Jika saya tinggal di rumah (tidak ke luar Balikpapan) artinya saya sedang tidak ada pekerjaan. Pekerjaan saya hampir seluruhnya ada di luar Balikpapan sehingga kalau ada di Balikpapan berarti saya sedang tidak ada pekerjaan. Begitu juga istri saya. Sekarang ini ia mesti mengurusi warung pecel milik keluarganya yang ada di Surabaya dan itu berarti ia mesti bolak-balik Balikpapan – Surabaya. Kadang-kadang saya dan istri bergantian agar tidak meninggalkan anak-anak kami yang masih sekolah terlalu lama. Tapi seringkali kami memang pergi bersamaan dan anak-anak kami tinggalkan di Balikpapan tanpa ada pengasuh di rumah. Karena mereka sudah terbiasa kami tinggal bepergian maka mereka juga biasa-biasa saja dan tidak pernah mengeluhkan ketidakhadiran kami di rumah.
Untuk urusan rumah kami punya pembantu yang setiap pagi datang mengurusi rumah dan kembali siang hari. Urusan makan siang sudah diselesaikan di sekolah karena mereka full-day school dan makan siang di sekolah. Urusan makan malam biasanya dibuatkan oleh pembantu kami dan kadang mereka beli sendiri. Mereka tidak pernah mengeluhkan soal makan. Mereka bisa membuat sendiri apa yang mereka mau karena ibunya telahmeninggalkan segala macam bahan makanan yang mereka sukai sebelum berangkat. Soal bangun pagi dan sholat Subuh yang setiap pagi mesti kami kontrol di mana pun kami berada. Jadi meski pun kami sedang travelling ke Bali, Malaysia, atau Sinjai, umpamanya, kami tetap menelpon mereka ke rumah untuk membangunkan mereka sholat Subuh. Itu sudah jadi ritual keluarga. Kalau tidak dbangunkan maka mereka akan bangun kesiangan dan gelagapan untuk mempersiapkan diri ke sekolah.
Urusan berangkat ke sekolah juga sudah ada diatur. Yubi akan mengantar Tara ke sekolah karena satu jurusan. Kadang kalau sudah terlambat maka ia hanya akan mengantar Tara sampai mulut jalan sekolah dan memintanya jalan kaki sampai sekolahnya. Tapi Tara tidak mengeluhkan hal ini. Ia menerimanya begitu saja tanpa harus mengeluhkan keharusan berjalan kaki sepanjang jalan ke sekolahnya tersebut. Tara memang tidak pernah meributkan hal-hal kecil dan selalu bergembira atas apa pun yang ia terima dalam hidup ini. (She always feels fulfilled in life. Isn’t it sweet…?!). Yufi biasanya berangkat sekolah diantar oleh Yeyen, staf di STIKOM yang pernah ikut kami, dan pulangnya naik angkot. Yeyen akan menjemput pulang Tara sekitar jam 14:30 dari sekolahnya. Jadi semua keperluan telah diselesaikan dengan beautiful. 😀
Tapi jika hujan turun pada pagi hari maka saya yang akan turun tangan. Apalagi kalau hujan deras mengguyur Balikpapan sejak malam. Formula 1 saya akan keluar paddock untuk mengantar Tara atau Yufi ke sekolah. Biasanya saya mengantar Tara karena Yufi akan diantar Yeyen. Yubi tetap berangkat sendiri pakai jas hujan dengan motornya.
Tapi belakangan ini Yufi sering meminta saya mengantarnya ke sekolah atau les. Meski ia sudah mahir naik motor dan badannya lebih besar daripada kakak dan bapaknya kami tidak pernahmembolehkannya naik motor ke luar kompleks. Ia belum punya SIM dan tidak akan bisa punya SIM sebelum berusia 16 tahun. Dan untuk urusan disiplin seperti ini ibunya sangat ketat (saya cenderung lebih longgar. Tapi peraturan ada di bawah Kemdagri Pubar 2, Kementrian Dalam Negeri Pupuk Baru Dua). Nah, selama perjalanan mengantar les atau sekolah ini biasanya saya gunakan untuk berkomunikasi dengan Yufi.
Seperti bapaknya, Yufi ini seorang yang introvert dan pendiam. Yang saya maksud pendiam adalah tidak banyak berbicara dan jika sedang tidak mood dan diajak bicara ia hanya akan menjawab satu atau dua patah kata saja. ‘Ya’, ‘tidak’, ‘Nggak tau’, ‘mungkin’, ‘memang gitu’, ‘ah..bapak ini’, dan sejenisnya. Ia lebih mudah berbicara dengan ibunya ketimbang dengan saya. Hanya kadang-kadang saja kalau perasaannya sedang nyaman maka ia akan mengajak saya ngobrol. Tapi kalau ‘mood’nya sedang buruk (dan ini menjadi semakin sering ketika ia mulai menginjak remaja) ia akan nampak uring-uringan dan berdiam seribu bahasa. Mungkin kepalanya penuh dengan berbagai masalah remaja yang sulit untuk ia pecahkan. Jadi untuk memancingnya berbicara pada saat demikian adalah sebuah tantangan tersendiri. Apalagi kalau mau ditanya tentang perasaannya. No waylah…!
