Pada episode ini saya hanya akan mengambil beberapa hari tertentu dari apa yang saya tulis dalam Buku Harian saya. Saya akan lompat-lompat agar tidak terasa membosankan.
Enjoy…! 🙏😊
PROLOG:
Bontang, di mana saya tinggal saat itu, adalah sebuah kota kecil di Kalimantan Timur yang hidup karena adanya dua perusahaan besar, yaitu PT Badak NGL Co yang memproduksi gas cair untuk diekspor ke LN, dan PT Pupuk Kaltim yang memproduksi pupuk dan berbagai jenis turunannya. Dua perusahaan besar ini memiliki komplek dan perkantoran masing-masing dan warga yang non-karyawan dua perusahaan itu tinggal di luar kompleks. Ketika kota ini semakin berkembang akhirnya dijadikan Kota Administratif dengan Walikota (Administratif) sebagai kepala daerahnya. Tentu saja sebagai kota Bontang memiliki segala fasilitas yang dibutuhkan seperti kantor pemerintahan, kantor polisi, perbankan, kompleks pertokoan, pasar, pelabuhan, dan bahkan ada kompleks militer khusus obvit yang memiliki persenjataan peluru kendali (rudal) untuk menjaga dua perusahaan besar vital tersebut.
Kompleks PT Badak sendiri adalah semacam kota mandiri yang terletak persis di teluk yang menjorok dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Kompleks ini memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan oleh perusahaan, karyawan, dan keluarganya. Kantornya terbagi dalam beberapa departemen yang terpisah dan kantor pusatnya terletak di tengah kompleks dengan gedung bertingkat yang megah. Kami menyebutnya Gedung Putih. Kantornya sangat keren.
Di sinilah General Manager dan beberapa departemen yang bersifat administratif dan keuangan berada. Kantor departemen lain seperti Maintenance, Logistik, Operation, Services, dll punya kantor masing-masing yang tersebar di dalam kompleks.
Tidak semua orang bisa masuk ke kompleks PT Badak dan hanya orang yang punya badge dan ijin yang bisa masuk gerbang yang dijaga oleh satpam khusus yang galak. Bahkan di dalam pabrik tidak semua karyawan bisa masuk ke kompleks tertentu. Karyawan dengan warna badge kuning (artinya lebih bersifat support bagi pengelolaan pabrik) tidak bisa masuk ke kompleks pabrik (Train) yang hanya bisa dimasuki oleh karyawan berbadge merah. Yang lebih terlarang adalah masuk ke kapal tanker yang dipakai untuk mengirim gas cair ke negara pemesan. Bahkan superintendent dan manager tertentu juga tidak punya ijin untuk masuk kapal tanker yang semua kapten dan awaknya adalah orang asing. Tapi saya pernah masuk ke kapal tanker tersebut karena sekolah kami diundang oleh kaptennya untuk naik ke kapal dan melihat-lihat kapal tankernya. Saya yakin sangat sedikit karyawan PT Badak yang pernah naik ke kapal tanker tersebut.
Perumahan karyawan di bagi dalam dua tipe, di dalam dan di luar kompleks. Di dalam kompleks semua perumahan adalah milik perusahaan tetapi yang di HOP (luar kompleks) adalah milik karyawan. Jadi karyawan tetap boleh memilih tinggal di dalam kompleks perumahan karyawan dengan segala kemewahannya atau tinggal di luar tapi nantinya rumah tersebut boleh dimilikinya setelah pensiun. Tentu saja fasilitasnya berbeda.
Di dalam kompleks rumahnya besar-besar, mewah, dan segalanya gratis. Listrik, air, telpon, gas, perawatan rumah, semuanya gratis. Semua prabot rumah tangga meja, kursi, ranjang, kasur, lemari, dan peralatan dapur, termasuk kulkas, kompor, oven, piring, sendok, semuanya disediakan oleh perusahaan. Benar-benar kita tinggal bawa koper pakaian pribadi saja masuk kesana. Bahkan kami secara rutin mendapat jatah bola lampu cadangan, tisu toilet, dan segala kebutuhan. Saya sampai bingung mau diapakan jatah bola lampu dan tisu toilet yang menumpuk di gudang. Ada beberapa jenis perumahannya, yaitu PC III, IV, V, VI. Semakin kecil angkanya semakin tinggi jabatannya.
