliau. Dicarinya buku referensi utk matkul Vocabulary yg kata-kata dalam bahasa Inggrisnya paling uangel dan paling jarang dipakai. Yg digunakan bukan kata-kata sulit yg umumnya muncul dalam bacaan seperti yg biasa kita temui dalam buku TOEFL. Saya sampai berpikir bahwa kata-kata itu bahkan sudah tidak dipakai lagi dalam buku-buku bhs Inggris di abad 20. Pokoknya vocabulary yg bisa membuat mahasiswa paling pintar pun klenger. Saya bahkan, waktu itu, berpikir bahwa Bu Titoet ini hepi en enjoi menikmati mahasiswanya tidak berkutik dalam matkulnya. Tapi yg jelas Bu Titoet memang tidak suka pada mahasiswa yg kemlinthi dan sok pintar seperti saya. Pokoknya beliau selalu cari-cari kelemahan dan kesalahan saya utk dimarahi (dan saya juga selalu cari-cari cara utk bikin masalah dengan beliau. Pokoke klop dah!) Beliau suka mahasiswa yg kuthuk dan ‘ngrepek-ngrepek’ pd beliau. Salah satu mahasiswa favoritnya di kelas kami adalah almarhum Sardiono (semoga Allah menerima arwahnya di sisiNya). Suasana kelas akan lebih cair dan Bu Titoet akan lebih banyak tersenyum kalau ada Sardiono (yg kami panggil dengan nama Jojon). Sardiono sendiri juga menikmati perhatian khusus tersebut dan dengan tertawanya yg berderai-derai (oh…how much I misss him) sering mengolok-ngolok saya kalau dimarahi lagi sama Bu Titoet. Tapi bagi kami saat itu everything is a joke or just for fun.
Disamping ketat dalam nilai beliau juga ketat dalam masalah absensi. Mahasiswa yg kurang absensinya tidak akan boleh ikut ujiannya. Dan beliau akan membuat tanda silang pada kolom absensi kita dengan spidol berwarna merah…! Beliau juga akan menghitung jumlah mahasiswa yg benar-benar hadir dengan jumlah tandatangan yg ada. I hate this. Soalnya saya sudah bekerja sbg guru PNS pd saat itu dan seringkali mesti absen. Soal sulitnya matkul saya yakin bisa atasi karena saya punya bukunya dan bisa baca sendiri. Tapi kalau absen saya kurang dan tdk boleh ikut ujian kan blaen. Jadi saya memang berupaya sebisa-bisanya jangan sampai kurang dari 75% kehadiran saya di matkul beliau.
Suatu ketika saya melihat kelalaian Bu Titoet soal absensi. Kolom presensi saya minggu lalu yg saya absen ternyata tidak di silang merah. Mungkin beliau terlewat karena teman yg lain yg absen disilang merah. Ini kesempatan emas…!
Tanpa pikir panjang kolom tersebut langsung saya tandatangani. Sreeet…! Kena lo ama gua…! Hahaha…!
Tapi bukan Bu Titoet namanya kalau tidak melihat kesalahan Satria. Beliau langsung kaget ketika melihat absensi saya minggu lalu hadir lha wong beliau ingat banget bahwa saya tidak hadir di kelas beliau minggu lalu (asyik juga ya kalau selalu diingat oleh dosen).
Dengan marah beliau lalu bertanya, “Satria, saya ingat betul minggu lalu kamu tidak hadir tapi mengapa ada tandatanganmu di sini?”
Dengan santai saya menjawab, “Kalau tandatangan saya ada berarti saya hadir kan, Bu? Kalau saya absen PASTI Ibu akan menyilang kolom presensi saya dg spidol merah. Bukankah begitu, Bu?”
I remember clearly that she was ‘blangkemen’ at that time. It’s her own fault forgetting to cross my name last week.
