
Dulu saya naif banget soal permazhaban.
Seorang teman bule pernah bertanya pada saya, “Are you muslim?”. “Yes,” jawab saya spontan. “Are you Sunni or Syiah?” tanyanya lebih lanjut. Saya kaget dan tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu.
“Whaat…?! I’m just muslim, neither Sunni nor Syiah,” jawab saya. 😳
Bagi saya dulu yang naif seorang muslim ya muslim dan tidak perlu dikategorikan Sunni atau Syiah. Tentu saja saya salah. Teman bule saya itu ternyata lebih tahu banyak tentang sejarah Islam ketimbang saya. 😁
“After the Prophet” karya Lesley Hazleton ini adalah buku yang sangat saya anjurkan untuk dibaca oleh umat Islam Indonesia, khususnya yang tidak paham mengapa Islam terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu Sunni dan Syiah. Lebih saya anjurkan untuk dibaca bagi mereka yang memiliki kecurigaan dan, apalagi, kebencian pada kaum Syiah dan menganggap mereka sebagai bukan muslim. Itu jelas sebuah tuduhan yang menunjukkan ketidakpahaman akan sejarah Islam itu sendiri.
Tulisan fenomenal Hazleton ini menggambarkan awal mula keretakan antara dua komunitas Muslim terkemuka yaitu; Sunni dan Syiah. Hazleton menceritakan kisahnya dari akar sejarah, yaitu sejak Nabi Muhammad SAW sakit dan mengalami hari-hari terakhir hidupnya.
Buku ini merupakan sebuah kajian sejarah yang dituliskan dalam narasi kisah yang tragis, suatu konstruksi narasi sejarah tentang bagaimana awal perpecahan Syiah-Sunni dalam Islam terjadi. Buku ini berusaha untuk tidak memihak pada Syiah atau pun Sunni dan tidak bertujuan untuk memancing diskusi polemik yang mengajak pembaca memihak pada salah satu dari dua arus utama dalam Islam ini. Hazleton mengisahkan kembali narasi sejarah yang dia sendiri akui berhutang besar pada riwayat dan tradisi sumber sejarah Islam paling awal, yaitu karya sejarawan mahsyur Islam, Abu Jafar Muhammad ibnu Jarir Al-Tabari. Hazleton membaca sangat banyak referensi untuk dapat menuliskan kisah dalam buku ini. Meski demikian, Hazleton menyadari sisi sensitif dan kelam topik ini karena kedua aliran tersebut tentu akan mengafirmasi atau mengingkari beberapa peristiwa tertentu. Hazelton dengan sangat indah berupaya untuk merangkum keretakan Syiah-Sunni, alasan, dan implikasinya.
Buku ini dibagi ke dalam tiga bab besar yang diberi judul tiga nama penting sekitar awal perpecahan Sunni-Syiah dalam Islam, yakni: Muhammad, Ali, dan Hussein. Jika Anda seorang muslim yang sudah bosan mendengar debat tentang Sunni-Syiah dengan semua argumen perbedaan mazhab, ajaran, doktrin, dan pemahaman tentang Sunni dan Syiah dalam Islam, buku ini akan menyegarkan kita dengan melihat dari perspektif yang unik. Saya sangat terkesan dengan cara penggambaran kisah dan peristiwa yang dituliskan dengan sangat memikat oleh Hazleton ini.
Politik dan rencana untuk mengambil alih pewaris kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW adalah kontroversi besar yang menjadi pertanyaan dan ingin dijawab oleh semua umat Islam. Itulah yang menimbulkan riak-riak persaingan mendalam antar umat yang kemudian menjadi dua sekte Islam; Sunni dan Syiah. Sunni di satu sisi, percaya bahwa Nabi Muhammad SAW ingin mencalonkan Abu Bakar (RA) sebagai khalifah setelah beliau. Sementara di sisi lain, komunitas Syiah berpandangan bahwa Ali r.a. adalah kandidat yang paling layak dan dinominasikan untuk kekhalifahan. Masalah khilafah tidak hanya tentang memimpin umat Islam secara keagamaan atau sisi spiritualnya melainkan terkait dengan kekuatan politik dan kekuasaan atas seluruh dunia Muslim.
