
Dua anak saya ikut UNAS tahun ini. Si Sulung ikut UNAS SMA minggu lalu dan setelahnya langsung kabur ke Bandung utk cari sekolah (katanya). Mungkin tekanan UNAS ini membuatnya harus melepaskan diri dengan segera refreshing ke Bandung bersama teman-temannya.
Sejak Senin kemarin si Tengah akan ikut UNAS SMP. Tentu saja ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Emaknya bahkan sudah kondisi gelar perang dan siap tempur jauh-jauh bulan sebelumnya. Justru si Emak yg paling heboh. Dan ia tak henti-hentinya merongrong anak-anaknya utk mempersiapkan diri utk UNAS tersebut dengan cara yg membuat stress semua orang. Saya kadang heran melihat seorang ibu bisa lebih stress ketimbang anaknya yg ikut ujian. Anak sulung saya bahkan protes keras ditekan terus menerus dengan mengatakan bahwa ia bukan anak kecil lagi dan sudah tahu apa yg harus diperbuatnya. ‘Mama cukup berdoa sajalah,’ katanya. “Aku yg ujian kok Mama yg stress…!” tambahnya.
Saya melihat itu semua dengan perasaan nano-nano, ya geli, ya sedih, ya kasihan, ya senang. Saya senang juga melihat anak sulung saya ‘terpaksa’ belajar utk UNAS karena selama ini ia nampaknya memang tidak tertarik samasekali dengan pelajaran sekolahnya. Saya seolah melihat diri saya pada dirinya. Saya dulu juga menganggap pelajaran sekolah itu sebagai ‘a compulsory bullshit’ karena ‘completely meaningless and boring’. Sejak SMP saya sudah berani kabur dari kelas dan di SMA semakin PD. Jadi saya bisa mengerti jika si Sulung merasa tidak ada gunanya rajin bersekolah. Tapi tentu saja saya tidak menolerirnya. Namanya juga orang tua. 😀
Si Tengah yg SMP ini lumayan membanggakan hati ortunya di bidang akademik. Ia juga lebih perhatian pada pelajarannya dan tahu apa yg harus dilakukannya utk persiapan UNAS-nya. Ia bahkan masuk kategori kelompok ‘ekspres’ di kelasnya meski ia tidak suka karena kelompok ‘ekonomi gaya baru’ lebih sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Pada ujian Pra-Unas kapan hari bahkan nilai bhs Inggrisnya tertinggi di kelompoknya. Sebuah kejutan menyenangkan darinya tentunya.
Saya pribadi tidak pernah kuatir soal akademik pada si Tengah. Ia pembelajar independen dan tahu kapan harus ‘jogging’, kapan ‘jalan santai’, dan kapan ‘speed-up’. Saya justru kuatir pada banyak teman sekolahnya.
Sekolah anak saya adalah sekolah swasta dengan kualitas ‘A’ dan termasuk ‘one of the best school’ di Kaltim. Yg masuk ke sekolah ini juga sudah melalui seleksi dan guru-gurunya rata-rata sarjana dari berbagai perti terkemuka dengan pelatihan yg memadai. Satu kelas hanya diisi dengan 20 siswa dengan snack dan makan siang di sekolah. Tapi ternyata pada ujian Pra-Unas yg diadakan oleh Disdik Kota Balikpapan banyak siswa yg dianggap ‘TL’ alias ‘Tidak Lulus’…!
Ini tentu mengagetkan saya (meski sudah tahu juga sebenarnya). Jika siswa yg bersekolah di sekolah terbaik, dengan fasilitas lengkap, guru kualifait, ortu dari kalangan menengah berpendidikan dan ternyata banyak yg tidak lulus dalam ujian, lantas bagaimana dengan anak-anak yg tidak beruntung? Saya yakin bahwa sekolah-sekolah lain yg siswanya bermasalah, miskin fasilitas, guru asal-asalan, tentu akan lebih sulit untuk lulus UNAS (dengan jujur).
