Pada sesi tanya jawab dalam setiap presentasi saya pertanyaan (lebih tepatnya adalah keluhan) yang hampir selalu muncul adalah soal tidak adanya (atau terbatasnya) buku yang ada di sekolah. Dan ini membuat mereka tidak bisa menjalankan program Membaca 15 Menit Setiap Hari. Kalau buku tidak ada kan siswa tidak bisa membaca? Ya tentu saja. Tapi kalau sudah tahu masalahnya (tidak ada buku) maka solusinya tentulah bagaimana caranya mendapatkan buku. Apalagi…?! Nggih nopo mboten…?! 🙂
Ada sebagian guru atau kepala sekolah yang memang tidak terbiasa untuk berpikir mencari solusi (bahkan ada yang ‘menemukan masalah’ saja tidak bisa). 🙂 Kalau ada masalah ya dia langsung menyerah dan tidak tahu harus berbuat apa-apa. Dia menganggap masalahnya terlalu rumit untuk dipecahkan tanpa berupaya untuk mencoba jalan keluarnya.
Tapi ada guru atau kepala sekolah yang bertipe ‘looking for solution’alias langsung cari solusi dari masalah yang ia hadapi dengan cerdas dan kreatif. Salah satunya yang saya kenal adalah Ibu Laila, mantan kepala sekolah SMAN 21 Surabaya yang terletak di jalan Argopuro.
Sebagai kepala sekolah Ibu Laila ini ingin agar sekolahnya yang bukan termasuk sekolah favorit agar memiliki satu kelebihan yang khas. Ia ingin agar sekolahnya memiliki satu keunggulan tertentu yang sesuai dengan kapasitas sekolah itu sendiri. Beliau tahu bahwa jika ingin bersaing dalam masalah akademis tentulah sekolahnya akan kalah dengan sekolah-sekolah favorit yang siswanya berasal dari siswa-siswa dengan tingkat akademis yang tinggi. Jadi beliau memutuskan untuk menjadikan sekolahnya menjadi sekolah yang berbudaya literasi, yaitu menjadikan membaca sebagai budaya sekolahnya.
Tentu saja beliau tahu bahwa membudayakan membaca adalah pekerjaan besar dan sulit. Apalagi perpustakaan sekolahnya tidak memiliki koleksi yang memadai untuk kebutuhan membaca siswanya seandainya mereka nantinya mau membaca. Tapi beliau mendapat ide cemerlang, yaitu membuat Lomba Sudut Baca atau Perpustakaan Kelas.
Lomba ini bertujuan agar setiap kelas memiliki sudut baca atau perpustakaan kelas yang berisi koleksi buku siswa sendiri. Jadi setiap kelas didorong untuk membuat sendiri perpustakaan atau sudut bacanya dan itu dilombakan. Beliau tahu bahwa siswa itu suka dengan tantangan dan tantangan semacam ini tentulah akan disambut dengan baik oleh siswa. Beliau juga sekaligus mendorong dan menantang setiap wali kelas untuk menjadikan kelas walinya memiliki sudut baca atau perpustakaan kelas masing-masing. Jadi ini tantangan bagi siswa sekaligus wali kelas. Untuk itu beliau bekerjasama dengan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya. Barpus akan membantu penilaian dan sekaligus memberikan hadiah bagi kelas pemenangnya. Ada pun kriteria penilaiannya adalah pada jumlah buku dan jenis koleksinya, pengorganisasian bukunya, susunan pengurus dan program baca bukunya, pengorganisasian peminjaman dan hasil baca bukunya, keindahannya, dll. Karena ini bersifat lomba maka buku yang dilombakan adalah buku siswa-siswa sendiri, bukan buku perpustakan sekolah. Mereka harus mencari sendiri buku atau pun bahan bacaan yang akan mereka jadikan sebagai koleksi perpustakaan kelas mereka.
Ternyata lomba ini membuat setiap kelas merasa tertantang untuk membuat sudut baca atau perpustakaan kelas sebaik mungkin. Tentu saja ada beberapa kelas yang hanya dapat mengumpulkan belasan buku saja dicampur dengan majalah-majalah dan komik seadanya, tapi ada kelas yang mampu mengumpulkan seratus lebih buku. Meski ada kelas yang nampaknya tidak terlalu antusias terhadap lomba ini tapi ada kelas-kelas tertentu yang sangat bersemangat untuk memenangkan lomba sehingga mereka benar-benar berupaya untuk mengumpulkan buku-buku bacaan dan novel sebanyak-banyaknya. Pemenang dari lomba Perpustakaan Kelas ini akhirnya mendapat hadiah dari Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya sebanyak 100 eksemplar buku. Ini tentu saja semakin memotivasi siswa dalam mengelola perpustakaan kelasnya.
