
Saya kemudian diantar oleh guru piket ke Klas 2 D yang kosong karena guru bahasa Inggrisnya sedang sakit. Sambil berjalan mengikuti guru piket saya berpikir keras apa yang harus saya lakukan nantinya di sana. Jantung saya berdegup keras dan telapak tangan saya mulai basah oleh keringat. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan nanti karena saya sama sekali belum pernah berdiri di depan kelas. Otak saya ‘blank’ dan mogok bekerja. Saya berusaha menenangkan diri. Saya mensugesti diri dengan mengatakan bahwa I will just be fine there. Relax, bro…! Mereka hanya anak-anak ndeso dan saya adalah seorang lulusan sekolah guru yang penuh percaya diri. Mosok sama anak-anak SMP ndeso aja grogi, kata saya menguatkan diri. 🥴
Saya diantar oleh guru piket ke Klas 2 D. Diajak masuk dan diperkenalkan. “Kenalkan ini Pak Satria. Beliau guru baru. Nantinya akan ngajar bahasa Inggris. Silakan, Pak….” Lalu ia meninggalkan saya begitu saja. Ya, Allah…! Kok ditinggal sih…?! Nggak ada briefing apa-apa kok trus ditinggal. Saya itu lho tidak tahu harus berbuat apa di kelas ini. Saya sungguh tidak pernah tahu apa yang dilakukan oleh guru pengganti jika kelas kosong. Belum pernah ada praktek mengajar kelas kosong di PGSLPYD dulu. Ingin rasanya saya ikut kembali ke ruang guru. Tapi terlambat… Begitu saya berbalik guru piket tersebut sudah menghilang meninggalkan saya sendiri menghadapi anak-anak Klas 2 D. saya harus menghadapi mereka sendirian… Empat puluh anak serentak memandang saya dengan wajah bertanya-tanya.
Dengan gugup saya segera berusaha berdiri dengan tegak sambil meletakkan ke dua tangan saya di belakang. Ini seperti pose guru-guru yang berwibawa yang pernah saya lihat. Saya melihat mereka dengan tatapan tajam meyakinkan diri. Mereka juga menatap saya dengan tatapan bertanya-tanya. “Sopo wong iki…?!” Kami saling menatap. Satu melawan empat puluh siswa. Saya kalah dan grogi. Keringat mulai mengalir lagi…
“Sekarang pelajaran apa…?!” tanya saya memecah rasa grogi saya dengan suara serak dan hampir tidak terdengar. Tenggorokan saya terasa kering. Saya sudah tahu bahwa sekarang mereka pelajaran bahasa Inggris. Tapi kan saya perlu basa-basi.
“Bahasa Inggris…” jawab mereka serentak. Saya kaget. Saya tidak siap diserang oleh jawaban serentak semacam itu. Suara mereka menggema seperti menggedor jantung saya. Keringat dingin mulai mengalir di kening saya. Wah, gawat iki….! Saya tidak boleh kalah gertak sama mereka. 🥺
“Sampai mana pelajarannya…?!” tanya saya.
“Past Continuous Tense.” Jawab mereka serentak. Tapi kali ini tidak terlalu mengagetkan seperti tadi. Piece of cake, kata saya dalam hati. Kalau cuma ‘Tenses’ saja saya bisa menerangkan sambil tidur-tiduran, pikir saya mulai jumawa. Ganteng-ganteng begini pelajaran bahasa Inggris memang saya kuasai sejak SMA. Itu sebabnya saya bisa dengan mudah bolos meninggalkan kuliah di PGSLPYD dan tetap lulus gelombang pertama.
“Apa kalian sudah mengerti tentang Past Continuous Tense?” tanya saya untuk mengalihkan perasaan gemetar saya. Mereka menggeleng. Sudah kuduga….
