Meski pun MK belum mengeluarkan keputusannya apakah program RSBI yang digugat akan dihentikan atau boleh diteruskan tapi nampaknya Kemdikbud sudah menetapkan untuk mengabaikan hasil keputusannya dan akan tetap meneruskan program tersebut. Mereka juga sudah menetapkan caranya yaitu sekedar mengganti namanya. Baca disini Kemdikbud Ngotot Teruskan Model RSBI. Mungkin mereka terinspirasi oleh Tukul yang ketika digugat dengan program ‘Empat Mata’nya lalu kembali tayang dengan nama “Bukan Empat Mata”…! Mudah-mudahan Kemdikbud tidak sekedar mengubah program RSBI tersebut menjadi “RSBI Plus Plus”.
Tentu saja kengototan Kemdikbud ini menimbulkan banyak pertanyaan dan keprihatinan. Bukankah ini sama dengan menunjukkan sikap pembangkangan terhadap hukum? Ada apa dibalik itu semua? Wamendikbud bersikeras bahwa program RSBI ini sebenarnya baik. Dan untuk mendukung argumennya beliau hanya menyampaikan bahwa banyak respon positif yang diberikan kepada Kemdikbud mengenai program ini.
Sebenarnya secara umum RSBI, menurut Musliar, sangat diapresiasi. Baik itu oleh para orangtua, maupun anak didik yang ada. Makanya beranjak dari hal ini, tidak heran jika Musliar melihat ada sesuatu yang tidak wajar dibalik tuntutan penghapusan RSBI. “Karena kalau dikatakan tidak baik, buktinya banyak sekali respon positif yang diberikan kepada kita. Baik oleh orangtua maupun para anak didik sendiri,” kilahnya
Hal ini tentu menggelikan dan menunjukkan betapa miskinnya argumen Kemdikbud dalam membela program ini. Hanya karena banyak respon positif kepada Kemdikbud maka program ini harus diteruskan MESKIPUN harus melanggar hukum dan aturanÂ…!
Dan karena menurut Wamendikbud program ini sebenarnya baik maka beliau mencurigai ada yang tidak wajar dibalik gugatan ini. Ada yang tidak wajarÂ…?! Apa kira-kira yang tidak wajar menurut beliau pada gugatan ini. Apakah Wamendikbud benar-benar sudah mempelajari program ini dan juga sudah membaca tuntutan dan gugatan yang dilayangkan sehingga dengan gegabah menyimpulkan bahwa program RSBI ini BAIK DAN HARUS DITERUSKAN dan mereka yang menggugat sampai ke MK adalah orang-orang yang punya tendensi tidak wajar? Apa sebenarnya yang membuat Wamendikbud begitu yakin bahwa program ini BAIK DAN HARUS DITERUSKAN APAPUN ALASANNYA? Apakah karena ada respon positif dari orang tua dan anak didik ini yang dijadikan sebagai alasan utama?
Kengototan Wamendikbud untuk meneruskan program yang salah konsep ini mungkin karena belum mendapatkan masukan dari eveluasi yang dibuat sendiri oleh Balitbang Kemdiknas beberapa waktu yang lalu. Berdasarkan paparan Fasli Jalal, Wamendiknas sebelumnya, pada Simposium British Council pada 9-10 Maret 2011 yang lalu dengan judul : RSBI: ITS ESTABLISHMENT, DEVELOPMENT AND ISSUES, program RSBI yang telah berjalan di 1300-an sekolah di seluruh Indonesia ini ternyata memang tidak mungkin bisa berhasil. Dari hasil studi pada 600 guru RSBI ternyata kemampuan bahasa Inggris mereka 50,7% berada pada taraf Novice yang artinya lebih rendah dari taraf Elementary dan yang Elementary sebanyak 32,1%. Artinya bahwa kemampuan para guru RSBI ini 80% lebih sangat mengenaskan. Bagaimana mungkin guru yang pemahaman bahasa Inggrisnya saja sama dengan orang yang baru belajar bahasa Inggris tiba-tiba diminta untuk mengajar menggunakan bahasa tersebut? Evaluasi Balitbang sendiri juga menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas justru lebih menyulitkan guru menyampaikan materi dan membuat mereka stress. Bukankah ini berarti bahwa kebijakan mewajibkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar oleh guru-guru yang baru belajar di program RSBI ini sebagai sebuah kegagalan? Apakah Wamendikbud baru ini justru akan meneruskan program yang dianggap gagal oleh Wamendiknas sebelumnya?