Saya sering bertanya-tanya dalam hati mengapa seorang remaja begitu sulit untuk diajak bercakap-cakap, terutama tentang perasaannya. Apakah mereka merasa bahwa hidup dan kehidupan adalah misteri untuk diri mereka sendiri dan tidak perlu disampaikan kepada ayahnya? Apakah Yufi merasa tidak nyaman bicara terbuka dengan ayahnya, atau ia tidak memiliki kemampuan untuk bercerita? Anak remaja memang mengalami masa paling sulit dengan dirinya sendiri dan mereka senderung menolak untuk diajak bicara tentang dirinya. Mereka sendiri seringkali tidak tahu mengapa bersikap atau bereaksi begini dan begitu dan seolah sikap mereka muncul begitu saja tanpa dipikirkan.
Banyak orang yang tidak mampu untuk berkomunikasi secara verbal dan saya dulu juga bermasalah. Dulu saya punya masalah rendah diri yang cukup akut sehingga sering bicara gagap pada orang-orang yang saya anggap lebih superior daripada saya. Apalagi kalau ketemu gadis cantik…! Ambyar semua konsentrasi saya dan saya jadi dongok. Jadi kalau mau menyatakan ‘I love you’, umpamanya, mungkin saya aan mengatakan ‘ Ai …ai…lap byuuuur…!’ saking gagapnya. Tentu saja saya sadar akan kelemahan tersebut dan berupaya keras untuk mengatasinya. Saya harus belajar banyak untuk mampu berkomunikasi secara verbal dan bertahun-tahun kemudian baru mampu bicara di depan umum dengan percaya diri. Banyak orang yang sangat pandai bercerita dan ngobrol tapi begitu berhadapan dengan audiens dalam sebuah presentasi langsung mati gaya. Jadi saya yakin bahwa kemampuan bercerita dan berkomunikasi adalah sebuah ketrampilan yang bisa dilatih. Dan saya ingin Yufi belajar untuk berkomunikasi dengan lancar.
Saat-saat di mana Yufi sering merasa bad mood adalah ketika akan berangkat ke sekolah. Mungkin berangkat ke sekolah adalah waktu yang menekan dirinya dan ia merasa kehilangan selera untuk berbicara dengan siapa pun. Kalau ditanya ia akan menggunakan mantra‘answer with two words most’. Ia akan menjawab sependek mungkin dan kalau bisa ya tidak menjawab. Sungguh sulit untuk mengajaknya berbicara pada saat mau berangkat ke sekolah tersebut. Ini sangat berbeda dengan tara yang sejak pagi sudah langsung ceria. (Tara loves school very much.Semua hal di sekolah menyenangkan baginya)
Karena saya ingin agar Yufi merasa nyaman ketika sampai di sekolah maka saya menggunakan kesempatan mengantarnya sekolah dengan mengajaknya ngobrol. Paling tidak saya punya 20 menit dari rumah sampai sekolahnya kalau saya tidak terpancing untuk menjadi Fernando Alonso di jalanan Balikpapan. Dengan menjadi Fernando Alonso saya bisa memperpendek waktu ke sekolahnya hanya 15 menit saja dan dalam setengah jam saya sudah kembali ke rumah.
Karena tahu bahwa tidak mudah untuk mengajak Yufi mengobrol maka saya memulai dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Apa yang paling kamu sukai di sekolah, Yufi..?”
“Pulang sekolah.” See…?!
“Kenapa..?!” Saya pernah baca buku bahwa untu mengajak seseorang berbicara maka kita harus sering bertanya dengan pertanyaan yang membutuhkan penjelasan dan pertanyaan ‘mengapa’ itu paling bagus dipakai.
“Bisa main.” (Nah…! Ia mulai menggunakan strategi ‘answering with two words most’nya)
“ Kan di sekolah juga bisa main.” Jawab saya memancing.
“Ya.” Silence. Matanya tetap menuju jalanan. Jadi saya harus mengubah strategi. Saya harus bercerita dulu agar ia merasa nyaman bahwa ia tidak sedang ‘diinterogasi’.
Jadi saya pun kemudian bercerita bahwa pada waktu sekolah saya dulu tidak merasa senang dengan pelajaran sekolah kecuali Olahraga dan Menggambar. Itu adalah dua pelajaran yang paling kutunggu-tunggu karena begitu membebaskan saya dari keharusan untuk mendengarkan guru yang lebih sering menyebalkan daripada menyenangkan. (Actually I have told him the story many times. Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengingatkan saya akan hal ini)
“Apa pelajaran kesenanganmu…?!
“Matematika.”