Jadi PC VI adalah untuk karyawan non-staf dan PC III adalah untuk manajer dan superintendent. General Manager rumahnya paling besar dan mewah, Tidak ada PC I dan PC II. Entah mengapa. Untuk yang masih bujang atau tamu ada perumahan lain, yaitu Barrack (pertama masuk saya tinggal di SSB (Senior Staf Barrack), lalu ketika sudah menikah pindah ke rumah tipe Asian Jet (AJ). Tipe AJ sendiri ada dua, yaitu Single dan Double.
Kalau tinggal di HOP yang merupakan perumahan yang nantinya akan jadi milik karyawan tentu saja banyak fasilitas yang harus disediakan oleh karyawan sendiri, kecuali air, listrik, dan telpon yang masih gratis. Setahu saya tidak ada karyawan yang statusnya Superintendent ke atas yang mengambil fasilitas HOP ini. Sebagian besar yang mengambil adalah karyawan dengan status non-staf. Karyawan staf adalah yang sarjana sedangkan yang non-staf adalah yang non-sarjana.
Bagaimana fasilitas kompleks itu sendiri?
Sangat mewah…!
Kompleks ini punya semua fasilitas olahraga yang bisa kita bayangkan. Kami punya tiga kolam renang di mana dua di antaranya adalah olympic size. Mengapa kok sampai harus punya tiga kolam renang? Ternyata untuk membedakan antara yang staf dan non-staf. Sungguh menjengkelkan memang. Fasilitas antara yang staf dan non-staf memang dibedakan dan kadang memang menjengkelkan karena njomplang. Ada lapangan golf yang standar internasional (meski hanya 9 holes kalau tidak salah). Ada arena bowling yang hanya ada di sangat sedikit kota besar di Indonesia. Itu sebabnya karyawan perusahaan ini bisa jadi atlit nasional untuk cabang ini karena ya memang ada sarananya untuk berlatih. Lapangan tenis, bola volley, dan bola basket? Hampir ada di setiap sudut perumahan. Bahkan kami punya fasilitas lapangan Squash yang dulunya cuma saya lihat di film atau TV olahraga. Yang pingin membesarkan otot dan membuang lemaknya juga disedikan fasilitas Fitness Center lengkap dengan pelatihnya.
Tapi yang paling eksklusif sebenarnya adalah fasilitas olahraga memancing dan diving. Perusahaan menyediakan banyak kapal boat beserta sopirnya bagi karyawan yang ingin memancing ikan di laut lepas atau ingin berlatih menyelam. Karyawan tinggal booking dan semuanya akan disediakan dan tidak perlu ngisi bensin atau beri honor bagi pengemudi boatnya. Satu lagi fasilitas kapal yang khusus digunakan untuk pesta di tengah laut di mana kita bisa pesta makan-makan sambil berenang di laut. Biasanya memang hanya karyawan asing yang menggunakan fasilitas ini. Saya bisa ikut menikmatinya karena adalah bagian dari mereka. Bahkan saya yang bertugas untuk membuat requestnya ke departemen yang mengurusinya (Services).
Dan semua fasilitas tersebut adalah free alias gratis dan bahkan disediakan juga pelatih jika menginginkan. Saya rasa sangat sedikit perusahaan yang memiliki fasilitas sehebat ini.
Tahu apa olahraga yang saya pilih dari semua itu?
Jogging dan catur…! Sungguh ‘ngglethek’ kan. 😀
Tak pernah sekali pun saya menggunakan fasilitas golf, bowling, squash, fitness center, diving, bola basket, volley, badminton, dan memancing ke laut selama enam tahun saya jadi karyawan di sana. Entah mengapa saya tidak pernah tertarik sedikit pun untuk mencoba.