Berdasarkan laporan dari Fasli Jalal sendiri disebutkan bahwa ternyata terjadi pungutan dana pada orang tua dalam jumlah besar yang tidak jelas mekanisme penggunaannya begitu juga dengan dana dari pemerintah yang masuk ke kas sekolah tanpa adanya sistem pelaporan yang jelas. http://www.yiela.com/view/1669466/wamendiknas–banyak-sekolah-menyalahgunakan-dana-rsbi
Ringkasnya, program ini memang rawan penyelewengan karena tidak ada mekanisme pengaturan pemungutan, penggunaan maupun pelaporannya. Apakah Wamendikbud baru ini akan meneruskan sistem yang rawan penyelewengan ini?
Selain masalah tersebut, evaluasi Balitbang Kemdiknas juga menemukan fakta bahwa seleksi penerimaan siswa pada sekolah RSBI ini yang semestinya berdasarkan potensi dan prestasi siswa ternyata di lapangan lebih banyak didasarkan pada tingkat kemampuan siswa untuk membayar uang sekolah yang tinggi. Semakin tinggi kemampuan membayarnya semakin tinggi pula kemungkinan diterima. Meski demikian tidak ada tindakan pemerintah untuk menghentikan dan mencegah praktik ini terus berlangsung. Laporan tentang keluhan orang tua yang dimintai dana sampai puluhan juta agar bisa masuk ke sekolah-sekolah RSBI ini terus berdatangan tapi tak pernah ada tindakan samasekali untuk menghentikannya. Apakah ini juga akan diteruskan karena adanya respon positif dari orang tua dan siswa RSBI?
Secara jelas Balitbang menunjukkan hasil evaluasinya bahwa persyaratan pendirian sekolah baru RSBI menjadi lebih longgar dan dalam banyak kasus justru prestasinya malah jeblok (in many cases do not result in better school-performance). Jadi sekolah-sekolah yang semula adalah sekolah berkualitas “A” ternyata setelah menjadi sekolah RSBI lantas prestasinya menjadi jeblok. Apakah Wamendikbud sudah pernah membaca hasil laporan studi yang dilakukan oleh Balitbang Kemdikbud sendiri? Jika sudah lantas apa alasan untuk meneruskan program gagal ini?
Pada waktu sebelumnya Balitbang Kemdiknas juga telah menyampaikan hal yang sama. Pada tanggal 29-31 Oktober 2010 di Grand Zuri Cikarang, Bekasi, diadakan Seminar Nasional Sekolah Bertaraf Internasional dengan tema “Revitalisasi SBI dalam Rangka Meningkatkan Mutu dan Daya Saing Bangsa” oleh Balitbang Kemdiknas. Sepanjang sesi seminar pejabat dan staf Kemdiknas memberikan kritik dan pertanyaan serius kepada para pemrasaran yang notabene adalah sesama pejabat Kemdiknas! Jelas sekali bahwa staf Kemdiknas sendiri belum memiliki pemahaman yang sama dan bulat tentang SBI ini padahal program ini telah berjalan selama sekian tahun. Padahal Studi Evaluasi Penyelenggaraan RSBI/SBI yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Balitbang dan disampaikan oleh Ir. Hendarman MSc, PhD ternyata hanya mengevaluasi sistem penerimaan peserta, prestasi akademik siswa dan gurunya, sistem pendanaan dan tatakelolanya. Tak ada evaluasi untuk proses pelaksanaanya di kelas dan apa dampak yang ditimbulkannya. Padahal justru itu yang perlu diteliti.
Meski salah satu simpulannya menyatakan bahwa “Siswa RSBI menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik daripada siswa regular” (Tentu saja…!Bukankah mereka memang siswa terbaik ‘cream of the cream’ yang melalui seleksi ketat sebelumnya) tapi ternyata secara rata-rata tidaklah menonjol (hanya lebih tinggi 12% di tingkat SD dan 15% di tingkat SMP). Selain itu ditemukan banyak kasus siswa RSBI/SBI yang justru tidak lulus Ujian Nasional!
Evaluasi Balitbang tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan akademis para guru (R)SBI ini pada beberapa bidang studi ternyata kalah bagus ketimbang guru reguler (Sebaran skor kemampuan Guru Biologi RSBI di SMA lebih rendah dibandingkan dengan guru biologi reguler. Sebaran skor kemampuan guru IPA (Fisika) kelas RSBI lebih rendah daripada skor guru reguler di SMA. Sebaran skor kemampuan pedagogik guru SD di kelas reguler cenderung lebih baik pada skor yang tinggi dari pada RSBI). Yang lebih mengejutkan adalah bahwa skor Matematika siswa RSBI relatif sama dengan siswa reguler padahal input sekolah-sekolah RSBI ini adalah siswa pilihan terbaik di daerah masing-masing. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa prestasi yang diperoleh sebelumnya justru merosot setelah mengikuti program RSBI ini?.
