Dear all,
Saya mohon maaf jika menyodorkan topik ‘basi’ ini ke hadapan Anda. Saya juga tidak bermaksud utk memprovokasi Mas Ihsan yg selama ini berbeda pendapat dg saya soal ini. Saya menghargai apa yg dipegangnya dg erat meski saya berbeda pendapat dengannya.
Kebetulan kegiatan ngaji rutin ‘otodidak’ saya tiba kembali ke ayat berikut ini (Al-Baqarah 187) dan saya ‘thenger-thenger’ tidak bisa meneruskan ngaji dan dipaksa utk berpikir. I was struck by a thought.
Dan saya ingin berbagi dengan Anda….
How would you understand or interprete this verse?
“uhilla lakum laylata alshshiyaami alrrafatsu ilaa nisaa-ikum hunna libaasun lakum wa-antum libaasun lahunna ‘alima allaahu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fataaba ‘alaykum wa’afaa ‘ankum faal-aana baasyiruuhunna waibtaghuu maa kataba allaahu lakum wakuluu waisyrabuu hattaa yatabayyana lakumu alkhaythu al-abyadhu mina alkhaythi al-aswadi mina alfajri tsumma atimmuu alshshiyaama ilaa allayli walaa tubaasyiruuhunna wa-antum ‘aakifuuna fii almasaajidi tilka huduudu allaahi falaa taqrabuuhaa kadzaalika yubayyinu allaahu aayaatihi lilnnaasi la’allahum yattaquuna”
[2:187] Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf115 dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”
Banyak hal yg disampaikan pada satu ayat ini tapi saya hanya akan fokus pada kalimat ‘dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, (yaitu fajar)’.
Tentu saja saya sdh membaca potongan ayat ini begitu seringnya sehingga selama ini ayat ini tidak terasa ‘menyentuh’ lagi. Tapi pagi ini tiba-tiba ia ‘menyentak’ lagi dan mengingatkan saya akan diskusi kita tentang ‘Rukyat atau Hisab?’ pada permulaan awal Ramadhan lalu. Diskusi tidak berlangsung karena kita sepakat utk tidak memperdebatkan siapa yg mau ikut ‘ru’yat’ dan siapa yg ikut ‘hisab’ (terus terang saya pesimis masalah perbedaan pendapat ini bisa kita satukan sampai kapan pun melihat ‘karakter’ bangsa kita).
Tapi ‘berpikir’ adalah kegiatan yg harus terus kita lakukan tidak peduli apakah itu akan mendatangkan pertentangan atau tidak.
Klausa ‘hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam’ adalah petunjuk utk memulai waktu berpuasa, yaitu fajar atau waktu Subuh. Karena saat itu belum ada ‘teknologi’ utk menentukan waktu fajar dengan tepat maka Allah membantu umat Islam pada saat itu dengan cara yg bisa dan mudah dilaksanakan oleh siapa pun umat Islam pada saat itu. It’s a very simple way to decide the time to start fasting. Tapi tentu saja cara sederhana itu termasuk kuno dan ‘primitif’ pada saat ini dan tentunya Allah juga tidak berharap agar kita masih tetap berpegangan pada cara kuno yg ‘primitif’ tersebut. Mestinya lho…! Apa gunanya Allah mengajari kita berbagai ilmu dan teknologi (allama bil qalam) jika kita masih juga berpegangan pd cara kuno ala Abad ke 7?
Coba resapi makna ayat tersebut dan bayangkan konteksnya ketika ayat itu turun dan setelah itu tarik ke konteks di jaman di mana kita hidup saat ini…!
‘hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam’…?! Siapakah di antara kita yg masih berpegang secara harfiah pada teks ini dan tidak mau menggunakan cara yg lebih maju dan modern utk menentukan waktu fajar atau Subuh hari? Saya yakin bahwa komunitas Islam yg paling ortodoks pun sudah tidak lagi membekali diri mereka dg benang putih dan hitam untuk menentukan waktu mulainya berpuasa meski mereka sangat ingin menjadi umat Islam yg paling ‘literal and textual’ (not to say conservative).