Saya langsung teringat kembali percakapan dengan Dhitta Puti Sarasvati yg begitu menggebu-gebu menggugat UNAS yg tidak adil bagi siswa yg tidak beruntung yg terserak mulai dari Sabang sampai Merauke. Menurutnya UNAS ini adalah kebijakan pendidikan yg samasekali tidak mempertimbangkan keadilan bagi siswa. Ibaratnya siswa dipaksa utk berlomba utk mencapai garis akhir yg sama tapi garis awalnya berbeda-beda. Ada yg tinggal selangkah tapi ada yg datang dari tempat yg sangat jauh garis awalnya. Bagaimana mungkin siswa di Papua yg bacanya saja masih ‘gratul-gratul’ diwajibkan utk lulus ujian sama dg siswa yg ‘fully equipped’ seperti siswa di sekolah anak saya? Mewajibkan mereka utk bisa lulus dengan standar yg sama adalah bentuk ketidakadilan dan juga kesewenang-wenangan. Ketidaklulusan membawa dampak dan implikasi yg terlalu besar bagi siswa, guru, sekolah, dan daerah. Itulah sebabnya terjadi kecurangan UNAS di mana-mana karena mereka merasa UNAS terlalu besar resikonya (very high stakes testing). UNAS tidak lagi menjadi alat evaluasi tapi sudah menjadi pisau guillotine yg mengancam leher banyak pihak karena menjadi penentu kelulusan.
Selain sesat UNAS ini sebenarnya melanggar hukum alias illegal. Kalau ada istilah illegal logging maka ujian ini adalah ILLEGAL TESTING. Mengapa…?! Karena masyarakat pernah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung untuk meminta Pemerintah menghentikan UN yang tidak adil dan sewenang-wenang ini lewat gugatan Kristiono. Gugatan yang dilayangkan pada tahun 2009 tersebut meminta pemerintah meninjau ulang sistem ujian nasional dan gugatan ini dimenangkan oleh masyarakat. Mahkamah Agung MELARANG Ujian Nasional yang digelar Departemen Pendidikan Nasional. Alasannya, para tergugat, yakni presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru. Karena tidak terima dengan kekalahan tersebut pemerintah kemudian mengajukan kasasi. Kasasi yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kemdiknas tersebut ternyata ditolak oleh MA, yang artinya Kemdiknas harus tetap menghentikan Ujian Nasional tersebut. Anehnya, pemerintah masih saja ngotot menyelenggarakan UNAS sampai hari ini.
Jadi pemerintah yg semestinya menegakkan hukum justru yg melakukan pelanggaran hukum dengan tetap melaksanakan UN. Dan ini sungguh menyedihkan. Pemerintah harus terus digugat dan diingatkan utk mematuhi hukum.
Kami memang sudah sepakat utk terus menggugat pemerintah utk menghentikan UNAS yg sesat logika ini. CBE bahkan mengumpulkan beberapa pakar dan pegiat pendidikan utk menulis buku bersama dengan judul “Buku Hitam UN” yg isinya menggugat habis Ujian Nasional yg melanggar hukum ini. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Resist dan siap beredar di toko buku-toko buku.
Kemarin buku ini saya serahkan langsung ke tangan Mendiknas di acara Diskusi Praksis Pendidikan di Santika Premiere, Jakarta, dengan harapan akan dibaca oleh beliau. Setelah melihat judulnya beliau langsung berkomentar, “Wah…! Berarti harus ada ‘Buku Putih UN’ nih!”. Tentu saja ini sekedar bergurau tapi saya sangat berharap bahwa Mendiknas mau menanggapi buku itu dengan argumen akademik yg sama dan tidak sekedar berceletuk.
Melalui posting ini saya hendak mengajak masyarakat utk menolak UNAS pada tahun depan dan meminta Kemdikbud utk patuh pada hukum. Jika Kemdikbud masih saja tidak patuh pada hukum dan tetap saja melakukan Illegal Testing maka mungkin kita perlu meningkatkan perlawanan kita agar mereka mau patuh pada hukum.
Bandara Cengkareng, 24 April 2012
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com