Satu lagi fasilitas yang mungkin tidak akan bisa dimiliki oleh perusahaan sekaya apa pun adalah airport atau bandar udara. PT Badak punya bandara sendiri di mana semua orang yang ingin menggunakan fasilitas udara mesti pakai bandaranya PT Badak. Bahkan PT Pupuk Kaltim yang punya pesawat sendiri juga numpang di bandaranya PT Badak. PT Badak punya pesawat sendiri (sewa) yang berjenis Dash 7 yang terbang dua kali sehari ke Balikpapan. Saya sangat sering menggunakan fasilitas ini berkat perkawanan saya yang erat dengan Pak Harry Sulistyadi yang waktu itu menjabat sebagai Superintendent yang membawahi bandara. Kami berkawan erat soalnya kami naik haji barengan dengan status bujangan. Saya memang masih bujangan waktu itu sedangkan Pak Harry lebih sering jadi bujangan karena istri beliau tinggal di Surabaya bersama anak-anaknya. Kebetulan juga anak Pak Harry yang pertama, Herlina, adalah mantan siswa saya waktu saya mengajar di SMPN 2 sebelumnya. Ini membuat kami sangat akrab seperti kakak dan adik saja. Pokoknya saya sangat berutang budi sama beliau ini yang sekarang juga tinggal di Surabaya. 🙏
Okey, let’s go to my story…
3 Januari 1991, Kamis
Bekerja di PT Badak ini sebetulnya enak melulu. Bagaimana tidak? Semua fasilitas, baik yang perlu mau pun yang tidak rasanya diguyurkan begitu saja. Di sini tidak ada pekerjaan yang sulit atau pun berat. Semua pekerjaan bertaraf ‘begitu-begitu saja’. Terus terang karyawan PT Badak efisiensinya sangat rendah tapi gajinya sangat tinggi. Kalau kita suka pekerjaan yang santai, kehidupan yang datar, fasilitas melimpah tanpa perlu diupayakan maka di PT Badaklah tempatnya. Lebih dari itu duit gaji rasanya nggak habis-habis karena banyaknya. Lagipula kita jarang belanja karena segalanya sudah disediakan oleh perusahaan. Perusahaan mana yang air, listrik, telpon, dan gas gratis? 🤔
28 Januari 1991, Senin
Setelah hampir sepuluh bulan berada di Bontang saya belum juga merasa betah tinggal di sini. Justru saya semakin hari semakin tertekan. Saya gelisah dan feeling uneasy tanpa alasan yang jelas. Padahal Bontang ‘not bad at all’.. Kalau kehidupan yang monoton saya rasa bukanlah hal yang luar biasa. Selama 5 tahun bekerja di ASG saya tidak bisa mengatakan hidup saya sangat bervariasi juga. Tapi entahlah. Rasanya Bontang is ‘a dead town’ dan tidak punya prospek. Kehidupan kita 5 atau 10 tahun lagi sudah bisa ditebak. Bekerja di sini seperti orang pensiun. Tak ada gejolak, Tak ada surprise. Just nothing. Kita memang tidak perlu risau akan hidup karena PT Badak will supply all of your needs, except variety and changes. Tapi itulah…! Punya banyak duit kalau tidak bisa dinikmati kan sama saja.
Saya kangen banget dengan keluarga di Surabaya. Aneh…! Nggak biasanya saya begitu melankolis. 😞
(Lompat agak jauh… )
23 Mei 1991 Kamis
Tiga hari setelah kepulangan saya dari School Trip Jogja dan sekaligus mampir ke Surabaya tiba-tiba saya merasa hampa. School Trip ini sebenrnya sangat saya tunggu-tunggu dan saya anggap sebagai suatu pelepasan dari suatu kejenuhan dan kebosanan sebelumnya. Tapi setelah berlalu seperti sekarang ini tiba-tiba semuanya jadi tidak berarti. Tiada pesta yang tak berakhir dan kita harus kembali pada tugas semula. Dan what do I do…?! Saya kembali pada kehidupan yang tidak berarti dan melelahkan ini. Dalam keadaan seperti ini saya biasanya lalu mempertanyakan kembali what life is dan semangat hidup saya merosot pada tingkatan terendah.
7 Juni 1991 Jum’at
End of school year again. Sekolah libur lagi selama tiga Bulan. Ada sedikit kelegaan dan perasaan bebas seperti biasanya. Tapi jika saya melihat jauh ke depan saya jadi kehilangan semangat dan gairah. Rutinisme dan kehidupan yang monoton menghadang saya di depan. Untung saja Surya dan anak-anaknya akan segera pindah kemari. Setahun lebih disini saya masih merasa mengambang. Kehilangan pijakan di Surabaya dan belum menemukan pijakan di Bontang. Jiwa saya mengembara sampai lelah dan tak tahu harus kembali ke mana. 😞
24 Juni 1991 Senin
Dua minggu sudah liburan berlalu dan saya belum juga melakukan apa-apa. Rasanya benak saya ‘blank’ tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Apakah saya memang termasuk orang yang baru bisa bekerja dalam keadaan kepepet dan tidak bisa membuat perencanaan yang baik? I wonder…! Tahun ajaran baru ini murid saya jelas lebih banyak dan sebagian besar anak-anak usia TK dan SD. Ada beberapa anak yang mungkin tidak bisa berbahasa Inggris dan anak-anak yang baru jelas asing sama sekali dengan bahasa Indonesia. Mestinya ini harus segera saya antisipasi tapi rasanya saya kok jadi bingung dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Mungkin ini disebabkan karena saya belum larut betul dengan tugas saya disini sehingga masih sering bingung. Oh God, give me a way out.