Peneliti dari University of Leeds, Hywell Coleman, pernah menulis makalah tentang RSBI dengan judul yang sangat provokatif “SBI : What Are They For?”. Coleman mengritik habis kebijakan penggunaan bahasa Inggris di kelas Indonesia yang dianggapnya tidak realistis dengan pernyataan ‘The purpose of the schools is ambiguous’ dan ‘the purpose of teaching other subjects through English is unclear’. Bahkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris secara salah kaprah ini memakan korban kompetensi berbahasa Indonesia siswa kita. ‘The consequences for other languages in Indonesia are potentially serious : competence in the national language (Bahasa Indonesia) is likely to decline’. Coleman juga menengarai dampak negatif lainnya pada siswa yaitu bahwa program ini menimbulkan prilaku sosial yang negatif antara siswa RSBI dan yang non-RSBI. (The international standard schools appear to give rise to negative social attitudes between their pupils and those who study in mainstream schools) . Pada konferensi Internasional bertema Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs) pada 11 November 2010 di Bangkok, Thailand. Danny Whitehead, Head of English Development British Council menyimpulkan, “Bahwa penggunaan bahasa asing di sekolah-sekolah di Indonesia yang berstatus rintisan internasional dinilai tidak efektif. Sebabnya adalah tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga masing-masing guru di setiap sekolah mengajar materi berbeda-beda dengan metode pengajaran yang berbeda pula (Mudjia Rahardjo : 2012).
Jika sebuah program pendidikan yang dilakukan dengan konsep asal-asalan, berbiaya tinggi, hasilnya jeblok, membuat kasta-kasta dalam pendidikan, menciptakan diskriminasi dan segregasi, telah gagal di negara lain meski dengan persiapan yang jauh lebih baik dan bahkan tak ada satu pun pihak yang bisa menunjukkan kelebihan dari program ini lantas mengapa harus tetap dipertahankan dengan segala cara dan bahkan dengan melanggar hukum? Apa sebenarnya dasar dari kengototan Wamendikbud ini?
Selama ini dalih yang digunakan adalah karena program Sekolah Bertaraf Internasional ini merupakan amanat Undang-undang sehingga jika tidak dilaksanakan maka itu berarti Kemdiknas melanggar AMANAT Undang-undang. Benarkah demikianÂ…?!
Nampaknya ada kesalahpahaman pemerintah dalam menerapkan UU ini. UU yang dijadikan sebagai dasar untuk menjalankan program ini adalah UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) dalam yang berbunyi sbb : “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
Undang-undang ini samasekali tidak berbicara tentang perlunya sekolah menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahkan menurut UU Sisdiknas Pasal 41 bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Jadi kebijakan bahasa pengantar bahasa Inggris ini melanggar UU Sisdiknas itu sendiri. UU ini juga tidak mengamanatkan pemerintah untuk menciptakan kelas-kelas sosial dalam pendidikan. UU ini juga tidak mengamanatkan pemerintah menganakemaskan siswa kaya dari siswa miskin dengan memberi mereka kemewahan menggunakan sekolah terbaik di seluruh Indonesia dengan jatah 80%. UU ini juga tidak melegalkan pungutan liar dalam pendidikan dan juga bahkan melanggar UU tentang pembiayaan pendidikan di pendidikan dasar. UU tersebut hanya menyatakan perlunya ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dan apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan program (R)SBI-nya tidaklah mencerminkan pemenuhan amanat Undang-undang tersebut selain hanya menggunakan istilah Sekolah Bertaraf Internasional. Itu semua hanya kesalahan interpretasi pemerintah dalam menerjemahkan pasal dalam UU belaka. Dan untuk itu pemerintah harus menginterpretasikan dan memformulasikan ulang pemahamannya atas pasal dalam UU itu.
Sebagai pejabat publik dengan jabatan Wamendikbud semestinya bisa lebih arif menyikapi gugatan Judicial Review tersebut dan tidak berkomentar reaktif dan sembrono seperti itu. Keinginan pemerintah untuk memiliki sekolah yang unggul dan beprestasi tentu saja sangat baik. Masyarakat tentu akan sangat mengapresiasi keinginan Kemdikbud untuk membuat sekolah-sekolah unggulan bagi siswa-siswa cerdas istimewa dan berbakat istimewa di seluruh Indonesia. Hal itu bahkan merupakan amanah UU dan UU Sisdiknas. Tapi jika program RSBI yang selama ini salah kaprah dan dianggap gagal maka semestinya Kemdikbud membuat kajian dan program baru agar tidak mengulangi kesalahan yang sama nantinya. Janganlah justru menunjukkan arogansi bahwa Kemdikbud tidak akan peduli dengan apa pun kata MK dan akan tetap meneruskan program RSBI meski pun dianggap melanggar. Itu sungguh tidak bijak.
Surabaya, 5 November 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com