Hmmm… Matematika ya! Ternyata dia lebih akademik ketimbang saya. Syukurlah…! Saya tidak pernah meragukan masalah akademiknya memang karena wali kelasnya sendiri mengatakan bahwa Yufi tidak ada masalah akademik. Baru-baru ini ia mengkuti tes psikologi dan laporan tentang IQ-nya tertera 112 atau ‘sedikit di atas rata-rata’. Ia punya masalah dengan kontrol dirinya dan sering mendapat kesulitan dengan sikap tersebut.
“Kenapa kamu suka matematika…?!”
“Suka aja.” Still can’t break his commitment on answering with two words most.
“Siapa temanmu yang paling kamu sukai..?!” Saya tahu bahwa ia akrab dengan beberapa teman sekolahnya dan ini mungkin topik yang bisa membantu saya memecahkan ‘mantra dua kata’nya.
“Banyak.’ (satu kata)
“ Siapa saja…?! Desak saya.
Ia diam tidak menjawab dan pandangannya tetap lurus ke depan. Saya kemudian membantunya dengan menyebutkan beberapa nama temannya.
“Ya.’ Sahutnya.
“Kenapa kamu suka dengan mereka…?!” Ini jenis pertanyaan yang saya anggap bisa membuatnya berbicara lebih dari dua kata.
“Gak sombong.”
“ Apa ada temanmu yang sombong…?!”
“ Ada.”
“Sombongnya gimana sih…?!” Ha…! Ia akan harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘sombong’ tersebut.
“Milih teman.” Ternyata ia masih bisa berkelit.
“Mengapa mereka sombong…?! Apa yang mereka sombongkan…?!’ Saya uber terus.
“Karena kaya.’
“Mereka kaya ya…?!”
“Ayahnya lah!”
“ Ooo… begitu. Apa kekayaan yang mereka punyai…?!”
“Hmmm… punya restoran.”
“Apakah itu alasan untuk bersikap sombong…?!”
“Nggak tau.”
“Mamamu juga punya warung di Surabaya. Kamu nggak merasa sombong kan…?!”
“Nggaklah.” Dan saya melihat wajahnya mulai cair. Nampaknya percakapan ini mulai kena di hatinya.
“Kamu tahu berapa warung yang di kelola mamamu…?!
“Mmmm… empat..?!” Ia tidak yakin dengan jawabannya dan saya sendiri tidak tahu jawabannya.
“Tidak sebanyak itu barangkali.” Jawab saya. “Coba di mana saja?”
“Di Surabaya, Madiun…. dan Jogya…..?!” Ia berusaha untuk mengingat-ingat.
“Ha…! Yang di Jogya kan sudah lama ditutup.” Ia rupanya tidak tahu bahwa depot pecel yang dibuka mamanya di Jogya sudah lama ditutup karena kurang prospektif. Tapi dunia orang tuanya memang tidak begitu dikenalnya. Ia bahkan tidak tahu tepatnya apa pekerjaan saya selain bepergian ke sana kemari. Tara bahkan menjawab “Di komputer…!” ketika ditanya apa pekerjaan ayahnya. Smart girl…!😀
Pembicaraan dengan Yufi semakin hangat sebenarnya. Sayang sekali kami telah sampai di tujuan dan ia pun harus turun. Sebelum turun saya mencium pipinya kiri dan kanan dan mengucapkan “Have a nice day at school, Nak!” Mencium pipinya sebelum ia turun adalah sebuah ritual yang paling saya sukai dari mengantarnya ke sekolah. Seperti menerima sebuah amplop honor setelah mengerjakan sesuatu. Rasanya tak banyak orang tua yang masih mampu mencium pipi anak laki-lakinya yang sudah menginjak remaja ketika berangkat sekolah tanpa perlawanan.
Sepulang dari mengantarnya sekolah pagi itu saya tercenung memikirkan alangkah banyaknya hal yang semestinya saya lakukan dengan anak saya. Salah satu yang sangat penting adalah mengajaknya berkomunikasi dan meningkatkan ketrampilannya berbicara dan berekspresi. Saya punya pengetahuan dan pengalaman untuk mengajarkan bagaimana berkomunikasi dan berekspresi dan saya bisa mengajarinya. Sudah semestinya saya sebagai ayahnya mengajarinya untuk berkomunikasi. Saat mengantarkan ia ke sekolah adalah saat yang paling baik karena itu adalah saat di mana kami hanya berdua dan kami punya dua puluh menit yang berharga untuk belajar berkomunikasi. Dan ini juga saat yang tepat bagi saya untuk belajar bagaimana berkomunikasi dengan anak laki-laki saya!
Mulai sekarang saya tetapkan, sebisa-bisanya, untuk mengantar sendiri Yufi ke sekolahnya agar kami bisa saling belajar berkomunikasi satu sama lain dengan nyaman. Target saya adalah agar ia merasa nyaman ngobrol dengan saya karena sebetulnya ia dianggap mudah berkomunikasi oleh psikolog yang mengujinya. Jadi ini hanya masalah waktu dan kesempatan yang sebenarnya saya miliki. Dan saya merasa bergairah karena tantangan ini.
Balikpapan, 30 Nopember 2011
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com