26 Juni 1991 Rabu
I woke up in the morning and ask myself why am I here, what am I doing here, and got no answer. There should be reason in sending me here. I know that and it’s my duty to find it out. But, God, up till now I still have no idea about it.
(Mari kita lompat setahun ke depan…)
11 Mei 1992, Senin
Beberapa hari lagi saya akan berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. And I feel too excited sehingga rasanya Saya tidak tahu lagi dimana saya berpijak saya bukan hanya merasa excited tapi juga worried dan tegang. Beberapa waktu yang lalu saya merasa really prepared and ready to go. Tapi hari-hari ini saya justru merasa tidak siap. Ada saja rasanya yang kurang. But I know it’s something beyond my mind yang membuat saya merasa mixed up. Segalanya terasa begitu susul-menyusul dengan cepat seolah tidak memberi saya waktu untuk berpikir dan mempersiapkan diri. Izin cuti sudah saya buat dan travel request untuk tour ke Sumatera baru saja saya buat. Padahal baru saja saya melakukan school trip selama 10 hari ke Surabaya dan Jakarta. Dan kini Ibadah Haji lagi.
Keputusan saya untuk hengkang dari sini tahun depan juga sudah semakin membuat saya penuh, terlalu penuh sehingga saya tidak bisa berkonsentrasi pada ibadah haji ini. Saya lantas jadi canggung dengan situasi ini sementara orang lain menghadapinya dengan khidmat. Saya melihatnya dan memperlakukannya seperti salah satu dari sekian perjalanan yang saya lakukan. Just busnes, nothing personal. Pikiran saya sudah jauh melayang ke rencana terakhir hengkang dari Bontang dan memulai hidup yang bebas lagi. Dalam keadaan begini saya jadi tidak tahu bagaimana memasang target untuk ibadah haji ini, maksimalkah minimalkah atau just average…?! semula sebelum kepergian saya ke Surabaya dan Jakarta saya berani mematok target maksimal untuk Haji ini karena I really felt well prepared for that. tapi setelah kepulangan saya dari luar ‘camp’ ini saya merasa polluted dan tidak mampu membersihkannya.
Paling gampang memang memasang target minimal tapi rasanya kok kurang sreg. I know that I can do better than that. Masalahnya hanyalah persiapan batin dan mental saja. Jika saya mampu mengembalikan suasana batin saya seperti sebelum kembali dari trip maka saya akan benar-benar siap seperti orang yang akan berangkat jihad fisabilillah. And that’s the problem. Waktu saya tinggal beberapa hari dan suasana hati saya masih kacau balau.
Mestinya hati, jiwa dan pikiran saya tercurah pada kondisi ‘kini’ dimana saya mempersiapkan seluruh jiwa dan raga saya untuk ibadah ini. Tapi pikiran tentang ‘masa lalu’ dan ‘akan datang’ mengacau konsentrasi saya seolah akan menghancurkan apa yang akan saya peroleh dari perjalanan batin ini. Ya! This is much more spiritual travel to me than physical.
Meskipun orang mengatakan ibadah haji ini lebih physical than mental spiritual. Meski saya baru saja sembuh dari sakit demam, saya yakin I can do this holy trip itu dalam keadaan sehat. God bless me…! Perjalanan haji saya ke Mekah ini adalah perjalanan spiritual di mana saya harus mengucapkan janji suci dan keramat saya pada Allah untuk selalu menaati perintahnya dan menghindari larangannya. Dan ini adalah perjanjian tertinggi dari segala perjanjian yang pernah saya lakukan selama ini. Kali ini saya tidak bisa lagi melanggar janji. This is a no-turn way. 😎
Selasa, 12 Mei 1992
Keberangkatan saya semakin dekat dan rasanya saya semakin siap. Pagi tadi saya sudah menjemput guru pengganti saya selama pergi dan saya telah menerangkan apa-apa yang perlu ia kerjakan selama menggantikan saya. Tentu saja semua itu belum cukup tapi ia tampaknya sudah merasa percaya diri dan itu pertanda bagus.