Tentu saja Bu Titoet mengomel panjang pendek dan bilang bahwa beliau ingat betul bahwa saya tidak hadir minggu lalu. Tapi tentu beliau tidak bisa membuktikannya karena FAKTANYA tandatangan saya ada bertengger dengan manisnya di kolom yg lupa beliau silang tersebut.
Oooh…it’s such a beautiful day…! 😀
NB:
Saya sudah minta maaf soal ini pada beliau belasan tahun kemudian dan beliau bilang sudah lupa soal ini. Beliau memang seorang Ibu yg penuh kasih dan pemaaf. Doa saya selalu utk beliau. 😀
Saya juga ingat dimarahi oleh my girlfriend (I won’t tell you who) karena melakukan tindakan ‘near to crime’ tsb. “Satria tidak boleh begitu,” that all she said but it quite stabbed me. It’s not that fun anymore after she said it.
PAK DJOKO SOELOEH MARHAEN
Pada jaman kuliah saya di S-1 (1980-1984) banyak dosen yg suka merokok di kelas. Ada Pak Sentiko Budi yg kami panggil ‘Sherlock Holmes’ karena gayanya mirip Sherlock Holmes dengan cangklongnya. Ada Bu Thea dengan gaya khasnya yg sophisticated dan jarinya tak pernah lepas dari rokok filter. Sambil bicara dengan suaranya yg serak-serak basah dan diselingi tawanya yg renyah beliau akan sekali-sekali ambil ‘break’ untuk menghisap rokoknya kuat-kuat dengan gaya yg begitu nikmat. It’s quite a show. 🙂 Sering saya berpikir bahwa mata kuliah beliau sebenarnya adalah iklan promosi rokok. :-D.
Selain beliau berdua ada juga Pak Djoko Soeloeh Marhaen yg gaya penampilan dan senyumnya selalu memikat para mahasiswi. Meski perokok berat tapi beliau selalu dikerumuni oleh mahasiswa karena beliau memang selalu ramah dan dekat dengan mahasiswa (mahasiswi mostly).
Pertama kali masuk kelas kami beliau meletakkan rokok dan koreknya di atas meja, memperkenalkan diri, dan berkata, “Saya ini perokok jadi saya mohon ijin utk merokok di kelas.” sambil melemparkan senyum mautnya tersebut. Semua mahasiswa diam tanpa reaksi. Saya sendiri juga perokok berat jadi tentu tidak keberatan. Saya tidak tahu apakah semua org tidak keberatan kalau dosen merokok di kelas tapi saat itu memang ‘happiest moment for smokers’ karena tdk ada larangan bagi guru atau dosen utk merokok di kelas. Saya sendiri menikmat masa-masa perkuliahan sambil duduk di belakang dekat jendela sambil merokok dengan nikmatnya. Sampai th 90 masih merokok ‘kebal-kebul’ di depan kelas. Ketika di Bontang barulah saya ‘taubatan nasuha’ dan berhenti merokok sama sekali. Saya mengajar di Internationa School saat itu dan merokok di ruang kelas sudah difatwa haram oleh mereka. Najis mugholadoh. 🙂
“Silakan kalau ada mahasiswa yg mau merokok juga di kelas saya,” sambung Pak Djoko. “Haaah…!” What an invitation…!
“Kalau gak punya rokok boleh ambil rokok saya di atas meja itu,” lanjutnya tetap dengan senyum mautnya pada kami sambil menunjuk kotak rokoknya di atas meja.
Tanpa menunggu tawaran ke dua kalinya saya segera maju dari belakang ke meja beliau dan mengambil sebatang rokok beliau dan menyulutnya sekalian.
Fuh…! Sungguh nikmat.
“Thanks, Pak Djoko!” Kata saya dan kembali ke kursi saya di belakang.
Tentu saja semua orang kaget melihat saya dengan santainya maju dan mengambil rokok Pak Djoko di meja beliau. Ini pertemuan pertama dengan beliau dan I was so casual with the situation. “Gendeng arek iki…!” demikian pikir mereka. Mereka kan tidak tahu kalau saya sudah pernah kuliah setahun di jurusan bhs Inggris pada program PGSLPYD (Program Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yg Disempurnakan).