Apa yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah adalah sesuatu yang sampai saat ini umat Islam belum dapat memahaminya. Ada banyak aliran pemikiran yang mempercayai versi yang berbeda-beda. Bahkan para ulama besar Islam sampai saat ini tidak memiliki kesamaan pandangan tentang perpecahan Islam dalam masalah kepemimpinan ini.
Tragedi Karbala sendiri digambarkan dengan luar biasa mencekam. Tidak ada manusia yang dapat meniadakan signifikansi dan pengorbanannya. Membaca tentang bagaimana Hussain dikhianati dan melakukan perjalanan berbahaya dengan 72 orang melawan 10.000 tentara akan membuat siapa pun menangis, kisah ini akan membuat kita ikut larut dengan cinta yang lebih dalam untuk keluarga Nabi setiap saat.
Tragedi Karbala ini diperingati setiap tahun oleh jutaan umat Syiah, dan bahkan umat beragama lain, dengan berjalan kaki ke Karbala, Irak untuk peringati hari Arbain.
Ziarah Arbain, yang jatuh pada 40 hari setelah Asyura, hari yang dikenal dengan peristiwa tragis Karbala, ketika Hussain, cucu Nabi Muhammad, terbunuh pada 10 Oktober 680. Para peserta melakukan perjalanan sepanjang 80 km dari Najaf ke Karbala di Irak dan diikuti oleh jutaan orang dari berbagai negara. Mayoritas dari mereka berasal dari Iran, Lebanon, Azerbaijan, Pakistan, India, Turki, Suriah, Indonesia dan beberapa negara Eropa.
Orang-orang yang bergabung dengan barisan itu dengan bangga memegang bendera dari negara mereka masing-masing dan berbaris bersama. Orang-orang yang hadir pada peringatan Arbain ini diperkirakan mencapai puluhan juta orang setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka peziarah mencapai 10 juta orang. Tahun 2014 menembus hingga 20 juta orang.
Beberapa orang mungkin menganggap karya Hazleton sebagai sejarah yang tidak diperlakukan sebagai sejarah dalam buku. Lebih seperti novel tragis. Buku ini membahas kematian Muhammad SAW secara rinci dan menggambarkan perilaku keluarga dan sahabatnya selama dia sakit. Hazelton tampaknya cenderung ingin berbagi pandangannya bahwa jika ada satu orang yang tampaknya ditakdirkan untuk menjadi penerus Muhammad maka dia adalah Ali a.s. Buku tersebut membahas tentang era Khalifah, khususnya era Ali. Perseteruan dengan Aisyah, “Perang Unta” bersama dengan pertempuran Siffin, Nahrawan, dan implikasinya dibahas. Dan terakhir, peristiwa Karbala dan Imam Husein (AS) yang menyayat hati dibahas dengan sangat memikat.
Menggabungkan penelitian yang cermat dengan penceritaan yang memikat, Hazleton mengeksplorasi titik temu antara agama dan politik, psikologi dan budaya, serta sejarah dan peristiwa terkini. Buku ini merupakan panduan yang sangat diperlukan untuk mengetahui kedalaman dan akar sejarah perpecahan Syiah-Sunni.
Bacalah buku ini dan pahamilah sejarah agama Islam dengan lebih bijak.
Surabaya, 23 Agustus 2023
Satria Dharma
NB: Saya baru tahu bahwa istilah ‘Khulafaur Rasyidin’itu baru muncul pada abad 13. Ibnu Taimiyahlah orang yang membubuhi julukan empat khalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai rasyidin, atau khalifah yang mendapat bimbingan yang benar dan sampai kini masih dikenal demikian dalam Islam Sunni (p. 319). Saya curiga ketika ada orang yang mengajukan hadis Nabi yang menyebut ‘khulafaur rasyidin’ ini karena yakin tidak mungkin ada hadist yang menyebutkan gelar tersebut. Ternyata gelar ini baru ada di Abad 13 sehingga tidak mungkin disebutkan oleh Nabi.