Pagi ini si Tengah berangkat ke sekolah utk ikut UNAS Matematika. Ia merasa mantap dan yakin bisa mengerjakan dengan baik UNAS Matematika ini. Ia telah mempersiapkan diri cukup baik dan hari-hari terakhir ia bahkan dibantu oleh Tante Lena sebagai guru privatnya utk mengerjakan latihan soal yg begitu banyak variasinya. Bagi Yufi, Matematika bukan pelajaran yg paling sulit. Ia merasa bisa mengerjakan berbagai macam soal. Ia hanya merasa lemah dalam hal ketelitian. Akibatnya ia justru sering salah dalam soal-soal yg sebenarnya mudah karena kurang teliti. Bagaimana pun, Matematika itu termasuk pelajaran yg cukup dikuasainya.
Pelajaran yg ia ‘takuti’ adalah IPA, khususnya Biologi. Terlalu banyak materi biologi yg harus dihafal. Rupanya gurunya telah terjebak menjadikan Biologi sebagai pelajaran hafalan sehingga membuat siswa yg sulit menghafal banyak seperti Yufi menjadi kesulitan. Tapi Yufi dengan gaya dan ritme belajarnya sendiri berupaya utk mengejar ketertinggalannya. Dua minggu yg lalu ia minta dibelikan buku Kumpulan atau Ringkasan Pelajaran Biologi yg kemudian dibawanya ke mana-mana dan dipelajarinya dengan intens. “Buku ini bagus.” katanya, “Semua materi ada di dalamnya.” Jadi sambil menyetel lagu-lagu dengan kencang ia asyik mempelajari buku tersebut di kamarnya. “Dengan begini aku bisa belajar dengan lebih baik,” katanya ketika saya bertanya kenapa belajar sambil mendengarkan musik yg berdentam-dentam itu.
Saya sedang tidak berada di rumah utk menemani Yufi dan sedang ‘roaming’ seperti biasa. Tapi pagi ini saya dapat laporan bahwa Yufi tidak berhasil mendapat bonus hadiah 1 juta dari sekolah. Sekolahnya menjanjikan bonus hadiah 1 juta rupiah pada siswa yg bisa mendapatkan nilai UN 10. Yufi rupanya berharap bisa mengerjakan dengan benar semua soal pada mata pelajaran Bahasa Inggris dan berharap bisa dapat bonus. Tapi ternyata ia membuat kesalahan pada satu nomor dan bonus itu pun melayang. Untuk pelajaran Bahasa Indonesia ia memang tidak berharap bisa betul semua dan ternyata berdasarkan perhitungan nilainya maksimal 92 utk bidang studi ini. Lumayanlah utk siswa yg sudah antipati pada soal bahasa Indonesia yg katanya bikin capek membaca soal teksnya.
Apakah ia akan mendulang sukses yg sama dalam bidang studi Matematika hari ini dan IPA esok harinya? Entahlah. Bagi saya nilai perolehan UNAS itu tidak penting tapi bagaimana ia berupaya untuk memperolehnya jauh lebih penting. Saya senang sekali melihat betapa gigihnya ia berupaya utk meraih target yg ingin dicapainya dan bagaimana ia menyusun strategi utk mencapainya. Jelas sekali bahwa Yufi tidak membutuhkan ‘external and illegal help’ utk mencapai kelulusan dalam UNAS-nya. Ia memiliki kepercayaan diri yg tinggi dan kompetensi yg memadai utk itu. Nyontek mungkin tak ada dalam kamusnya.
Sekolah si Tengah ini adalah sekolah Islam terpadu, ‘one of the best schools in Kaltim’, dan saya percaya sekali manajemen dan kaseknya tidak akan berlaku curang utk membantu siswanya utk mengerjakan soal-soal UN. Saya pernah jadi Ketua Komite Sekolahnya dan kami memang menekankan pentingnya anak dilatih kejujuran, khususnya di sekolah Islam tersebut.
Tapi saya belum yakin apakah sekolah ini tidak membantu siswa dengan cara lain, yaitu dengan menaikkan nilai Ujian Sekolahnya khususnya bagi siswa yg dianggap lemah dan mungkin jeblok nilai UNAS-nya.
Seperti diketahui hasil nilai UNAS yg dinilai adalah gabungan antara nilai UAS dan UNAS. UNAS yg dikerjakan anak saya ini bobotnya 60% sedangkan sekolah menyumbang sisa yg 40%-nya. Untuk membantu siswa yg kemungkinan jatuh nilainya di UNAS maka HAMPIR semua sekolah telah melakukan ‘penyesuaian-penyesuaian’ sebagaimana perlunya agar meski hasil UNAS siswa jeblok masih bisa terangkat oleh ‘sumbangan’ nilai sekolah yg bobotnya 40% itu.
Saya tidak tahu apakah praktik itu termasuk legal atau tidak tapi itu jelas merupakan kewenangan sekolah yg ‘direstui’ oleh sistem pendidikan kita.