Tapi sebenarnya bahkan Pak Djoko kaget kalau tawarannya tersebut ada yg langsung menyambutnya. Saya ingat teman-teman mengingat momen tsb sambil misuh-misuh.
“Koen kok cek kurang ajare sih, Sat! Moro unyuk-unyuk teko mburi njukuk rokoke Pak Djoko. Aku sampek kaget gak ambekan kuatir Pak Djoko nesu.” demikian kata mereka.
Rupanya mereka ‘shock’ melihat saya begitu demonstratif menerima tawaran Pak Djoko yg mereka anggap cuma basa-basi itu.
“How do you know it was only ‘abang-abang lambe’ if you don’t check it out…?!”
“Pancene koen iku kurang ajar kok, Sat! Liyo dino balenono maneh yo. “ Jawab mereka sambil tertawa ngakak.
Oooh…it’s such a beautiful day…! 😀
BU HERYATI
Begitu diterima di S-1 Bhs. Inggris IKIP Surabaya saya segera mengajukan permohonan pindah kerja dari Caruban ke Surabaya. Alhamdulillah saya bisa pindah ke SMPN 2 Surabaya dan dapat mengajar kelas siang. Jadi paginya saya kuliah dan siangnya langsung mengajar.
Karena harus mengurus kepindahan ini maka saya agak terlambat ikut kuliah sekitar seminggu. Pada minggu kedua barulah saya bisa masuk ke kampus pertama kali. Itu pun saya juga terlambat masuk kelas! Setelah bertanya kesana kemari barulah saya tahu di mana kelas sedang berlangsung (seingat saya di Ruang H).
Ketika saya masuk kelas saya melihat seorang ‘dosen’ wanita bertubuh subur sedang asyik menulis di papan tulis. Dengan sopan saya mengetuk pintu dan ketika ‘dosen’ itu menoleh saya mengucapkan ‘Selamat Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.” Eh! Seluruh kelas malah tertawa termasuk si ‘dosen’ bertubuh subur ini. What’s wrong…?! Saya tidak tahu apa yg salah.
Ternyata dia bukan dosen melainkan juga seorang mahasiswa baru seperti saya tapi diminta utk menuliskan materi perkuliahan di papan (kuno banget ya!) Nama ‘Bu Dosen’ itu Theresia Sumartono (biasanya kami panggil dg nama ‘Bu atau Mbak Tris’) dan usianya memang sudah sekitar 30-an. Kelas kami memang bukan hanya diisi oleh mahasiswa lulusan SMA baru. Banyak di antara kami yg sudah lama lulus dan bekerja. Beberapa di antaranya adalah ibu rumah tangga seperti Mbak Tris, Bu Dewi, Mbak Oka, Bu Tatik Tedi, Bu Sumartiati dan beberapa lagi. Jadi kalau saya mengira Mbak Tris dosen yg mengajar ya tidak salah lha wong bodi dan usianya layak utk disebut dosen (Bu Tris adalah pemilik sekolah Margie di Dukuh Kupang).
Tapi saya gondok juga mengalami peristiwa ‘memalukan’ itu. Sudah datang terlambat dan terburu-buru eh, malah kelas tidak ada dosennya dan yg mengisi malah sesama mahasiswa. It seems like a bad day to start my study.
Karena jengkel saya akhirnya duduk saja di bangku paling belakang dan mengamati kelas baru saya itu. Jumlah mahasiswa dalam satu kelas tidak banyak. Mungkin hanya 20-an orang saja. Di bangku paling belakang selain saya ada seorang mahasiswi yg juga nampaknya tidak berminat utk mencatat seperti saya. Ia diam-diam saja mengamati kelas seperti saya. Saya melirik sekilas dan langsung sadar bahwa mahasiswi ini cantik, imut, dan anggun. Just exactly my type, pikir saya (heran…! Pokoke nek ayu dan anggun kok yo mesti ‘my type’ gitu loh…!). Hmmmm….! Maybe this is not really a bad day, pikir saya. Ketika saya menoleh padanya ia malah menegur saya duluan, “Nggak nyatat…?!”. ‘Boleh juga nyali cewek ini’, pikir saya.
