“Mengalir sajalah seperti air dalam hidup ini,” kata seorang teman menirukan kata bijak yang ia temukan.
“Tidak!,” jawab saya ngeyel (ngeyel ini ketrampilan yang saya kembangkan sejak muda). ”Saya tidak ingin seperti air. Saya ingin seperti perahu yang mengalir ke mana saya suka.” Ini pasti kata bijak lain yang entah saya temukan di mana dan kapan. Kalimat ini saya pakai karena saya merasa ini lebih pas dan lebih ngeyel daripada yang di atas.
Ketika masih muda dulu saya sering cemas memandang masa depan saya. Bagaimana saya akan hidup nantinya? Bagaimana mungkin saya akan bisa menghidupi keluarga saya sendiri dalam kondisi masa depan yang tidak jelas? Sedikit berbeda dengan teman-teman lain yang saya lihat santai saja menghadapi masa depan mereka (actually they didn’t really care with what would happen with their future), saya termasuk sering memikirkan (dan mencemaskan) berbagai hal. Saya kebetulan hidup dalam kondisi keluarga yang sulit. Dan itu rasanya menghimpit dan mendorong saya untuk harus keluar dari situasi tersebut. Pada waktu SMA saya sudah membayangkan alangkah sulitnya bagi saya untuk bisa memiliki rumah. Harga rumah waktu itu sudah puluhan juta dan angka itu benar-benar mustahil rasanya saya miliki. Pekerjaan apa ya yang kira-kira memungkinkan saya untuk memiliki uang sebesar itu untuk membeli rumah? Bahkan ayah saya yang waktu itu pontang-panting mencari nafkah tidak mungkin memiliki uang sampai puluhan juta untuk beli rumah. Itu artinya jika saya ingin punya rumah sendiri maka saya harus punya pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan yang jauh lebih besar daripada ayah saya. Tapi pekerjaan macam apa itu…?!
Punya rumah sendiri adalah obsesi besar saya (obsesi lebih kecil adalah bisa beli sepeda sendiri karena tahu bahwa orang tua tidak akan pernah membelikan saya sepeda). Cita-cita bagi saya haruslah sesuatu yang kongkrit dan punya rumah sendiri adalah sesuatu yang nyata dan sangat layak untuk diperjuangkan. Orang tua saya dengan 11 anaknya tinggal di rumah berukuran sekitar 200 meter di tanah berukuran 300 meter sehingga kami tidak memiliki kamar pribadi. Itu pun kami sering kedatangan keluarga lain yang ikut nimbrung tinggal di rumah kami bertahun-tahun lamanya. Kami tidur di ranjang susun berdesak-desakan dan yang penting bisa meletakkan badan dan menutup mata. Saya tidak ingin anak-anak saya mengalami kehidupan yang sama, itu tekad saya.
Pertama-tama saya harus mandiri dulu. Itu artinya saya harus secepatnya keluar dari rumah dan bisa cari makan sendiri. Tidak ada gunanya memikirkan masa depan jika saya tidak mengambil langkah pertama, yaitu mencari kehidupan mandiri. Saya harus mengayuh biduk kehidupan saya sendiri agar tidak mengalir saja seperti air menuju ke got.
Saya beruntung bahwa setelah lulus SMA tiba-tiba saya mengetahui adanya tes masuk ke program PGSLPYD di IKIP Ketintang Surabaya. Program ini adalah program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang Disempurnakan (dari tahun sebelumnya). Kami akan dididik selama satu tahun untuk menjadi guru SMP dan setelah itu akan ditempatkan di berbagai daerah di Jawa Timur. Menjadi guru sama sekali bukan profesi yang saya inginkan dalam hidup meski kedua orang tua saya dulunya adalah guru. Menjadi guru tidak akan membantu saya memiliki rumah yang saya idamkan. Kalau pun bisa saya akan butuh puluhan tahun untuk mencapainya. I don’t have that patience. Meski pun demikian, ini program menggiurkan bagi saya karena menjanjikan tunjangan dinas setiap bulannya dalam jumlah yang sangat berarti bagi saya. At least saya akan punya uang sendiri sejak lulus SMA. Jika saya bisa dapat uang tunjangan dinas setiap bulan maka jelas saya tidak akan menjadi beban bagi orang tua saya. Saya bisa melakukan apa saja yang saya inginkan dengan uang tersebut. Itu sangat menarik bagi saya. Memang dalam jangka panjang profesi guru kurang menjanjikan untuk mencapai cita-cita saya tapi dalam jangka pendek ini adalah solusi terbaik. At least I would be one step ahead. Perahu harus saya kayuh ke depan agar bisa menuju ke sesuatu tempat yang mungkin mengarah pada impian saya.
Saya ikut tes dan diterima.
Ketika pertama kali menerima uang tunjangan dinasnya yang dirapel langsung tiga bulan saya langsung mendadak merasa kaya. I’m rich…! Bayangkan rasanya jika sebelumnya Anda adalah orang yang tidak pernah pegang uang, Anda mengimpi-impikannya, dan tiba-tiba Anda pegang uang sangat besar. Itu nyata dan bukan mimpi. Saya mencium uang tersebut dan baunya benar-benar bau uang. Bentuk, warna, dan teksturnya adalah benar-benar uang. It’s not fake money and I’m not dreaming. Itu adalah perasaan yang sangat luar biasa dan sulit saya lupakan. Dunia terasa begitu indah dan saya langsung merasa yakin bahwa Tuhan yang Maha Kaya memang hadir dan memberkati hidup saya. Tiba-tiba perasaan pesimis dan cemas yang menghimpit saya akan masa depan yang tidak jelas langsung sirna. It’s just gone mysteriously. Ia menguap begitu saja. Sejak itu saya sadar dan percaya bahwa hidup itu punya misteri yang indah dan Tuhan itu nyata, dekat, dan mengasihi.
(bersambung kalau ada ‘mood’)
Surabaya, 11 Mei 2017
Selamat Hari Waisak bagi yang merayakannya dan selamat menikmati liburan bagi yang lain
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com