Tiba-tiba saya teringat pembahasan tentang masalah ‘localities’ dan ‘universalities’ dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat ini jelas menggunakan contoh yg sangat spesifik pd jaman Rasulullah ketika umat Islam belum punya ‘alat’ utk menentukan kapan tepatnya waktu Subuh tiba sehingga Tuhan ‘terpaksa’ harus membantu dg cara yg begitu sederhana (tapi mungkin terasa ‘kuno’ dan bahkan ‘aneh’ utk konteks kita saat ini).
Menentukan saat masuk waktu Subuh utk memulai waktu berpuasa dengan melihat ‘Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam’ jelaslah cara yg sudah kita tinggalkan. Meski ini adalah cara yg diberikan langsung dari Tuhan melalui Rasulullah dan tercantum dalam Al-Qur’an ayat ini sudah tidak kita pakai lagi karena Allah sudah mengajari kita cara-cara yg jauh lebih sophisticated. Kita kini menggunakan cara yg jauh lebih mudah dan akurat dan meninggalkan cara yg diajarkan Tuhan MESKI PUN cara yg kita gunakan tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci mana pun.
Tujuan lebih penting ketimbang cara…
(Meski pun cara itu adalah cara yg disampaikan oleh Tuhan LANGSUNG (literally) dalam Al-Qur’an)
Pertanyaan saya adalah : Apakah kita masih akan mempertahankan cara-cara lama (yang mungkin terasa ‘primitif’ utk saat ini) dalam memecahkan berbagai masalah kita meski itu datang dari Tuhan (literally written in the Holy Qur’an) ketika Tuhan sebenarnya telah melimpahi kita dengan begitu banyak cara lain melalui ilmuNya (allama bil qalam)?
Sorry to disturb you with this thought…
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Berawal dari gugling mengenai polemik PNS nyambi di luar, saya akhirnya “tersesat” di blog Pak Satria Dharma dan membaca postingan demi postingan. Menarik. he3.
Sebenarnya saya lebih tertarik untuk membaca tulisan-tulisan Bapak mengenai pendidikan. Terlihat jelas bahwa Bapak sudah lama malang melintang di dunia pendidikan, dan Bapak pinter nulis, jadilah tulisannya bagus-bagus. #lho lha komen postingane ndi iki?
Terkait postingan ini, saya jadi bertanya-tanya, apakah memang benar jaman dulu belum ada hisab? Sebab dari beberapa artikel yang saya baca, jaman dulu sudah ada hisab namun Rasulullah tidak menggunakannya. Ini referensi artikel yang saya maksud (mudah-mudahan ndak jadi sepam):
– muslimah.or.id/fikih/saudariku-inilah-cara-menentukan-awal-bulan-ramadhan.html
– asysyariah.com/meneropong-ilmu-hisab/
Mohon bila ada keluangan waktu Bapak, untuk mengecek artikel tersebut. Dan mudah-mudahan, pilih hisab atau pun ru’yah, tidak menjadikan rasa saling menghormati di antara masyarakat kita berkurang.
Jika memang ilmu hisab sudah berkembang pada jaman Rasulullah maka tentunya jadwal sholat sudah menggunakan ilmu hisab. Faktanya jadwal sholat pada jaman Rasulullah masih menggunakan melihat langsung pergeseran matahari.
“Sesungguhnya solat itu diwajibkan atas orang-orang yang beriman menurut waktu-waktu yang tertentu” ( Q.S. An-Nisa’ :103 )
“Dirikanlah solat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh sesungguhnya solat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”.
( Q.S. Al-Isra’ : 78 )
Saat ini semua umat Islam sudah menggunakan jadwal sholat berdasarkan perhitungan ilmu hisab dan tidak lagi melihat pergeseran matahari. Lantas mengapa soal awal bulan Ramadhan masih tetap menggunakan cara melihat langsung hilal?