“Nggak ah, males,” jawab saya sekenanya, “Kamu…?!” Saya balik bertanya. Dia tidak menjawab cuma tersenyum muaaanis banget…! Hampir saja saya kena sakit jantung gara-gara senyum manisnya tersebut. Mak deg…! Oh Dewa Asmara… Di manakah dikau gerangan…?! Ojok ndelik opo’o…
Tiba-tiba si Cantik Imut ini berdiri dan berkata, “Sudah sampai di situ saja.”. Si ‘Dosen’ kemudian dengan patuh menghentikan kegiatannya menulis dan berkata, “Ya, Bu.”.
“Haaah…!”
Jadi ternyata Si Cantik Imut ini justru dosennya…?! Matik aku…!! Gilaaa…!
Si Cantik Imut Anggun ini kemudian maju ke depan kelas dan mulai mengajar.
Saya hampir mati membeku mengetahui kesalahan saya ini. Sepanjang pelajaran saya diam tidak berkutik. Gobyos rasane klambiku. Kok bisanya dalam satu peristiwa saya membuat dua kesalahan beruntun…! This is surely a very bad day. Apa tadi saya melangkahi kucing hitam ya…?! Tapi rasanya tadi kucingnya kutendang kok.
Si Cantik Imut Anggun ini namanya Bu Heryati dan merupakan dosen baru juga. Beliau satu angkatan dengan Bu Rini Paat. She was my FIRST favorite lecturer. Saya sering membayangkan kalau seandainya ia mau menjadi pacar saya maka Ketintang pasti geger. Jalan-jalan akan macet karena Si Komo lewat.
Sebetulnya saya sudah mengumpulkan keberanian utk ‘nembak’ dia. Hari demi hari saya kumpulkan keberanian saya utk menyatakan cinta saya secara spektakuler. Ya, ini harus spektakuler…!
Kau harus jadi milikku…!
Kau harus jadi milikku…!
Tapi sebelum keberanian saya berkumpul cukup banyak ternyata saya terlambat….! (Musik : terlambat sudah…terlambat sudah. Semuanya tlah berlalu…) Seorang laki-laki (yang sak jane ngono gak sepiro gagah dan masih unda-undi dengan saya) berhasil menyuntingnya dan membawanya ke Bontang (Semula profesinya guru juga sih tapi kemudian pindah bekerja di PT Pupuk Kaltim).
Terbanglah cintaku jauh ke Pulau Borneo…(dan aku terpaksa harus ngosek jeding)
Epilog :
Bertahun-tahun kemudian saya menyusulnya ke Bontang. Sebetulnya bukan menyusul si Cantik Imut Anggun sih tapi karena saya juga akhirnya diterima bekerja di Bontang International School (PT Badak Bontang). Tapi bukankah ini sebuah kebetulan yg indah…?! Tuhan telah menakdirkan kami utk berjumpa kembali (trus ape lapo awakmu heh…?!)
Apakah saya berupaya mencarinya? You bet…!
Saya berhasil mencari dan menemuinya. Bu Heryati mengajar di lembaga kursus bhs Inggris di PT Pupuk Kaltim dan suaminya di bagian HRD kalau tidak salah. Beliau masih tetap Cantik Imut dan Anggun meski sudah punya anak.
Sekarang suaminya mestinya sdh pensiun. Entah mereka masih tinggal di Bontang atau tidak. I lost contact with her.
Oooh…it was such a beautiful day…!
Surabaya, 20 Juli 2014

Satria Dharma
https://satriadharma.com
Wkwkwkkw ceritanya asik semua, bikin ngakak. Terutama dosen heryati.
Pak, bisa tulis kesan pengalaman diajar Mama Thea?