
Setelah lama tidak muncul berita dan video hoax, fitnah, dan penyebaran kebencian di WAG alumni (karena selalu saya hajar tanpa ampun) tiba-tiba muncul lagi video hoax. Video ini mencaci maki Presiden Jokowi yang bicara soal tenaga kerja di Freeport yang sudah 90% lebih warga Indonesia. Lalu video ini dihubungkan dengan kerusuhan di Morowali yang terjadi baru-baru saja. Video itu diberi narasi bahwa apa yang disampaikan oleh Jokowi ini adalah kebohongan dan Presiden Jokowi disebut sebagai Raja Bohong, Raja Penipu, Lidah bercabang, dll. Jadi video Presiden Jokowi tersebut dianggap berbohong atas kondisi tenaga kerja di Morowali. Padahal Presiden Jokowi tidak berkomentar soal tenaga kerja di Morowali. Lalu disusul dengan video-video hoax lain tentang bahayanya TKA China yang katanya akan datang 100 juta orang ke pantai reklamasi dlsbnya. Provokasi lama yang didaur ulang dan sudah pernah saya hajar di tulisan saya “Pakai Otakmu, Bro!”.
Seperti biasa si penyebar video berkelit bahwa dia mengirim video ini karena prihatin dengan kondisi Indonesia dan tidak ingin negara kita dijajah oleh China. Ia lalu minta kita berdoa agar kerusuhan di Morowali tidak terjadi di tempat lain karena orang China itu disemua penjuru negeri kita ada. Jadi karena orang China ada di mana-mana maka kerusuhan semacam di Morowali bisa saja terjadi di mana-mana. Lalu dia timpali bahwa kalau postingannya gak cocok ya didelete saja. Tergantung kita mengambil makna dan manfaatnya. Whaaat…?! Jadi menyebarkan berita bohong, caci maki, dan fitnah itu ada manfaatnya? Yang jelas banyak mudharatnya dan besar dosanya. QS An-Nur jelas-jelas mengancam umat Islam dengan azab yang besar karena menyebarkan berita bohong. Tapi mungkin karena ia menganggap bahwa apa yang ia sebarkan itu benar maka ia tidak merasa berdosa. 😒
Diskusi ditimpali oleh yang lain dengan mengatakan bahwa menjajahnya Cina itu nggak terang-terangan tetapi secara licik. Negara yang dijajah aja yang nggak merasa, katanya. Tentu saja ini adalah sikap suudzon. Lha wong negara yang dijajah saja tidak merasa tapi dia kok merasa dijajah? 😁 Jadi ini jelas perasaannya sendiri. Ketika saya tanya ia lalu menjawab bahwa dia merasa demikian karena orang China semakin banyak. Presidennya aja yang nggak merasa dijajah wong bolone, katanya. Nanti kalau di setiap jalan penuh lampion/warna merah semua, baru keroso kalau sudah dijajah. Hadeeh…! 🥴 Jadi dia ini merasa terjajah karena di mana-mana dia lihat banyak lampion dan ornamen warna merah. Baginya ini sudah merupakan bentuk penjajahan. Ini jelas sudah mengarah pada kebencian ras dan budaya. Padahal kalau sekarang kita melihat kota-kota penuh dengan lampion dan ornamen berwarna merah serta banyak pertunjukan barongsay ya karena sekarang ini hari Imlek alias tahun barunya China. Tentu saja wajar kalau kota-kota dipenuhi dengan lampion dan ornamen warna merah. 😁 Nanti selesai Imlek toh akan dicabut juga. Pertanyaannya adalah, jika dia merasa terjajah oleh China karena Imlek yang meriah apakah dia juga merasa terjajah oleh warga Kristiani ketika natalan kemarin? Kok sedikit-sedikit merasa terjajah sih? Sudah berusia over sixty kok perasaan minder dan suudzon sama liyan masih terus dibawa-bawa.
Si penyebar video caci maki dan hoax tadi lalu bilang agar saya menyimak video-video yang ia kirimkan. Semoga bisa mengetuk hati karena kita ini pribumi asli. Pribumi asli…?! Apa hubungannya…?! 🤔 Jadi ini jelas upaya untuk menyebarkan kebencian dan kemarahan pada orang China yang ia anggap sebagai pendatang. Padahal orang China di negara kita itu sudah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk. Mereka juga berjuang melawan penjajahan Belanda bersama-sama warga lokal. Tapi tentu saja mereka tidak akan mengaku kalau mereka benci pada orang China. Mereka hanya akan mengatakan bahwa mereka hanya prihatin dan tidak ingin Indonesia dijajah China. Sudah nggak ngaku malah menuduh negara China akan menjajah kita pula. Kok bisa ya mereka itu berpikiran demikian. Padahal sepanjang sejarah dunia ini tidak pernah sekali pun China menjajah negara lain. Tapi namanya suudzon dan benci itu memang tidak bisa dinalar. 🥴
Surabaya, 27 Januari 2023
Satria Dharma