Saya sebetulnya mau nyontek tulisan Afi yang ngetop itu tapi ternyata tidak bisa. Itu sebuah tulisan serius yang butuh perenungan. Jadi saya nyontek judulnya saja, yaitu Warisan. Saya mau bicara tentang sebuah warisan dalam bentuk lain dari almarhum Ibu saya yaitu sifat dermawan yang diwariskannya pada semua anak-anaknya.
Almarhum ibu kami sangat dermawan, baik ketika ia dalam keadaan susah apalagi dalam keadaan longgar. Tangannya tak pernah menggenggam tapi selalu terbuka bagi siapa saja. Repotnya beliau juga sangat mudah tersentuh hatinya sehingga seringkali dimanfaatkan oleh orang lain. Dan itu kadang-kadang membuat kami anak-anaknya menjadi gemas. Kok mau-maunya Ibu kami ini dikerjain sama orang-orang yang memanfaatkannya.
Ketika hidup kami susah pun ibu kami adalah sosok yang dermawan. Kesenangannya berbagi seolah tak kenal suasana dan situasi. Salah satu yang diajarkannya pada saya adalah agar selalu berupaya untuk menyumbang ke celengan masjid setiap Jum’at.
Entah sepuluh rupiah atau lima rupiah (itu nominal pada jaman saya masih kecil) Ibu saya akan menitipkan uang pada saya untuk dimasukkan ke celengan masjid setiap kali saya berangkat untuk salat Jum’at di masjid kampung. Kadang-kadang saya jengkel juga dengan sikap dermawan ibu saya pada Tuhan. Lha saya sebagai anaknya boleh dikata tidak pernah diberi uang saku atau uang makan di sekolah.
Bahkan seringkali tidak ada uang transport untuk bayar bemo yang mengantarkan saya ke sekolah sehingga saya seringkali jalan kali pp sejauh 16 km. Maklumlah perekonomian keluarga kami waktu itu benar-benar sulit. Kadang saya tidak bisa bayar uang sekolah berbulan-bulan. Tapi anehnya untuk masjid selalu ada uang untuk dimasukkan ke celengan…!
Bukannya Tuhan itu Maha Kaya dan yang menyumbang itu mestinya yang juga kaya…?! Begitu pikir saya waktu itu. Entah bagaimana caranya Ibu saya mengupayakannya tapi setiap Jum’at beliau akan menitipkan uang sekadarnya pada saya untuk dimasukkan di celengan masjid. Kebiasaan rutin itu membuat saya agak terkenal di antara anak-anak kampung sebagai satu-satunya anak yang selalu memasukkan uang ke celengan masjid setiap Jum’at. Rasanya tak ada anak kampung Darmorejo yang memasukkan uang ke celengan masjid pada saat salat Jum’at. Mau salah Jum’atan aja sudah untung mereka itu.
Jadi kalau ada anak yang salat Jum’at rutin dan sekaligus memasukkan uang ke celengan masjid maka tentulah anak itu anake wong sugih. Mereka akan bergerombol dan melihat saya dengan iri ketika memasukkan uang titipan dari Ibu saya tersebut ke dalam celengan masjid yang beredar di depan saya. Saya tahu bahwa mereka akan membicarakan betapa kaya dan dermawannya saya, satu-satunya anak yang memasukkan uang ke dalam celengan masjid. Tak ada anak kampung yang melakukan hal tersebut. Itu akan membuat saya menjadi semacam pahlawan atau tokoh di antara rakyat jelata. They surely wished they could do the same as I did.
Tapi itu kalau setan tidak menggoda saya.
Meski pun saya masih anak-anak tapi rupanya setan tidak peduli. Ia juga sering menggoda iman saya untuk tidak memasukkan uang titipan tersebut ke celengan masjid. Saya digoda dengan berbagai gambaran tentang apa saja yang bisa saya beli dengan uang tersebut. Alangkah enaknya jika saya bisa beli jajan sesekali sebagaimana anak-anak lain. Di kepala saya sudah ada daftar kue-kue yang menggiurkan yang bisa saya beli dengan uang tersebut. Ibu saya tentu tidak akan tahu dan anak-anak kampung mungkin justru akan terhibur hatinya jika saya tidak memasukkan uang ke celengan Jum’at itu. Saya tidak jadi pahlawan pada hari itu dan kami semuanya jadi anak bajingan seperti laiknya anak-anak kampung.
Jadi sesekali saya mengikuti kemauan setan dan uang celengan itu tidak saya masukkanke kotak masjid. Ketika kotak masjid sampai di depan saya langsung saya edarkan ke samping saya dengan cepat karena merasa sedikit bersalah. Malaikat tentu mendelik pada saya saat itu dan tidak menduga bahwa saya akan mengkhianati Ibu saya. Mungkin mereka akan membanting buku catatan kebaikan tentang seorang anak miskin yang biasanya rutin menyumbang ke masjid tapi hari itu ternyata berkhianat. Anak-anak kampung akan menahan napas dan terbelalak melihat saya tidak memasukkan uang celengan hari itu.
Tapi mungkin mereka juga terhibur karena ternyata saya sama nistanya dengan mereka pada hari itu. Setelah salat Jum’at saya akan mencari penjual makanan yang telah menjadi incaran saya dan saya membelanjakan uang celengan masjid tersebut sambil menekan rasa bersalah. Saya yakin Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang sangat mengerti akan kondisi saya tersebut dan yakin bahwa perbuatan saya tersebut tidak akan dicatat sebagai sebuah kejahatan.