Jadi sebenarnya di pendidikan kita ini hanya sibuk dengan pekerjaan mengutak-atik statistik agar bisa memuaskan hati kita secara nasional, propinsial, daerah, mau pun sekolah. Kita membuat konsep ideal secara statistik dan untuk mencapai kondisi ideal itu kita lakukan rekayasa statistik secara akademik (or seemingly academic) menyesuaikan dengan gambaran apa yg INGIN kita capai. Jelas sekali bahwa hasil UNAS ini BUKANLAH potret sesungguhnya dari kemampuan akademik siswa seperti yg (katanya) diharapkan utk dipetakan.
Jamaknya orang membuat peta dengan berupaya memotret dengan apa adanya dengan tingkat akurasi yg setinggi mungkin agar peta tersebut benar-benar dapat dijadikan petunjuk utk mencapai tujuan. Tapi peta atau pemetaan yg kita lakukan melalui UNAS ini sebenarnya bukan peta tapi lebih menyerupai desain konstruksi yg ingin kita capai. Jadi memang benar-benar menyesatkan jika kita pakai sebagai peta. Nilai UNAS yg disodorkan dalam bentuk statistik dengan penuh kebanggaan dengan pernyataan ”Keberhasilan UNAS secara nasional adalah 99 koma sekian persen” sebenarnya adalah rekayasa dan hasil kecurangan tingkat nasional
Apakah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kita tidak tahu hal ini? Saya sungguh meragukan kalau mereka tidak tahu. Kalau pura-pura tidak tahu atau sengaja tidak mau tahu sih mungkin lebih tepat. Orang Surabaya punya istilah yg pas untuk itu, yaitu ‘mokong dan ndablek’.
Surabaya, 25 April 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Bagi teman2 insan peduli pendidikan yg berpikir dan bahkan mengembangkan wacana seolah-olah Mahkamah Agung melarang Ujian Nasional silakan baca link ini:
http://www.unsd.org/2009/12/mahkamah-agung-ma-tak-larang-ujian.html?m=1
Terimakasih dan salam.
Khairil Anwar Notodiputro
Jika memang UN itu legal lantas kenapa sampai sekarang pemerintah masih diuber-uber oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal eksekusi putusan MA tersebut?
Kompas, Rabu, 2 Mei 2012
Pemerintah Tak Hadir
Panggilan Ketiga Terkait UN Diharapkan Datang
Jakarta, Kompas Pemerintah kembali tidak memenuhi panggilan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (1/5). Panggilan kedua ini
terkait eksekusi keputusan perihal ujian nasional yang telah
berkekuatan hukum tetap. Pemerintah dalam hal ini adalah Presiden,
Wakil Presiden, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Keterangan tertulis tidak bisa memenuhi panggilan datang, menurut
Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Suharto,
hanya dari Mendikbud. Keterangan ditujukan kepada kuasa hukum dan
pemohon eksekusi yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban UN (Tekun).
Adapun Presiden, Wakil Presiden, dan Ketua BSNP tidak memberikan
keterangan.
Pada surat tertulis kepada Pengadilan Jakarta Pusat, Mendikbud
meminta agar siding dijadwalkan susai ujian nasional (UN) tahun ini.
Kemdikbud juga sedang menyiapkan data serta jawaban tepat dan akurat
terkait peningkatan sarana prasarana, kualitas guru, dan system
informasi sebagai syarat pelaksanaan ujian nasional.
Kami menyayangkan pemerintah tidak hadir yang kedua kalinya. Jika
pada pemanggilan ketiga nanti pemerintah tetap tidak hadir, kami
minta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeksekusi paksa. Supaya
kebijakan ujian nasional dihentikan karena kondisi pendidikan yang
belum merata di semua sekolah dan daerah, kata Edy Halomoan Gurning,
kuasa hukum Tekun.
Amir Hamzah, Direktur Lembaga Advokasi Pendidikan Jakarta, yang juga
pemohon eksekusi, menyayangkan sikap membangkang pada putusan hukum
soal ujian nasional. Keteladanan justru harus dicontohkan pemimpin
negara, tetapi ini malah sebaliknya. Dunia pendidikan berkabung
karena tak ada lagi keteladanan, katanya.
Menurut Edy, pemanggilan sudah dilakukan dua kali oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pemanggilan kepada pemerintah itu untuk memberi
teguran atau peringatan supaya pemerintah melaksanakan keputusan
terkait ujian nasional yang berkekuatan hukum tetap.
Pemerintah lalai
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2007, yang diperkuat
putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2009, menilai pemeritnah telah
lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia
terhadap warga negaranya yang menjadi korban ujian nasional,
khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.
Pemerintah diperintahkan agar meningkatkan kualitas guru, kelengkapan
sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di
seluruh daerah di Indonesia. Hal itu diperlukan sebelum mengeluarkan
kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.
Pemerintah juga diminta meninjau kembali system pendidikan nasional.
Pemerintah diharapkan memenuhi panggilan ketiga. (ELN)