Sementara itu tadi saya sempat ngobrol ngobrol dengan kepala sekolah SMP National School Vidatra tentang gaji Yayasan. Dia bilang bahwa gaji saya setara dengan gurunya yang telah 9 tahun mengajar di situ. Saya sedikit surprise karena saya pikir tidak sejauh itu bedanya. Saya lantas berpikir-pikir lagi tentang keinginan saya untuk keluar dari sini. Kalau dilihat dari jabatan, pekerjaan, dan gaji yang saya peroleh, sebetulnya memang sayang juga kalau saya tinggalkan begitu saja. Apalagi kalau tanpa mendapatkan ganti pekerjaan lain sama sekali. It seems crazy just to go out that way.
Saya tahu itu tapi saya tidak punya pilihan lain. Living this kind of life here is too boring. Saya tidak akan mencapai apa-apa atau meraih sesuatu di sini. Disini semuanya begitu monoton tanpa variasi sama sekali. And that is not the kind of life I like to live in. Saya ingin bebas kembali dulu. Tidak punya apa-apa dan tidak terikat apa-apa.
Baru setelah itu saya akan memutuskan untuk bekerja apa dan dimana. Ide untuk tidak terikat siapa-siapa maupun apa-apa tersebut begitu menggiurkan sehingga saya pikir bisa membuat saya cukup gila untuk melepaskan apa yang saya miliki di sini. Just imagine you are so free that you don’t have to do anything you don’t like. You just do what you like and in any time you like. At least I’m free and perhaps I can be happy. Bukankah seperti pepatah ‘freedom is doing what you like and happiness is liking what you do.’ Saya sih ingin dua-duanya, being free and still happy. Siapa tahu di luar sana saya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih dinamis menarik dan menantang dan sekaligus berpenghasilan besar. Yes who knows..?!. Kalau pun tidak mendapatkan penghasilan besar paling tidak I will lead a more colorful life. And that’s worth it. 😀
Rabu, 13 Mei 1992
Semakin dekat dengan keberangkatan saya semakin gelisah rasanya saya. Just don’t know what to do. Rasanya hari-hari saya di sekolah semakin membosankan dan saya ingin segera keluar. Everyday is just exactly the same and there’s no fun anymore in it. Kegelisahan saya rupanya berakar dalam dan bukan hanya pada keberangkatan haji saya. It is more than what to do after that. Ya saya gelisah dalam menentukan apa yang akan saya lakukan justru setelah haji selesai. Salah satu alasan saya untuk berangkat haji adalah karena saya tidak punya kerjaan lain yang harus saya selesaikan.
Some say I’d better get married setelah pulang haji ini dan saya pikir ada baiknya juga. Paling tidak saya jadi punya sesuatu yang harus selalu saya perjuangkan dalam hidup saya. Getting married will surely give me a big change in life. Tapi saya tetap mengharap bisa keluar dari Bontang meskipun telah punya istri nanti. Talking about having a wife saya belum yakin apakah saya akan bisa ‘sreg’ sampai saat ini.
Ortu sendiri sudah punya calon dan saya sudah oke dengan pilihan mereka.One problem is apakah gadis yang dimaksud bersedia to be my wife. Kalau lihat perbedaan usia kami sih kayaknya ngeri juga and that’s the problem. Saya sendiri sedang berusaha untuk mengadakan pendekatan dengan seseorang lewat surat. Kayaknya sih saya suka dengannya. Semakin saya ingat dia semakin suka rasanya padanya. Ataukah karena selama ini tidak ada yang mengisi hati saya. I wonder… Tapi saya sudah rencanakan untuk approaching closer sepulang dari haji. Tapi kalau ternyata ia tidak menaruh minat pada saya ya saya harus mulai hunting lagi. Saya kok tiba-tiba ingat … ya (censored). Where are you now … ?!
(Berikutnya adalah catatan perjalanan haji saya. Tapi hanya akan saya ambil beberapa hari saja.)
Senin, 25 Mei 1992
Hari ke-6 di Madinah…
Hari demi hari kulalui dengan ibadah dan menikmati kehidupan kota Madinah. Ibadah terasa khusuk tetapi juga melelahkan. Kita harus telah siap di masjid minimal 2 jam sebelumnya dan itu pun belum jaminan kita akan dapat salat dengan lega. Ratusan ribu manusia berlomba untuk bisa menempati setiap jengkal dari lantai masjid. Saya heran masjid begitu besar kok belum mampu memuat jamaah semuanya. Akibatnya setiap waktu salat adalah perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan tempat duduk dan sujud. Jangan heran jika kita sering sujud di sela-sela kaki orang di depan kita. Ya Tuhan, apakah untuk mencapai surga-Mu kita harus saling sikut seperti itu? Bukankah surga-Mu seluas langit dan bumi? Banyak hal yang ganjil dan tidak tepat yang dilakukan oleh orang-orang tanpa mereka sadari. Banyak hal yang dilakukan oleh jamaah di luar tuntunan nabi. Saya tetap berusaha untuk kritis dan logis. Is it wrong?!