Pertama karena uang itu adalah uang Ibu saya. Kedua saya merasa lebih berhak untuk mendapatkan uang tersebut ketimbang masjid yang tidak punya hubungan darah dengan Ibu saya. Ketiga karena saya tahu bahwa masjid tidak akan kehilangan uang sejumlah tersebut. Apalah artinya uang sepuluh rupiah. Toh masjid masih mendapatkan uang celengan dari jamaah lain yang dermawan pada hari-hari lain. Saya berjanji pada Tuhan bahwa Jum’at depan adalah giliran Tuhan mendapat uang celengan.
Jika pada saat kesusahan pun Ibu saya begitu dermawan maka ketika beliau sedang longgar jelas beliau lebih dermawan. Belakangan kehidupan kami menjadi semakin membaik dan di usia tuanya Ibu kami punya banyak uang dari yayasan pendidikannya.
Tuhan membalas semua pemberian Ibu kami dengan balasan yang berlipat-lipat di dunia. Dan itu membuat beliau semakin royal memberi kepada siapa pun yang dianggapnya membutuhkan. Beliau akan mengingat jasa orang-orang yang pernah membantu beliau di masa kesulitan dan akan berupaya untuk membalasnya dengan sebaik-baiknya. Beliau akan mendatangi rumah teman-temannya yang dulunya pernah menolongnya ketika dalam kesulitan dan akan membalas kebaikan mereka tersebut.
Kami anak-anaknya tentu senang bisa melihat Ibu kami berupaya membalas jasa-jasa temannya ketika dalam kesulitan dulu. Itu juga membuat kami belajar berterima kasih pada orang-orang yang pernah menolong keluarga kami dan belajar berendah hati pada siapa pun.
Tapi kadang kedermawanan Ibu kami bisa menjengkelkan juga.
Karena dermawannya maka Ibu kami hampir tidak pernah mau mengecewakan siapa pun orang yang meminta bantuan padanya, meski pun permintaan tersebut terindikasi penipuan. Seperti diketahui ada jaringan penipuan berkedok yayasan pembangunan masjid dengan menggunakan alamat kotak pos.
Begitu Ibu kami membantu satu atau dua yayasan gadungan tersebut maka semakin banyak proposal permintaan bantuan berdatangan yang sebagian besar alamat masjid atau pesantrennya di Madura. Amplop proposalnya bisa sampai belasan dan seragam meski menggunakan alamat masjid yang berbeda.
Kami sudah berkali-kali mengingatkan bahwa proposal itu bohong semua karena sudah pernah diselidiki. Kami juga sudah pernah berusaha menelpon alamat yang ditulis dan memang itu palsu. Tapi Ibu kami tetap saja mengirimi mereka melalui weselpos walau pun sekedarnya. Beliau tidak mau mengecewakan orang yang telah berupaya menipunya. Kata beliau kasihan orang yang menipu kalau semua orang sudah tahu bahwa ia menipu dan tidak ada yang kena. Menjengkelkan kan…?!
Selain itu Ibu kami juga menjadi sasaran empuk para sales. Kalau biasanya kita berupaya untuk menghindari para sales yang berdatangan ke rumah, sebaliknya ibu kami seolah mengundang mereka untuk datang dan memperlakukan mereka seperti tamu yang perlu dilayani dengan sebaik-sebaiknya. Ibu kami akan mempersilakan mereka berpromosi dan mendemonstrasikan jualan mereka sepuasnya, menyediakan mereka minum dan kue-kue, dan setelah itu Ibu kami akan membeli produk mereka yang sebagian besar tidak akan pernah digunakannya. Barang-barang para sales itu menumpuk di rumah ibu kami.
Kalau ada anak-anaknya yang kebetulan ada di rumah Ibu kami dan melihat para sales tersebut biasanya mereka akan mengingatkan ibu kami untuk tidak memberi hati pada mereka. Mereka akan membisikkan pada Ibu kami bahwa promosi tersebut bohong belaka dan semuanya sudah diatur. Kalau disuruh telpon dan diberi tahu bahwa dapat hadiah utama ini dan itu sebenarnya itu adalah trik pemasaran belaka.
Jadi tidak perlu mereka diberi hati. Tapi Ibu kami justru akan membela mereka dan meminta kami untuk tidak perlu turut campur. Toh beliau akan menggunakan uangnya sendiri dan tidak minta uang kami, demikian pembelaannya. Kalau sudah begitu kami cuma bisa gemas melihat Ibu kami dikadalin oleh para sales dan Ibu kami justru menikmatinya. Suatu kali Ibu kami menjelaskan mengapa ia tidak tega membiarkan mereka pergi tanpa memberi mereka apa pun.
Katanya beliau selalu membayangkan para sales tersebut adalah anak-anak atau cucunya sendiri kelak. Alangkah sedihnya beliau membayangkan jika anak-anaknya atau cucunya jadi sales dan tak seorang pun yang mau membeli dagangannya. Itu tentu akan menghancurkan harapan mereka.
Beliau tidak ingin itu terjadi dan jika beliau membeli dagangan para sales itu adalah dengan niatan bersedekah demi kasih dan sayangnya pada anak-anaknya dan juga sebagai doa agar anak-anak dan cucunya kelak bisa sukses. Dan kami semua terdiam tidak mampu berkata-kata.
Sungguh luar biasa kasih sayang Ibu kami ini pada kami dan cucu-cucunya sehingga dalam menghadapi para sales pun yang terbayang adalah kami dan para cucunya. Kami menggunakan perspektif yang berbeda sehingga penilaian kami juga berbeda dengan Ibu kami.
Dan ketika Ibu kami berpulang ke rahmatullah maka sifat welas dan dermawannya itulah yang diwariskannya pada kami. Sifat welas dan dermawan itu seolah merupakan warisan dari Ibu kami yang harus kami jaga dan teruskan agar kasih sayang dan kedermawanan Ibu kami itu tetap hidup dalam keseharian kami.
Surabaya, 10 Juni 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com/