Program Perpustakaan Kelas ini membuat sekolah ini akhirnya memenangkan penghargaan dan predikat Juara 2 Lomba Perpustakaan Sekolah se kota Surabaya. Ini tentu mengejutkan mereka karena mereka sadar bahwa kondisi perpustakaan mereka masih kalah jauh dengan sekolah-sekolah lain. Apalagi kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta mahal yang memiliki perpustakaan dengan fasilitas bangunan, rak buku, jumlah buku, dan kenyamanan yang jauh lebih memadai. Ketika mereka bertanya pada dewan juri dari Universitas Airlangga dijawab: “Kekuatan perpustakaan dari SMAN 21 bukan dari fasilitas yang mewah dan memadai, tetapi dari kekuatan siswa yang telah mandiri mengembangkan taman bacaan di seluruh kelas baik kelas X, XI, XII. Komunitas siswa yang aktif termotivasi mengembangkan Taman Bacaan adalah nilai tinggi yang tidak dimiliki sekolah lain”. Tampaknya peran aktif siswa secara mandiri dalam mengelola perpustakaan kelas mereka dipandang sebagai sebuah fenomena yang menarik dari sebuah inisiatif yang sangat menonjol. Ini adalah ‘Fenomena SMAN 21 Surabaya’. Mereka mengumpulkan buku-buku mereka sendiri, menyusun dan mengaturnya di perpustakaan kelas mereka sendiri, mengatur sirkulasi sehingga semua siswa di dalamnya bisa dan suka membaca. Saat ini adalah pemandangan yang biasa melihat siswa SMAN 21 menenteng buku bacaan, di dalam atau di luar kelas, baik yang akademik maupun buku bacaan fiksi. Kultur atau budaya membaca mulai terbentuk pada siswa kami.
Sejak adanya koleksi buku di setiap kelas yang merupakan hasil pengumpulan siswa kelas itu sendiri siswa SMAN 21 akhirnya mulai suka membaca. Tentu saja mereka menjadi suka membaca buku-buku yang ada di kelas mereka karena itu adalah koleksi-koleksi buku yang memang mereka pilih sendiri dan sukai. Itu bukan buku paket atau buku teks sekolah dan juga bukan buku referensi melainkan buku-buku bacaan non-pelajaran. Mereka bahkan berlomba-lomba untuk saling menunjukkan buku-buku apa yang telah mereka baca dan saling menunjukkan koleksi buku kelas mereka. Dengan adanya buku bacaan di kelas akhirnya membuat anak menjadi suka membaca karena faktor ketersediaan dan keterjangkauan. Boleh dikata dalam hal ini bukulah yang mendatangi siswa dan bukan sebaliknya siswa yang mendatangi buku seperti kalau mereka harus pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Setiap kali ada waktu luang mereka kemudian mengambil buku dan membacanya. Siswa yang semula tidak pernah membaca kemudian akhirnya ikut-ikutan suka membaca karena ia melihat bahwa hampir semua temannya membaca dan saling menceritakan buku-buku yang telah mereka baca. Membaca buku menjadi sebuah trend di sekolah ini.
Saat ini buku-buku tidak hanya bisa dilihat di setiap kelas. Bahkan di kantin pun ada buku-buku yang bisa dibaca siswa. Siswa mulai membaca di mana-mana, baik itu di kelas, di rumah, dan bahkan di kantin. Budaya baca telah tumbuh di sekolah ini dengan sangat indahnya berkat kesungguhan komitmen dan upaya Bu Laila bersama para guru yang tidak mengenal lelah.
Jadi jika sekolah Anda memiliki masalah yang sama dengan yang dihadapi oleh Bu Laila pada awalnya, mengapa Anda tidak mencoba untuk mengatasinya dengan cara yang sama, yaitu mengadakan Lomba Sudut Baca Kelas atau Lomba Perpustakaan Kelas.
Surabaya, 22 Februari 2016
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com