Katanya kalau kita bisa salat di Raudhah dan berdoa maka doa kita akan makbul tapi apakah itu harus dilakukan meskipun harus melangkahi orang yang salat? Saya pikir faktor tempat bukanlah satu-satunya faktor yang paling menentukan dari makbulnya doa. There are some other factors which influence it. mana yang lebih penting badan atau jiwa yang berada di masjid. Both I supposed. Tapi jika harus memilih saya akan memilih yang terakhir.
Satu hal terpenting yang saya peroleh setelah semua ini adalah bertambahnya rasa syukur saya ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesempatan untuk Naik Haji yang diberikannya kepada saya sungguh merupakan suatu karunia yang luar biasa. Karunia tersebut begitu terasa setelah berada di sini dan beribadah di Masjid Nabawi. Tanpa terasa air mata saya mengalir begitu saja setiap kali melewati makam Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau terasa begitu dekat dan kecintaan kita begitu lekat. Subhanallah…! Maha Suci Allah yang telah memperjalankan saya sampai kemari.
Anehnya pertanyaan-pertanyaan saya tentang life and destiny jadi tidak terasa perlu untuk saya mintakan. Rasanya Allah telah memberi terlalu banyak selama ini dan rasanya kok tidak etis kalau saya masih minta minta lagi. Di sini kita jadi rasa ikhlas dan sabar atas segala cobaan yang diberikan kepada kita selama ini. Cobaan terasa ringan atau terlupakan dan semua nikmat dan karunia yang diberikan pada kita jadi terasa begitu nyata. Kalau sudah begitu apakah kita masih punya muka untuk minta-minta dan mendesak Allah akan keinginan kita? Ya Allah jadikanlah saya menjadi orang yang selalu mensyukuri setiap nikmatMu dan masukkanlah saya ke dalam golongan orang-orang yang sabar. 🙏
Sabtu, 13 Juni 1992
Kami memutuskan untuk menikmati suasana mabit lebih lama di Mina dan mengambil nafar tsani. Seharian jamaah ngobrol dan bergurau sambil menikmati jam-jam berlalu. Suasananya persis seperti suasana kemping, riang gembira makan minum dan tukar-menukar cerita. Saya benar-benar menikmatinya dan melepaskan semua beban dan kecemasan saya. Saya berusaha untuk tidak banyak bicara and just enjoy the situation. Kira-kira setengah dari jemaah sudah meninggalkan Mina dengan mengambil nafar awal. Mungkin mereka tidak tahan dengan suhu di Mina. Syukurlah bahwa saya tidak terlalu terpengaruh oleh panasnya udara di tenda. Hati saya masih penuh oleh rasa syukur dan saya tidak membiarkan hati saya diisi oleh keluhan setitik pun. Sungguh nikmat buah dari rasa syukur tersebut dan saya ingin benar-benar menikmatinya. Hal tersebut justru membuat hawa udara terasa nyaman dan penuh berkah. Kami memutuskan untuk melontar jumrah setelah salat magrib dan berharap agar juga dapat menikmati setiap detik dari proses tersebut.
(Dan berikut ini sedikit romance… )
Senin, 24 Agustus 1992
The Manado Girl ternyata bukan untuk saya. Tampaknya kami tidak tertarik satu sama lain. And she’s surely not my type. Saya sedikit kecewa karena ini berarti saya harus mencari dan mencari lagi. Tapi ketika tiba di Bontang saya merasa surprised ketika menemukan surat dari Ika yang berisi fotonya. Fotonya begitu manis membuat saya jadi tergetar. Hal yang lebih mengesankan ada sepotong kalimat yang ia tuliskan menyertai foto tersebut. ‘I’m beginning to miss you’, demikian katanya. Meskipun kalimat ini ia ambil dari kalimat saya sendiri saya tetap merasa terkesan and flattered. Does it mean something…?! Saya tidak begitu yakin tapi hal ini cukup membuat saya berpikir, “Should I go forward…?!” 😎
Cekap semanten crito kulo… Semoga Anda menikmatinya. 🙏😊
Ket: Foto ambil dari internet.
Surabaya, 10 April 2020