Saya ditanyai oleh seorang teman apa komentar saya tentang pembantaian umat Islam Rohingya di Myanmar. Kok saya tidak menulis apa-apa katanya. Kamu kok bungkam? Padahal katanya biasanya saya ini segala macam dikomentari. Makan enak sedikit di restoran mahal langsung disebarkan foto dan ceritanya. Pamer tok…! Ada berita dan foto hoax langsung dikoreksi. HTI dilawan, Ahok dibela. Lha ini sesama umat Islam dibantai oleh umat lain kok kamu bungkam diam seribu bahasa? Mana kegaranganmu? Saya langsung klincutan dan semakin tidak bisa ngomong. Mau ngomong apa ya soal Rohingya ini?
Sebetulnya saya sedih karena di grup-grup WA di mana saya ikut bertebaran segala macam caci-maki, kecaman, amarah dan benci, dan bahkan berita dan foto hoax. Saya selalu sensitif pada berita dan foto hoax. Berita bohong dan fitnah itu sangat dilarang dalam Islam. Jadi saya ingatkan bahwa berita ini tidak benar dan foto itu hoax seperti biasanya. Eh, lha kok teman dan saudara yang saya ingatkan malah marah dan menganggap saya tidak peka dan tidak simpati pada penderitaan sesama umat nun jauh di seberang lautan sana. Seharusnya saya ikut membela mereka yang dibantai dengan kejam tersebut dan bukannya malah mengoreksi mana berita bohong dan mana foto hoax. Mengapa saya kok justru kelihatan membela para pembantai umat Islam itu? Di mana rasa iman dan cinta saya pada sesama umat Islam? Weladalah…!
Ada juga ajakan untuk melakukan doa qunut nazilah pada semua masjid setiap selepas Subuh dari Mr. Kotot. Tapi setelah saya baca doanya saya malah mengkeret. Dalam doa tersebut Mr. Kotot minta agar Allah memerangi dan mengalahkan mereka. Lha kok Allah disuruh turun tangan sendiri untuk memerangi dan mengalahkan mereka? Gak salah nih? Kok berani-beraninya Mr. Kotot ini menyuruh Allah untuk memerangi dan memerangi mahlukNya. Bukannya seharusnya kita berdoa agar Tuhan MEMBANTU kita memerangi dan mengalahkan musuh kita? Lha kok ini Tuhan sendiri yang disuruh turun tangan berperang dan mengalahkan musuh kita. Piye ngunu kuwi…? Wis embuhlah…!
Sebetulnya saya juga pingin menunjukkan betapa berimannya saya dan betapa cintanya saya pada agama Islam dengan ikut-ikutan mendemonstrasikan ungkapan rasa marah yang berkobar-kobar, benci yang mendalam, dendam kesumat, pada umat lain yang saya tuduh telah membantai sesama umat Islam yang tidak bersalah dan dituduh macam-macam di Myanmar sana. Kalau soal redaksi atau kata-kata insya Allah saya bisa. Lha wong saya bisa menulis belasan buku dengan kalimat berbuih-buih kok. Apa susahnya saya menumpahkan segala rasa amarah, kebencian, dan jika perlu fitnah yang sangat kejam dengan kata-kata yang garang kalau mau.
Tapi ternyata saya tidak bisa. Hati saya ini tidak punya perbendaharaan kata untuk mendemonstrasikan keimanan dan kecintaan pada Islam dengan cara demikian. Sudah saya panas-panasi, eh, langsung padam. Dasar selemah-lemahnya iman…! Kata saya pada hati saya sendiri.
Saya sebetulnya pingin niru Fahri Hamzah yang dengan gagah perkasanya menulis surat terbuka pada Jokowi dengan pertanyaan, “Ada genosida di Rakhine, apakah bapak belum dengar? Apakah bapak belum lihat? Kami telah menyaksikannya berkali-kali dan menangis berkali-kali…doa bangsa dalam Idul Adha kemarin dipenuhi rintihan #SaveRohingya”. Menurut saya surat ini keren. Dengan menulis begini Fahri Hamzah langsung menunjukkan posisinya bahwa ia sudah lebih dulu mendengar dan melihat sendiri kejadiannya dan ia mempertanyakan apakah Jokowi sebagai presiden belum? Kemane aje lu, Wik? Peduli dikit kenape?
Dengan menulis secara terbuka begini maka umat langsung tahu betapa peduli dan penuh simpatinya saya pada sesama umat Islam nun jauh disana. Saya sudah nyolong start. Apa pun yang dilakukan Jokowi umat Islam sudah tahu bahwa sayalah yang lebih dahulu peduli dan bersimpati. I’m the first, Bro. Hahaha…!
Terus terang ini trik yang cerdas. Saya sampai bingung antara terharu dan kagum pada surat terbuka ini. Akhirnya saya putuskan untuk terhagum saja, ini campuran perasaan antara ‘terharu’ dan ‘kagum’. Saya membayangkan alangkah hebatnya Fahri Hamzah jika ia mengundang pers untuk mengumumkan bahwa ia akan menyumbangkan dua bulan gajinya untuk para korban di Rakhine tersebut. Dengan demikian tidak akan ada yang akan bisa nyinyir bahwa saya hanya bicara saja tanpa membantu kongkrit. Gaji dua bulan itu jelas dua kali lipat dari ajakan Cak Imin pada umat NU dan kader PKB untuk menyisihkan satu bulan gaji bagi Rohingya. Pokoknya jangan mau kalahlah…!
Saya bahkan membayangkan betapa hebatnya jika beliau mau menyatakan ‘mewakafkan jiwa dan raganya’ bagi perjuangan umat Islam seperti Lae Jonru. Tapi ini mungkin khayalan yang keterlaluan. Meski pun demikian jika beliau benar-benar suatu ketika mau mewakafkan jiwa dan raganya bagi perjuangan umat Islam saya mau membantu menguruskan surat wakafnya.
Saya lalu membuka komputer dan mulai menulis dengan kalimat yang sama. “Ada genosida di Rakhine, apakah bapak belum dengar? Apakah bapak belum lihat?” Tapi saya bingung saya mau nulis surat terbuka untuk siapa ya? Kan gak mungkin saya menulis surat terbuka yang sama untuk Jokowi. Bisa-bisa dituduh plagiat payah saya ini. Saya lalu berpikir keras kepada siapa sebaiknya surat terbuka tersebut saya kirimkan. Blank. Tak satu pun pejabat yang saya kenal. Matik aku…! Eh, ujung-ujungnya malah wajahnya Mas Nanang yang muncul di kepala saya, senyum-senyum menjengkelkan lagi. Kampret…! Olaopo aku kok ngirim surat terbuka sama Mas Nanang.
Jadi begitulah…! Sampai hari ini saya belum bisa menulis apa-apa soal Rohingya. Sepurane yo…! Entah belakangan ini saya semakin melankolis saja melihat berbagai masalah bangsa. Too much has been said with full of rage, anger and hatred. Tentu saja pernyataan itu sekedar sok-sokan dan gaya-gayaan saja agar saya kelihatan peduli dan beriman. Lha wong saya saja kadang bingung sebenarnya saya ini beriman atau tidak sih. Wis ngono ae…
Surabaya, 5 September 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com