“Baiklah saya jelaskan apa itu Past Continuous Tense.” Lalu saya menuju ke papan tulis dan mulai menuliskan rumus Past Continuous Tense. Subject + Was/Were + Verb. Ing + kata sambung When + Subject + V 2 atau While + Subject + Was/Were + Verb. Ing.
“Sudah tahu rumus ini..?” tanya saya. Tentu saja mereka tidak tahu. Ini pelajaran bahasa Inggris apa Matematika sih kok pakai rumus-rumus segala? Mungkin begitu pikir mereka. Sekedar informasi, pelajaran bahasa Inggris dulu itu tujuannya bukan agar siswa bisa berbahasa Inggris. Tujuannya adalah agar mereka bisa mengerjakan soal-soal bahasa Inggris. Makanya meski pun kita sudah diajar bahasa Inggris sejak SMP klas 1 sampai perguruan tinggi tapi kita tetap tidak bisa berbahasa Inggris. Kalau mengerjakan soal ulangan dan ujian bahasa Inggris mah kita jago. Jangankan siswa kita lha wong guru bahasa Inggris kita saja sangat jarang yang menguasai empat ketrampilan berbahasa Inggris, yaitu Listening, Speaking, Reading, and Writing. Eh, bukan hanya bahasa Inggris ding! Bahasa Indonesia pun begitu. Kalau cuma mengandalkan pelajaran di sekolah gak bakalan kita bisa menguasai ketrampilan berbahasa tersebut. Jadi jangan heran kalau kemampuan berkomunikasi lisan, membaca, apalagi menulis kita begitu rendah. 😔
Saya merasa puas bisa menuliskan rumus-rumus Past Continuous Tense ini dan membuat mereka bengong. Paling tidak saya sudah merasa menang satu set. Tapi saya masih merasa gemetar dan grogi. Soalnya mereka tampak bingung. Dan mereka semua melihat kepada saya dengan tatapan seolah saya telah melakukan kesalahan. Empat puluh pasang mata menatap pada saya seolah meminta penjelasan lebih lanjut. Empat puluh pasang mata….! 🙄
Lalu saya menuliskan beberapa contoh kalimat.
– I was sleeping when he arrived.
– They were playing football when I came.
– The students were busy studying while the teacher was entering the classroom.
Lalu saya menerangkan artinya dan situasinya dengan suara yang tersendat-sendat. Saya berusaha untuk menghindari tatapan mata mereka. Empat puluh pasang mata yang mengeroyok saya dengan semena-mena… 🥺
Saya berharap bahwa mereka bisa paham rumus-rumus itu setelah saya beri contoh dan penjelasan. Saya ingin mereka mengucapkan, “Oooo…begitu toh…! Baiklah, kami paham sekarang.” Lalu suasana akan mencair. Mereka akan tersenyum dan tertawa. Kami menjadi akrab. Saya tidak perlu grogi lagi. Lalu saya akan tertawa ngakak seperti kalau ngobrol dengan teman lama.
Tapi ternyata tidak. Mereka tetap tidak paham… Dan mereka tetap memberi saya tatapan menghakimi mereka tersebut. You don’t explain it quite well, Sir. We still don’t understand. Empat puluh pasang mata menatap saya dengan tajam. Mereka menuduh saya tidak mampu menjelaskan dengan baik. Keringat mulai membanjiri punggung saya. Mengapa mereka semua menatap saya? Apa salah saya?
