Seorang teman sesama pensiunan yang juga ikut dalam WAG yang tampaknya dedicated to pilpres discussion tiba-tiba ngajak ngobrol soal etika yang diributkan dalam diskusi.
“Menurutmu ketika MK mengubah batas usia capres dan cawapres dengan mengabulkan permohonan yang masuk ke MK itu etis atau tidak?”
“Soal etikanya atau soal haknya?” tanya saya. “Kalau soal legalnya jelas MK berhak memutuskan dan mengubah batas usia lha wong itu memang tugasnya. UUD 1945 tidak mengatur tentang batasan usia capres dan cawapres. Jadi pengubahan itu bersifat terbuka dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dinamika bernegara.” Itu sih saya mengutip kata hakim konsitusi.
“Tapi putusan MK itu kan sangat sarat dengan kepentingan.” sergahnya.
“Tentu saja,” jawab saya tertawa, “Banyak sekali yang berkepentingan dengan diubahnya pasal usia tersebut. Banyak yang ingin agar batas usia itu diubah. Makanya diajukan permohonan untuk mengubahnya. Tapi banyak juga yang tidak ingin batas usia itu diubah karena mereka kuatir Gibran maju. Ada banyak juga yang tidak peduli mau diubah atau tidak. Mereka ini yang tidak terlalu peduli dengan gonjang-ganjing politik karena gonjang-ganjing perekonomian dan masalah keluarganya lebih besar dan lebih seru ketimbang masalah batas usia capres dan cawapres. Mereka yang marah karena batas usia itu diubah jelas bakal berhadapan dengan yang ingin batas itu diubah. Jadi ini pertarungan antara yang ingin Gibran maju dan yang tidak ingin Gibran maju. Yang lain-lain hanya kembangannya saja dan seperti biasa kembangannya justru jauh lebih seru dan lebih banyak variasinya.” 😁
“Ya nggak sesederhana itulah, bro. Ini soal moral dan etika bangsa. Ini gangguan pada demokrasi dan penegakan hukum oleh kepentingan politik. Bahkan jika melihat posisi MK sebagai penegak hukum maka ini sangat mengkhawatirkan. Yang ngomong ini Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM lho.”
“Apa yang para pakar katakan, baik yang menentang atau pun yang membela keputusan tersebut tentu ada dasar dan ada benarnya masing-masing. Mereka semua mendasarkan pendapatnya masing-masing pada kepentingan rakyat dan demokrasi, katanya sih… Oleh sebab itu marilah kita uji sebenarnya apa yang rakyat inginkan dan mari kita kawal. Setengah bulan lagi kita bisa melihat apa sebenarnya yang mereka inginkan, apakah mereka menolak atau menerima perubahan batas usia tersebut. Apakah bagi mereka soal moral dan etika hukum penting atau tidak. Itulah demokrasi yang sesungguhnya.” Jawab saya sambil senyum-senyum menggodanya.
“Tapi mosok nurani sampeyan tidak terganggu dengan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh pamannya Gibran itu?” dia mulai agak sewot.
“Soal apakah nurani saya terganggu atau tidak itu tidak penting. Saya ini siapa sih… Emangnya saya Goenawan Muhammad yang sampai berlinang air mata di sebuah wawancara bicara soal moral dan etika. Saya sudah cukup terganggu dengan lebih banyak hal yang tidak beres di sekitar lingkungan saya yang lebih nyata dan lebih penting. Di sekitar kita itu nepotisme adalah hal yang dilakukan dengan sangat terang-terangan seolah sebuah kewajaran dan keharusan. Dan kita ya diam saja kok…! Jadi nepotisme paman dan keponakan yang menghasilkan perubahan batas usia itu hanya menghebohkan karena memang banyak yang merasa dirugikan secara politis. Dan itu terus didengung-dengungkan secara massif oleh orang-orang yang memiliki pengaruh. Dulu itu mereka juga tidak bersuara kok ketika moral dan etika kekuasaan negara dilanggar. Sekarang saja ketika demokrasi semakin membaik maka mereka bersuara kencang. Dulu mereka ya mingkem aja kok. Waktu Soeharto menindas mereka dengan tentara dan polisi agar memenangkan Golkar mereka mingkem seribu bahasa. Waktu Soeharto mengangkat Tutut anaknya menjadi Mensos dulu mereka yang tampak jagoan sekarang ini ya mingkem sambil ngapurancang. Tak ada satu pun diantara mereka yang berani cemuwit bilang itu penindasan atau politik dinasti, apalagi melawan keputusan Soeharto secara terang-terangan seperti sekarang ini.” Saya kembali menggodanya karena saya tahu dia juga dulu tidak berani melawan keputusan politik Soeharto karena kerja di perusahaan gas milik Pertamina. Apa pingin terima resiko dikeluarkan dari tempat kerjanya seperti saya? Saya mah melawan dan akhirnya memang dikeluarkan dari sekolah di mana saya dulu mengajar. Sekarang ASN harus netral tapi dulu harus masuk Golkar semua. Berani melawan ya dikeluarkan dari pekerjaan. Makanya semua mingkem waktu itu. 😎
“Sampeyan mendukung atau menolak politik dinasti?”
“Saya punya satu suara. Saya gunakan di bilik suara untuk mendukung atau menolak politik dinasti. Kita dan semua orang punya hak yang sama.”
“Lho, katanya sampeyan ini teman baiknya Anies Baswedan. Lha kok malah membela 02? “ tanyanya.
“Sampeyan iki gimana sih. Katanya ngajak diskusi soal moral dan etika politik bangsa. Ya itu pendapat saya. Tapi kalau sampeyan pingin tahu apa yang pernah saya lakukan bersama Anies Baswedan saya akan cerita jauh lebih panjang.” Jawab saya sambil tertawa.
“Lha sampeyan mau milih 01, 02, atau 03 nanti?” tanyanya menyelidik.
“Saya swing voter sampai hari ini. Nanti pas harinya saja saya putuskan. Sungguh nyaman rasanya sebagai swing voter itu. Saya tidak terbeban dengan pertimbangan apa pun, tidak membela, tidak mendukung, juga tidak menyerang siapa pun. Saya bebaskan diri saya dari memihak, mendukung, dan menolak siapa pun calon sampai hari pencoblosan”.
Ia tertawa dan saya juga ikut tertawa. Sungguh nyaman diskusi kalau tidak harus saling serang seperti ini. 😁
Surabaya, 30 Januari 2024
Satria Dharma