(Kesalahan saya adalah datang ke sekolah ini ketika ada guru bahasa Inggris yang absen sehingga saya harus mengisi kelasnya yang kosong. Padahal semesta alam tahu bahwa saya sama sekali tidak punya pengalaman berdiri di depan kelas. Ya ini situasi yang disebut ‘ndilalah’ oleh orang Jawa. Kok ndilalah…). 🥴
Saya kemudian mencoba menjelaskannya lagi dan menerangkan apa itu ‘Subject’, apa itu ‘to be’ dalam bentuk ‘past’, apa itu ‘Verb Ing’ dan memberi contoh kalimat lagi. Kalau kali ini mereka masih belum mengerti saya bersumpah dalam hati akan lari keluar dari kelas dan tidak akan pernah kembali mengajar mereka lagi. Untungnya ada beberapa yang mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Tapi sebagian besar masih menatap saya dengan pandangan yang terasa sinis dan setengah meragukan kemampuan saya. Keringat semakin banyak membanjiri kepala dan punggung saya. It’s enough, kata saya dalam hati. Ternyata saya tidak mampu menghadapi empat puluh pasang mata yang menatap saya lekat-lekat. Saya seolah merasa dihakimi.
“Sudah…! Catat saja dulu. Nanti kita bahas lagi.” Kata saya pada mereka dan segera menghambur ke belakang kelas untuk menghindari tatapan mata mereka. Di belakang kelas saya menarik napas panjang dengan terengah-engah. Saya perlu mengatur napas agar bisa kembali menguasai diri. Tapi saya merasa lega karena sudah tidak menjadi pusat perhatian lagi. Empat puluh pasang mata sekarang menatap ke papan tulis. Silakan menghakimi papan tulis itu, kata saya dalam hati. Pandang saja sampai jebol kalau mau. Satu atau dua anak mencoba membalikkan tubuh melihat saya. Tapi saya balik menatap mata mereka dengan tajam. Dan mereka berbalik menghadap papan tulis lagi. Aman…! Di saat itulah tiba-tiba saya teringat pada dosen saya yang mengingatkan saya ketika saya mengetawai teman-teman waktu mereka praktek mengajar. “Lihat saja nanti kalau tiba giliranmu. Kamu juga akan mengalami hal yang sama”, katanya. Waktu itu saya tidak percaya bahwa saya akan grogi mengajar di depan kelas. Never, ever…ever…., kata saya waktu itu. Dan sekarang saya mengalaminya. Anjiiir….! Saya kualat sama teman-teman yang saya ketawai dulu. Tiba-tiba terlintas semua wajah teman-teman yang pucat pasi, penuh keringat, dan kehilangan kata-kata waktu itu. Saya yakin seandainya mereka melihat saya saat ini mereka pasti akan tertawa ngakak sebagaimana saya mengetawai mereka waktu itu. They would surely enjoy seeing me in this situation. 🥴
Saya mungkin hanya berada di Klas 2 D itu sekitar 30-an menit lebih. Tapi itu rasanya seperti berjam-jam. Saya perbanyak menulis contoh-contoh kalimat dan penjelasan dan setelah itu menghambur kembali ke belakang kelas agar mereka tidak menjadikan saya sebagai pusat perhatian lagi. Baju dan tubuh saya penuh keringat. Saya gemetar dan kehilangan kepercayaan diri di depan kelas. Berkali-kali saya melihat jam tangan saya yang seolah sengaja berhenti dan tidak mau berputar seperti biasanya. Saya sungguh berharap agar bel sekolah segera berbunyi. “Oh, please…, ring now.” Ketika bel berbunyi saya sungguh merasa gembira seolah lepas dari penderitaan. Dengan cepat saya mengucapkan “Good morning and see you next time, students.” lalu menghambur keluar dari kelas kembali ke ruang guru untuk menenangkan diri. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga penderitaan saya di kelas tersebut, kata saya dalam hati. Saya butuh sekitar sepuluh menit untuk menenangkan diri di ruang guru sampai saya merasa benar-benar telah bebas dan menjadi seorang Satria kembali. 😁
Sejak itu saya bertekad bahwa saya tidak akan pernah grogi lagi di depan kelas. Saya akan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, baik persiapan materi pelajaran maupun mental dalam mengajar di depan kelas. Saya akan membuat mereka menyukai pelajaran saya sebagaimana saya, pada akhirnya, sangat mencintai mengajar mereka.
Surabaya, 25 Oktober 2022
Satria Dharma